Akhirnya, mari kita tinggalkan perdebatan yang dangkal dan beralih pada penilaian yang lebih mendalam dan substansial terhadap calon pemimpin kita.
Dalam dunia politik yang kompleks dan penuh tantangan ini, pemimpin yang ideal harus lebih dari sekadar fasih membaca Al-Qur'an, mereka harus mampu menerjemahkan ajaran Islam menjadi tindakan nyata yang membawa manfaat dan kemajuan bagi masyarakat.
Kemampuan membaca Al-Qur'an adalah nilai tambah, bukan tolak ukur utama dalam menilai kelayakan dalam memimpin. Jika memang kemampuan membaca Al-Qur'an dijadikan tolak ukur utama,
maka saya katakan bahwa ini adalah kegagalan akal dalam menilai sosok pemimpin, karena banyak yang mampu membaca Al-Qur'an tetapi tidak layak untuk dijadikan sebagai memimpin.
Pertanyaannya, teori apa yang digunakan bahwa mampu membaca Alqur'an adalah sebagai pemimpin yang lebih efektif menangani kompleksitas masalah Aceh saat ini..?
Penting untuk dicatat, bahwa berbicara tentang pemimpin adalah berbicara tentang kemampuan mengelola kebijakan, membangun stabilitas, dan memajukan kepentingan publik melalui strategi politik yang efektif,
serta kecakapannya dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan strategis yang mengutamakan prinsip Syariat. Maka ini dapat diukur sejauh mana calon pemimpin dekat dan didukung oleh para ulama kita. (*)
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Filsafat Hukum Universitas Islam Sultan Syarif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI