Kali ini memberi aba-aba kepada kaum ibu supaya siap-siap untuk makan sahur dan kaum bapak akan segera turun dari meunasah pulang ke rumah masing-masing.
Lebih kurang pukul 05.00 WIB “dum-dum-bum” bunyi beduk terakhir.
Ini menandakan waktu imsak (menahan) dimulai.
Suara tambo yang terakhir ini juga sekaligus untuk memanggil umat Islam berjamaah Subuh.
Waktu buka puasa pun ditandai dengan tabuhan beduk.
Hadirin yang telah hadir di meunasah yang terdiri atas berbagai umur, termasuk anak-anak, duduk bersila di tikar lantai meunasah sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba.
Salah seorang di antara mereka mendekati tambo (beduk).
Setelah jarum jam cocok dengan jadwal imsakiah Ramadhan, maka beduk pun berdentum-dentum di tiap desa.
Dengan demikan orang yang buka puasa di meunasah, dapat bersamaan waktunya dengan ibu rumah tangga yang berbuka di rumah setelah mendengar suara tambo.
Selesai buka puasa diteruskan dengan shalat Magrib berjamaah, baru setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing.
Setengah jam berikutnya, lagi-lagi suara tambo bertalu-talu mengajak muslimin/muslimat untuk shalat Tarawih.
Pengumuman hari Lebaran Idulfitri pun ditandai dengan suara tambo.
Namun kini, tambo dan jingki keduanya sudah nyaris tak ada lagi di Aceh.
Hanya nama tambo masih melekat pada sebuah kampung yang bernama Gampong Pulo Tambo, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Aceh.
Sementara sebutan jingki juga masih menempel pada sebuah kampung di Kecamatan Peureulak Timu, Kabupaten Aceh Timur, yakni Gampong Jingki.
Bulan puasa dewasa ini
Bulan puasa Ramadhan sudah tiba kembali seperti tahun lalu juga.
Masyarakat Aceh sekarang tidak lagi menyambut bulan puasa dengan bersahaja.
Dendangan suara jingki dan dam-dum bunyi tambo tak meriuhkan kampung seperti masa dulu.
Jemuran tepung pun nyaris tak terlihat, baik di halaman rumah maupun di sepanjang jalan Banda Aceh–Medan.
Para petani tidak merasa risau lagi “turun ke sawah” pada bulan puasa.
Ini disebabkan segala urusan bertani sekarang bukan dikerjakan lagi dengan menguras tenaga fisik.
Segalanya diupahkan kepada pemilik alat mesin pertanian.
Mulai dari membajak sawah, menanam hingga memanen diongkoskan kepada orang kaya pemilik alat canggih itu.
Mungkin inilah salah satu sebab Aceh melekat sebagai provinsi termiskin di Sumatra.
Berkat kemajuan teknologi, tambo dan jingki sudah kadaluwarsa atau out of date.
Keduanya sudah tergantikan oleh toa pelantang suara dan pabrik penggilingan padi.
Dalam tahun 1980-an boleh dikatakan semua masjid dan meunasah di Aceh sudah memiliki toa pelantang suara.
Sementara sekarang, mesin penggilingan padi siap dipanggil untuk ke rumah kita masing-masing.
Keduanya telah menggantikan tambo dan jingki warisan endatu.
Semoga ada yang mengenangnya.
Baca juga: Program Sapa Umat, Kemenag Aceh Turunkan Tim Safari Ramadhan ke Daerah, Ini Jadwalnya
Baca juga: Ayo ke Gerai Vaksin Selama Ramadhan, Realisasi Vaksinasi Booster Masih Rendah di Nagan Raya