Jurnalisme warga

Ketika Tambo dan Jingki Tak Lagi Berfungsi di Aceh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

T.A.SAKTI, peminat manuskrip dan sastra Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

1) Jingki penumbuk padi

Bagi kaum ibu tidak kurang pula repotnya.

Mereka lebih banyak berurusan dengan penyediaan konsumsi beras dan tepung yang mencukupi untuk tempo sebulan.

Di masa lalu, bukan main riuh-rendahnya suara “jingki” (jeungki) alat penumbuk padi.

Tingkah suaranya bagaikan gema nyanyian kodok di musim hujan.

Tambahan pula, biasanya dalam sebuah desa paling banyak jingki hanya dua-tiga buah saja, hingga hampir sebulan penuh sebelum puasa, jingki bertingkah mengupas padi terdengar bersahut-sahutan ke seantero kampung.

Baca juga: Jingki Ie Made In Cot Jrat, Pompa Air tanpa Listrik dan BBM untuk Sawah Tadah Hujan

Di samping mempersiapkan beras, kaum ibu juga menumbuk tepung (top teupong) untuk juadah (penganan) buka puasa.

Yang paling banyak ditumbuk adalah tepung ketan, karena kue-kue khas Aceh seperti timphan, timphan balon, boh rom-rom (klepon), dan lain-lain lebih banyak menggunakan tepung ketan (teupong leukat).

Bila Anda kebetulan naik bus dari Banda Aceh menuju Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) menjelang bulan puasa, ”jemuran tepung” merupakan suatu pemandangan indah yang dapat Anda nikmati.

Putih-memutih bagaikan salju di sepanjang jalan raya.

Jemuran tepung itu bukan hanya dalam tikar yang dihamparkan di tanah, tetapi juga di atas atap rumah, di atas sebatang galah, dan di kebun kosong dipenuhi dengan jemuran tepung untuk kebutuhan puasa.

Dua hari sebelum mulai puasa disebut hari meugang (makmeugang) di Aceh.

Ada tiga kali hari meugang dalam setahun.

Yaitu, makmeugang puasa, makmeugang Idulfitri, dan Iduladha.

Pada hari makmeugang itu di setiap kampung/kota diadakan penyembelihan hewan ternak, baik lembu maupun kerbau.

Halaman
1234

Berita Terkini