SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Naskah asli teks Proklamasi kembali dihadirkan dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Selasa, 17 Agustus 2021, kemarin.
Naskah asli tersebut berisi tulisan tangan Soekarno di atas secarik kertas.
Tahun ini merupakan tahun kedua arsip bersejarah ini dihadirkan di Istana Merdeka, bersandingan dengan teks proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik dan Bendera Pusaka.
Tapi tahukah, naskah asli tersebut mungkin tidak akan pernah ditampilkan tanpa adanya peran dan jasa dari B.M. Diah?
Publik mungkin lebih mengenal B.M. Diah sebagai tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.
Tetapi tak banyak yang tahu bahwa B.M. Diah merupakan satu dari segelintir tokoh yang menjadi saksi perumusan naskah proklamasi di kediaman Laksamana Maeda.
Baca juga: Teuku Hamid Azwar Diusul jadi Pahlawan: Ampon Samalanga Penyumbang Pesawat dan Kapal untuk Republik
Baca juga: Kisah ‘The Black Speed Boat’, Kapal Laut Sumbangan Saudagar Aceh yang Melegenda di Selat Malaka
Juga tak banyak yang tahu bahwa BM Diah ternyata merupakan putra asli Aceh, orang yang menyelamatkan naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dia juga orang pertama yang menyebarkan kabar tentang kemerdekaan Indonesia ke media massa sehingga diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sebagaimana dilansir Kompas.com, naskah proklamasi awalnya ditulis pada selembar kertas berwarna putih dari blocknote.
Kertas tersebut berukuran panjang 25,8 sentimeter, lebar 21,3 sentimeter dan tebal 0,5 milimeter.
Naskah Proklamasi ditulis oleh Soekarno pada dini hari, Jumat 17 Agustus 1945 di rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Meiji Dori (sekarang Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta Pusat).
Ada tiga orang yang terlibat merumuskan naskah Proklamasi, yaitu Soekarno, Moh Hatta dan Achmad Soebardjo.
Paragraf pertama naskah proklamasi adalah usulan Achmad Soebardjo. Paragraf kedua naskah proklamasi adalah usulah Moh Hatta.
Selanjutnya naskah proklamasi dimintakan persetujuan sidang yang seluruhnya berjumlah sekitar 40 orang.
Segera setelah teks proklamasi disusun, Sayuti Melik mengetik teks tersebut. Ada beberapa perubahan yang dibuat oleh Sayuti Melik saat mengetik teks proklamasi.
Perubahan tersebut antara lain:
Tempoh yang diubah menjadi tempo.
Wakil-wakil bangsa Indonesia menjadi atas nama bangsa Indonesia.
Tambahan nama Soekarno-Hatta.
Djakarta, 17-8-05 menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05.
Baca juga: Viral Pria Kibarkan Bendera Merah Putih di Tengah Jalan Hanya Kenakan Popok
Baca juga: Halangi Ambulans yang Bawa Bayi Kritis hingga Meninggal, Oknum Prajurit TNI Terancam Hukuman Dobel
Usai diketik, karena dianggap tak diperlukan lagi, naskah tulisan tangan Soekarno itu sempat dibuang di keranjang sampah.
Untungnya, naskah tersebut diambil dan disimpan oleh B.M. Diah sebagai dokumen pribadi setelah rapat perumusan naskah proklamasi berakhir pada 17 Agustus 1945.
Dia segera saja menuju kantor stasiun radio untuk menyiarkan kabar berita tersebut.
Di belakang teks tersebut diberi catatan tulisan tangan B.M. Diah:
“Berita istimewa, berita istimewa. Pada hari ini, tanggal 17 bulan 8, 1945 di Djakarta telah dioemoemkan proklamasi kemerdekaan Indonesia jang boenjinya: Proklamasi, Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan, kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dllnja, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnya. Djakarta, 17-8-1945″.
Teks itu dikantonginya dan dia simpan sepanjang lebih dari 40 tahun lamanya sebelum diserahkan ke pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1992.
Baca juga: Wakil Presiden Amrullah Saleh Umumkan Pimpin Afghanistan, Bersumpah Lawan Taliban, Dimana Sembunyi?
Baca juga: Detik-Detik Polisi Bubarkan Aksi Demonstrasi Mahasiswa UIN Ar-Raniry di Depan Gedung DPRA
Kertas lecek itu dia bawa ke mana-mana saat dia berdinas sebagai Duta Besar di Cekoslovakia, Inggris dan Thailand antara tahun 1959 hingga 1968.
B.M. Diah kemudian menyerahkan naskah proklamasi tulisan tangan tersebut kepada Presiden Soeharto pada 1995.
Pada tahun yang sama, naskah asli proklamasi tersebut disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia hingga saat ini.
Perjuangan B.M. Diah
BM Diah merupakan putra asli Aceh. Dia lahir di Banda Aceh pada 17 April 1917.
Nama asli B.M. Diah yang sebenarnya adalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, berasal dari Barus.
Ayahnya adalah seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah.
Burhanuddin kemudian menambahkan nama ayahnya pada namanya sendiri.
Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah perempuan Aceh yang menjadi ibu rumah tangga.
Burhanuddin, anak bungsu dari 8 bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Dikutip Serambinews.com dari Kompaspedia, Burhanuddin memulai pendidikan di sekolah dasar HIS Kutaraja (kini disebut Banda Aceh) tahun 1929.
Setelah lulus dari HIS, ia disarankan kakaknya untuk melanjutkan ke MULO di Kutaraja.
Tetapi dia menolak karena tidak mau bersekolah di lembaga milik Belanda.
Akhirnya, dia memutuskan berangkat ke Medan dan bersekolah di Taman Siswa (setingkat SMP).
Di kota tersebut jiwa nasionalismenya makin kuat karena bergabung dengan pemuda aktivis.
Setelah itu, dia melanjutkan studi formal di Middelbare Journalisten School di Kesatrian
Instituut Bandung yang dikelola Douwes Dekker yang kelak berganti nama menjadi Setiabudi.
Baca juga: VIDEO Beberapa Kali Tertangkap Kamera, Acara Masterchef Indonesia Disusupi Makhluk Halus?
Baca juga: VIDEO Ratusan Warga Afghanistan Berebut Masuk Pesawat Kargo AS untuk Kabur dari Taliban
Diah sadar dia tidak punya kemampuan untuk membiayai sekolahnya maka dia hendak mengundurkan diri.
Namun, Douwes Dekker memberinya pekerjaan sebagai sekretaris di sekretariat sekolah dagang agar dia mampu membiayai sekolahnya.
Dia pun menyelesaikan pendidikan jurnalistiknya pada tahun 1937.
Setelah menyelesaikan studi jurnalistik di Bandung, B.M. Diah kembali ke Medan dan bekerja di harian Sinar Deli.
Ia tidak lama bekerja di harian tersebut, hanya sekitar 1,5 tahun, kemudian kembali ke Jakarta dan bekerja pada harian Melayu-Cina Sinpo sebagai penulis lepas selama beberapa bulan.
Pada saat Jepang menduduki Indonesia, B.M. Diah menjadi redaktur pelaksana dan wakil pemimpin redaksi surat kabar Asia Raya.
Posisinya sebagai jurnalis, membuat B.M. Diah banyak mengetahui informasi, baik di dalam maupun luar negeri.
Surat kabar Asia Raya ditutup ketika Jepang kalah perang dari pasukan sekutu tahun 1945.
Setelah Jepang menyerah, pada September 1945, B.M. Diah bersama rekan-rekannya kemudian merebut dan mengambil alih percetakan milik Jepang yang bernama Djawa Shimbun.
Bukan hanya sebagai seorang wartawan, B.M. Diah juga seorang aktivis. Sejak pendudukan Jepang, ia telah tergabung dalam lingkaran aktivis yang berhimpun di Asrama Menteng 31.
Asrama ini juga yang menjadi tempat tinggalnya para aktivis lain, seperti Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik, D.N. Aidit, dan Lukman.
Pada Juni 1945, B.M. Diah terlibat dalam pendirian Gerakan Angkatan Baru Indonesia.
Gerakan tersebut merupakan antitesis dari Gerakan Angkatan Muda yang dinilai sangat dipengaruhi oleh Jepang.
Di sana, B.M. Diah menjadi ketua panitia pendiri dari gerakan tersebut.
Gerakan ini melibatkan para tokoh militan, seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Harsono Tjokroaminoto, dan Asmara Hadi.
Tujuan dari gerakan ini adalah sebagai tempat berhimpun seluruh golongan, menyuarakan kemerdekaan, hingga menegaskan dalam pembentukkan Republik Indonesia.
Baca juga: VIDEO - Proses Evakuasi Pencari Sarang Walet yang Jatuh ke Jurang Berlangsung Dramatis
Baca juga: Babak Baru Kasus Sapi Kurus di Saree, Polda Aceh Tetapkan 9 Tersangka
Tak berhenti sampai di situ, awal Oktober 1945, B.M. Diah menerbitkan surat kabar Merdeka dan menjadi pemimpin redaksi.
Bersama istrinya, Herawati Diah, ia juga mendirikan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, B.M. Diah diberi kepercayaan sebagai Duta Besar RI untuk Chekoslovakia dan Hungaria pada tahun 1959.
Kemudian tahun 1962 menjadi Dubes di Inggris selama kurang lebih dua tahun. Setelah itu, dia ditugaskan menjadi Dubes di Thailand selama dua tahun
B.M. Diah meninggal dunia pada Senin dini hari tanggal 10 Juni 1996 di Jakarta. Ia meninggal pada usia 79 tahun akibat stroke dan penyakit ginjal yang telah lama dideritanya.
Jenazahnya dikebumikan di TMP Kalibata dengan upacara militer dan Menteri Penerangan Harmoko bertindak sebagai inspektur upacara
Berkat perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, B.M. Diah dianugerahi tanda jasa dan penghargaan Bintang Mahaputra kelas III (Bintang Utama) dari Presiden Soeharto (21 Mei 1973).
B.M. Diah juga mendapat Piagam Penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan 45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45 (17 Agustus 1995).(*)