KUPI BEUNGOH

Membuka Mata, Mendengar Luka: Kekerasan yang Kita Anggap Biasa

Editor: Yocerizal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Miftahul Jannah, Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat dan Sahabat Saksi dan Korban wilayah Aceh.

Oleh: Miftahul Jannah *)

ACEH, tanah Serambi Mekah yang dikenal akan nilai-nilai religius dan adat istiadatnya yang kuat, hari ini kembali membayangkan kenyataan pahit, meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang terus bermunculan. 

Ironisnya, di tengah aturan yang menjunjung tinggi moral dan kehormatan, justru mereka yang paling rentan anak-anak dan perempuan menjadi korban kekerasan yang seringkali diselimuti oleh keadaan.

Data dari berbagai lembaga perlindungan menunjukkan bahwa kekerasan fisik, psikologis, bahkan seksual terhadap perempuan dan anak terus mengalami lonjatan. 

Kekerasan terhadap anak bukan sekadar deretan angka dalam grafik. Di balik setiap kasus tersembunyi banyak wajah-wajah kecil yang memikul luka dalam diam. Mereka tidak selalu berteriak, tapi trauma yang harus di rasakan tubuh mereka dalam senyap. 

Di Aceh, senyum anak-anak masih terlihat, namun terlalu banyak di antaranya adalah senyum yang dipaksakan untuk menutupi ketakutan dan rasa sakit yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka.
 
Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, baik yang tercatat maupun yang tenggelam dalam bisu, terus meningkat. Ini bukan sekedar statistik, ini adalah potret dari krisis empati dan kegagalan sistem. 

Banyak korban memilih diam. Bukan karena tidak ingin keadilan, tapi karena takut tidak dipercaya. Takut dipersalahkan. Takut menjadi bahan gunjingan masyarakat yang lebih cepat menghakimi daripada manusia.

Baca juga: Nilai Mata Kuliah Jokowi 5 Tahun di UGM Banyak C dan D, Sahabat Sebut Berprestasi: Lulus Cepat

Baca juga: Bupati Singkil Safriadi Curigai Minyak dan Gas di Balik Perebutan 4 Pulau di Aceh Singkil

Setiap jam, anak-anak Aceh dan perempuan terus mengalami kekerasan dan hanya sebagian kecil yang berani melaporkan. Pelaku kekerasan bisa siapa saja, tempatnya bisa di mana saja, dan korbannya bisa anak siapa saja. 

Maka ketika angka kasus terus meningkat, sungguh di Aceh kasus-kasus terselubung mereka nyata, mereka dekat, dan mereka berkeliaran di sekitar. Meski tidak terlihat bentuknya, namun datang mengintai dalam senyap hadir dalam setiap celah. 

Kekerasan terhadap perempuan bisa muncul dari siapa pun, kapan pun, di mana pun bahkan rumah yang kini di anggap aman kini jadi ancaman.

Mengapa ini bisa terjadi di wilayah yang dikenal religius? Jawabannya bukan pada ajaran, tapi pada bagaimana ajaran itu dijalankan. 

Budaya patriarki, pemahaman agama yang keliru, serta lemahnya penegakan hukum menjadi tiga pilar penyebab utama kekerasan ini terus berlangsung. 

Banyak yang merasa pelaku aman karena dibungkus oleh status sosial, hubungan keluarga, citra sebagai tokoh moral. Mereka bersembunyi di balik topeng kehormatan, padahal di baliknya ada luka yang terus mereka ciptakan.

Barangkali kita terlalu sibuk menjaga jubah moral, hingga lupa bahwa tubuh-tubuh kecil dan jiwa-jiwa rapuh sedang tergoncang-goncang di balik pintu rumah, di sudut pendidikan bahkan di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman. 

Baca juga: Kebakaran Ruko di Tamiang Renggut Nyawa Satu Keluarga

Baca juga: Menu Makanan Khas Aceh Jadi Hidangan Jamaah Selama di Asrama Haji

Dan lebih buruknya lagi, kekerasan ini sering kali dilakukan oleh orang-orang yang dikenal, disegani, bahkan dipercaya di lindungi. 

Perempuan adalah makhluk mulia yang kehadirannya laksana perhiasan kehidupan bernilai, lembut, dan membawa cahaya. 

Begitu agung kedudukannya, hingga Allah SWT mengabadikannya dalam Al-Qur'an melalui surat An-Nisa, sebagai tanda bahwa perempuan bukan hanya hadir di dunia tapi membawa kehidupan di dalam rahimnya, membawa keteguhan dalam diamnya, dan membawa kasih dalam langkahnya. 

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda "Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka, perlakukanlah para wanita dengan baik. (HR al-Bukhari).

Kita tidak bisa terus membiarkan ini. Melindungi perempuan dan anak bukan sekadar soal hukum, ini adalah soal kemanusiaan. 

Pemerintah Aceh, ulama, tokoh adat, dan masyarakat harus bersatu suara untuk menegakkan keadilan, menghapuskan budaya diam, dan membangun sistem perlindungan yang benar-benar berpihak pada korban. 

Perlu adanya pendidikan gender di sekolah dan pesantren, pelatihan sensitif gender bagi aparat hukum, serta penguatan lembaga perlindungan perempuan dan anak. 

Dan yang paling penting, kita harus menciptakan ruang aman bagi korban untuk berbicara tanpa rasa takut, tanpa dihakimi. Aceh bisa jadi pelopor perubahan, jika kita berani membuka mata dan hati.

Baca juga: Angin Puting Beliung Terjang Rumah dan Balai Pengajian di Aceh Utara

Baca juga: Revisi UUPA Dinilai Elitis, Akademisi Desak Gubernur dan DPRA Libatkan Rakyat Aceh

Mari berhenti menyalahkan korban, mari mulai mendengar mereka. Karena satu anak atau satu perempuan yang selamat dari kekerasan ada harapan hidup yang lebih baik.

Sahabat Saksi dan Korban (SSK) Aceh kini hadir mambantu memberi dukungan dan pendampingan kepada saksi dan korban tindak pidana yang selama ini tidak mendapatkan hak korban sebagai kebutuhan dasar, seperti psikologis, medis dan maupun sosial. 

Sahabat Saksi dan Korban (SSK) wilayah Aceh yang berada di bawah koordinasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Jakarta. 

Sahabat Saksi dan Korban (SSK) yang telah mendapatkan pelatihan dari LPSK pusat pada tahun 2024  sebanyak 72 relawan yang telah di kukuhkan yang kini tersebar di beberapa wilayah di Aceh.(*)

*) PENULIS adalah Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat dan Sahabat Saksi dan Korban wilayah Aceh. 

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini