Meski negosiasi kedua negara terus berjalan dan gencatan senjata di beberapa wilayah Ukraina, pasukan Rusia masih terus menggempur fasilitas publik di sejumlah kota di Ukraina.
SERAMBINEWS.COM – Sudah lebih dari dua pekan Rusia menginvasi Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin pun belum juga menginstruksikan pasukannya untuk mundur.
Meski negosiasi kedua negara terus berjalan dan gencatan senjata di beberapa wilayah Ukraina, pasukan Rusia masih terus menggempur fasilitas publik di sejumlah kota di Ukraina.
Pada Kamis (24/2/2022) lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukan militer Rusia untuk melancarkan invasi menyeluruh ke Ukraina.
Keputusan tanpa ragu itu terjadi setelah Vladimir Putin bersama Presiden China, Xi Jinping menandatangi sejumlah perjanjian sebelum Rusia menginvasi Ukarina.
Ternyata, Rusia telah memikirkan konsekuensi saat menginvasi Ukraina.
Benar saja, pemerintah Barat segera mengumumkan babak baru sanksi terhadap Rusia, tetapi mereka tidak sama sekali membantu Ukraina dalam hal peperangan.
Tepat sebelum pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, Xi Jinping dan Vladimir Putin bertemu.
Kedua belah pihak menandatangani 15 perjanjian kerja sama, yang mencakup berbagai bidang geopolitik dan perdagangan.
Namun hingga hari ke-16 Rusia menginvasi Ukraina, kenapa China tidak bantu Rusia dan Xi Jinping memilih diam?
Berikut ulasan Prof Dr Ir Ahmad Humam Hamid MA, seorang Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
Ulasan Prof Humam Hamid ini sudah dimuat dalam rubrik Kupi Beungoh di Serambinews.com pada Jumat (11/3/2022) dini hari.
Berikut ulasan Prof Humam Hamid.
SEBAGAI salah satu negara pendatang baru adikuasa, apa kepentingan China dengan perang Ukraina?
Tidak ada kepentingan, kecuali ingin agar energi luar negeri AS terkuras, namun perang kolosal jangan sempat terjadi.
Ketegangan China-AS memang sangat meningkat semenjak Trump menjadi Presiden AS, namun ketegangan itu tidak bertambah baik ketika Joe Biden menggantikan Trump.
Adalah rahasia umum, suka tidak suka, AS telah menempatkan Cina sebagai rival strategisnya dalam percaturan global, dan Cina juga tidak akan tinggal diam membiarkannya.
Semenjak kejatuhan Uni Soviet pada awal tahun 90-an, praktis AS berperan sebagai pemain tunggal global-bahkan menjadikan dirinya sebagai polisi dunia.
Kemajuan ekonomi Cina yang sangat luar biasa, terutama dalam 30 tahun terakhir, telah membuatnya tidak hanya menjadi raksasa ekonomi, tetapi telah menjelma menjadi ancaman kepentingan AS dalam percaturan politik global.
Sekalipun Cina pada era Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet pasca-Perang Dunia II, mempunyai kekuatan nuklir, namun dalam perebutan hegemoni dianggap tidak signifikan.
Alasannya? Karena ekonominya yang sangat kecil dan lemah.
Namun posisi itu kini telah berubah total. Kemajuan ekonomi Cina sangat tercermin dengan melihat kepada angka-angka terakhir.
Jika pada tahun 1960 kue ekonomi Cina, GDP, hanya 11 persen dari kue ekonomi AS, pada tahun 2019, kue itu telah membesar menjadi 67 persen dari ekonomi AS (Globaltimes 2022).
Tidak hanya itu, sekalipun GDP nominal AS pada tahun 2021 lebih besar AS- 22,675 triliun dollar, Cina 16,642 trillun dollar, namun angka itu menjadi lain ketika dilihat dari konteks paritas daya beli.
Ketika GDP dihitung dengan menggunakan paritas daya beli, GDP Cina meninggalkan jauh GDP AS dengan jumlah 4 triliun dollar lebih (IMF 2021).
Capaian pertumbuhan GDP yang terus bertambah itu sebenarnya tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi Cina yang tinggi bahkan sebelum tahun-tahun Covid-19, sering berada pada angka dua digit.
Pada tahun 2021 yang lalu pertumbuhan ekonomi Cina mencapai 8,1 persen, jauh lebih tinggi dari ekonomi AS yang hanya 5,7 persen (Globaltimes 2022).
Menurut beberapa ramalan lembaga dan media internasional yang kredibel, paling kurang di ujung dekade ini, Cina akan meninggalkan AS dalam capaian GDP, yakni pada tahun 2030 (IMF 2019, World Economic Forum 2018).
Ramalan terbaru yang memasukkan dampak pandemi dalam dua tahun terakhir dari media Nikkei Asia (2020) bahkan memproyeksikan Cina akan melampai GDP AS pada tahun 2028.
Dimana Posisi Cina?
Dengan keadaan pertumbuhan ekonomi Cina yang demikian tinggi dan cepat, seperti layaknya pengusaha kaya yang sedang tumbuh dalam suatu tatanan yang relatif aman, mungkinkah Cina mengharapkan dunia yang kacau, apalagi berpotensi untuk perang nuklir?
Beralasan jika Cina tidak mau.
Cina sudah sangat lama menderita, dan bahkan seperti ditulis oleh banyak kalangan, Cina miskin dan terhina selama lebih dari 100 tahun, terutama oleh kekuatan Barat dan Jepang (Smith dan Fallon 2021).
Adalah logis kalau Cina akan mengambil kesempatan besar dalam konflik Ukraina ini.
Cina sangat diuntungkan dengan perseturuan Barat dengan Rusia, akan tetapi Cina juga tidak menginginkan konflik itu terseret ke dalam konflik regional, apalagi global, karena hal itu akan sangat merugikan Cina.
Pihak-pihak yang berharap Cina akan segera memihak Rusia, terutama karena perlakuan dan tingkah AS akhir-akhir ini, sangat kecewa melihat tingkah Cina yang sangat hati-hati dan tidak terburu-buru.
Cina tidak mau berkonflik dengan AS dalam hal Ukraina.
Cina juga sangat menginginkan keamanan dan perdamaian segera tercapai di Ukraina.
Cina bersimpati dengan Uni Eropa yang kalau terjadi konflik besar bersenjata, akan langsung terimbas.
Cina juga mustahil akan memusuhi Rusia yang telah “membantunya” menguras energi AS.
Sikap dingin dan hati-hati Cina telah mulai masuk ke fase “dewasa” untuk menjadi calon negara adikuasa abad ke 21.
Pelajaran dari Jerman 200 Tahun Lalu
Dalam beberapa hal, apa yang dihadapi oleh Cina, baik dalam menyelesaikan personal domestik dan luar negeri, pernah dialami oleh Prusia-Jerman 200 tahun sebelumnya.
Sejarah Eropa abad ke 18 dan 19, mencatat bahwa benua itu adalah kawasan yang paling berdarah di muka bumi pada saat itu.
Dalam dua abad itu semua kekuatan besar Eropa-Inggris, Perancis, Austria-Hungaria, Prusia/Jerman, Spanyol, dan Rusia terlibat dalam perang sesama yang relatif panjang.
Dan menariknya, dalam kemelut itu Jerman tampil sebagai negara kampiun tak tertandingkan, walaupun kemudian terseret dalam perang Dunia I setelah kanselir hebatnya, Bismarck pensiun.
Seperti ditulis dalan biografi Bismarck : A Life ,oleh Jonathan Steinberg ( 2011) profesor sejarah dari Universitas Pensylvania, adalah Otto van Bismarck, kanselir Pertama Jerman (1871-90) yang berhasil membawa Jerman maju dan selamat selama 20 tahun dalam kekalutan Eropa pada masa itu.
Sejarah mencatat Bismarck sebagai pemimpin terhebat dan ahli diplomasi yang sangat ulung dalam 200 tahun terakhir.
Ia sangat hebat secara domestik, dan ia juga sangat luar biasa dalam politik luar negeri.
Ia menyatukan 39 negara-negara kecil menjadi sebuah negara besar Jerman pada tahun 1871.
Ia juga penggagas dan pemula negara kesejahteraan-welfare state, yang hari ini diadopsi di hampir seluruh dunia, termasuk dengan berbagai kartu kesehatan, pendidikan, dan subsidi lainnya yang berlaku di Indonesia.
Bismarck juga sangat terkenal dengan pendekatan “Realpolitik” yang dalam berbagai kebijakan lebih mendasari kepada kepentingan praktis, material, dan kepentingan nasional, ketimbang prinsip-prinsip moral dan ideologi.
Tidak mengherankan kadang ia juga sering dijuluki sebagai praktisi Macheaveli kelas tinggi paripurna.
Salah satu RielPolitik Bismarck yang paling terkenal adalah cara ia berinteraksi dengan kekuatan besar Eropa pada masa itu, baik yang menjadi amcaman bagi Jerman, maupun ancaman bagi negara-negara lainnya.
Jerman memenangkan perang melawan Perancis pada tahun 1871 dengan dua hasil utama, tampilnya satu Jerman yang utuh, terhapusnya dominasi Perancis di daratan Eropa.
Kemenangan itu memaksa Bismarck untuk mengisolasi Perancis, namun pada saat yang sama juga sangat berhati-hati dengan kekuatan raksasa Rusia, kehebatan Inggris, dan tetangga Austria, yang lebih dulu hebat dari Jerman.
Adagium Bismarck hanya satu, carilah pihak yang tepat untuk menjadi kawan, dan jadikan musuh selemah mungkin.
Kemenangan Bismarck atas Perancis yang membuat banyak negara tidak nyaman, segera direspons dengan bebagai tindakan dan ucapan yang menunjukkan Jerman tidak akan memperluas kawasan.
Ia segera menjalin persahabatan dengan Rusia dan Austria- Hungary.
Bismarck dengan sangat cemerlang berhasil meyakinan kedua negara itu untuk sebuah pakta keamanan dan menjadi payung perdamaian Eropa yang dalam sejarah dikenal dengan istilah Dreikaiserbund-persekutuan Tiga Kaisar -Jerman, Austria Hungary, dan Rusia.
Ia juga bersahabat baik dengan Inggris, yang pada masa itu sangat terkenal dengan kekuatan angkatan laut di dunia.
Anehnya semua mitra Bismarck dalam banyak hal adalah rivalitas, dan saling mencurigai, dan tangan dingin Bismarck mampu menjadikan Eropa relatif aman.
Aliansi yang dibangun Bismarck melemahkan sekaligus mengunci Perancis yang telah mendikte Eropa selama 3 abad lebih.
Dengan payung keamanan itu pula Jerman mencapai pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan tampil menjadi negara adikuasa pada awal abad ke 20.
Menghormati Integritas Ukraina, tak Mengutuk Invasi Rusia
Dalam konteks krisis Ukraina hari ini apakah Xi Jinping menomorsatukan ideologi komunisnya dalam berinteraksi dengan berbagai pemain yang terlibat?
Jawabannya tidak.
Cina tidak mau pertumbuhan ekonominya terganggu, tidak ingin perang nuklir, dan tidak ingin pula Cina berpihak yang secara kasat mata bersinggungan dengan norma internasional.
Posisi Cina dalam hal Ukraina cukup tegas dalam dua kata, menuruti ungkapan Menlu Wang Yi, yakni dialog dan negosiasi.
Kata itu bertebaran seperti yang ditulis dan disiarkan dalam berbagai media international (NPR, Financial Times, Nikei Asia, Wall Stree Journal, February 2022).
Ketika Resolusi PBB diadakan untuk mengutuk invasi Rusia, Cina mengambil posisi tidak mendukung dan tidak mengecam alias abstain.
Cina juga menyatakan sangat menghormati integritas wilayah negara Ukraina.
Cina juga mengeritik AS yang telah menyebabkan Rusia menginvasi, karena Barat telah mengirimkan berbagai persenjataan kepada Ukraina.
Tidak berhenti di situ, AS juga disebut Cina memberi lampu hijau kepada Ukraina untuk menjadi anggota NATO-sesuatu yang membuat Rusia sangat marah.
Cina dingin saja, dan bahkan kini menawarkan diri menjadi penengah.
Yang pasti Cina kini sedang memainkan kartu realpolitik Bismarck abad ke 19.
Kenapa demikian? Cina punya satu tujuan, pertumbuhan ekonomi, dan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dalam beberapa tahun mendatang.
Menjadi nomor satu, dan bahkan mengalahkan AS tanpa peperangan, itulah tujuan Cina.
Apa buktinya?
Semua pihak yang terlibat, baik langsung, maupun tidak langsung dalam konflik Ukraina adalah mitra ekonomi terbesar Cina, yang kalau perang berlangsung akan membuat Cina sangat terganggu.
Ambil contoh, nilai perdagangan Cina tahun 2021 cukup besar dengan Rusia-147 miliar dolar US, dan dengan Ukraina 19 miliar dollar US.
Ekspor Cina yang lebih banyak dalam bentuk produk jadi, dan impor yang lebih didominasi oleh bahan mentah, akan menjadi parah ketika sanksi ekonomi AS terjadi dan akan sangat parah bila terjadi perang (Kennedy Maret 2022).
Tidak hanya perdagangan, investasi Cina di Rusia pada tahun 2020 mencapai angka 570 miliar dollar.
Walaupun pada tahun 2021 investasi Cina di Ukraina hanya bernilai 250 juta dollar, seandainya Ukraina damai, Cina segera akan meralisasikan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang bernilai 1 miliar dolar di Donetsk.
Bagaimana dengan Uni Eropa?
Kawasan ini juga tidak kalah penting bagi Cina.
Nilai perdagangan Cina dengan Uni Eropa pada tahun 2021 adalah 828,1 dollar US, naik 25 persen setiap tahunnya tahun (China Daily, Februari 2022).
Bagi Uni Eropa, Cina adalah partner ekspor terbesar, sementara bagi Cina, Uni Eropa adalah partner nomor dua impor terbesar setelah AS.
Semua anggota Uni Eropa praktis terus menerus membesar nilai perdagangannya dengan Cina, dimana nomor satunya adalah Jerman.
Sementara itu, walaupun investasi Cina di Uni Eropa hanya sekitar 7,1 milyar dollar, namun investasi Uni Eropa di Cina mencapai lebih dari 154 miliar dollar pada tahun 2021 (EU 2021)
Berapa nilai perdagangan dan investasi Cina dan AS? Jawabannya adalah besar, dan bahkan kedua terbesar dalam hal perdagangan.
Nilai perdagangan AS dan Cina pada tahu 2021 mencapai angka 657 miliar dollar US, hanya kalah dengan Uni Eropa.
Sementara itu nilai investasi AS di Cina berada pada angka 173,48 miliar dollar US (Statista 2022).
Dengan melihat angka-angka ekonomi seperti itu, pilihan Cina dengan menyerukan dua kata-dialog dan negosiasi-adalah pilihan yang sangat tepat.
Sebagian tujuan Cina untuk menguras energi AS telah terpenuhi, dan bagi itu cukup sudah.
Tidak usah perang, karena jangankan perang, sanksi ekonomi ketat AS yang kali ini terbanyak pengikutnya dalam sejarah akan membuat ekonomi Cina sangat terganggu.
Cina telah mempraktekkan dengan sempurna strategi Bismarck.
Melemahkan AS dan berteman baik dengan kawan dan lawan AS secara sistematik.
Pilihan realpolitik Bismarck ala Cina lagi-lagi menempatkan kepentingan pragmatisme dan material yang didahulukan, bukan ideologi.
Seperti ditulis Alice Yan dalam koran South China Morning Post pada April 2017, Xi Jinping adalah pribadi yang lapar bacaan.
Ia membaca banyak, dan setiap waktu senggang dia membaca. Pasti dia telah membaca habis biografi Otto Van Bismarck. (BERSAMBUNG)
Disclaimer: KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis. (*)
Baca Series Lainnya
1. Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (I): Denazifikasi dan Demiliterisasi Ukraina
2. Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (II), Emosional atau Logiskah Alasan Putin?
3. Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (III), Benarkah Putin Reinkarnasi Ivan ‘Ceulaka’ the Teribble?
4. Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (IV), Georgia dan Kegagalan Barat Menjegal Putin
5. Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (V), Laboratorium Suriah Putin, untuk Ukraina?