Dua anak terakhirnya adalah laki-laki, Muhammad Yasin dan Muhammad Nur.
Anak sulung, ke empat dan ke lima berprofesi sebagai dosen di USK.
Anak kedua, ASN di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Putri ke tiganya berprofesi sebagai guru.
Sementara Muhammad Yasin adalah karyawan Bank Aceh Syariah dan si bungsu, Muhammad Nur adalah alumnus Fakultas Pertanian USK yang menjadi syuhada Tsunami Aceh.
Baca juga: Masih Adakah Ulama Alumni Dayah?
Hakim Berintegritas
Selama 30 tahun delapan bulan lebih menjalankan profesinya, Amin dikenal sebagai hakim berintegritas. Perkataan dan tindakannya selalu selaras dengan perilakunya sehari-hari.
Ia selalu berpijak pada kebenaran dan keadilan. Amin menyadari betul, tugas hakim itu sangat berat.
“Dengan palu keadilan di tangan, seorang hakim sesungguhnya berdiri ditepi jurang yang memisahkan surga dan neraka. Keberpihakan pada kebenaran akan mengangkatnya ke surga, namun kesalahan dalam memutuskan perkara membuatnya tergelincir dalam neraka”, ujar Amin di hadapan anak-anaknya
Sepanjang hayatnya, anak ke lima dari sebelas bersaudara ini selalu memegang teguh prinsip jujur, lurus, berani, adil, dan amanah.
Penulis sendiri pernah mendengar langsung beberapa pernyataan karib kerabat dan tokoh masyarakat tentang sosok Amin.
Salah seorang tokoh masyarakat Gampong Paya Seunara, Sabang -penulis lupa namanya- menyatakan, “Amin hakim yang adil dan berani, ia tidak gentar menegakkan kebenaran walau berhadapan dengan aparat berseragam”.
Di lain waktu, ketika melayat atas meninggalnya Amin (14 Februari 1999), penulis mendengar beberapa pernyataan terkait integritas Amin, misalnya: “Sepanjang kaki melangkah, almarhum dikenal sebagai orang yang jujur”, ujar sahabat Amin.
Sementara, dalam sebuah kesempatan bincang-bincang penulis dengan Prof Yusny Saby –mantan rektor UIN Ar-Raniry-, penulis banyak mendapat informasi tentang keseharian Amin di masa kuliah.
“Pak Amin galak maguen (hobi masak), orangnya jujur dan alim”, ujar Yusny yang ketika itu melanjutkan studi di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), Yogyakarta. Dari Prof Yusny pula penulis tahu nama khas “Amin Cicem”.
Amin adalah pribadi yang sangat sederhana.
Baca juga: "Joging Di Tempat Umum", Jangan Dengan Celana Ketat, Baju Di Atas Pantat Wahai Muslimah
Jabatan hakim tidak membuatnya silau dengan gemerlapnya dunia.
Ia tidak pernah berpikir untuk memenuhi keinginan, tapi selalu bersyukur dengan apa yang sudah didapat.
Amin hanya memiliki sebuah sedan butut DODGE Avanger keluaran 1978. Sedan ini didapatnya dari proses pengalihan aset mobil dinas.
Satunya lagi sepeda motor Honda Super Cub 800 tahun 1980-an yang dibeli secara cicilan. Sepeda motor ini dikendarai berbagi antara isteri dan anak-anaknya.
Keseharian Amin sangat bersahaja.
Pria yang rajin bersilaturahmi ini suka berjalan kaki atau lebih memilih angkutan umum jika ingin bepergian diluar jam dinas.
Bahkan, ia tidak malu berwirausaha untuk menambah penghasilan secara halal.
Banyak orang berpikir, menjadi hakim adalah kesempatan untuk bergelimang harta.
Terlihat aneh dan bodoh jika hakim itu berpenampilan sederhana dengan harta seadanya.
Sampai-sampai ada yang menyebut ”hakim pantengong” untuk Amin.
Inilah “Amin Cicem”, yang telah meninggalkan legacy sebagai hakim berintegritas.
Ia adalah pribadi yang selalu menjaga kemuliaan profesi.
Tanpa korupsi, kolusi dan kong kali kong.
Amin menghembuskan napas terakhir bakda Magrib di rumahnya sendiri, yang dibangun sejak 1983 dan belum selesai seratus persen hingga ia mangkat.
*) PENULIS adalah Alumnus Universitas Syiah Kuala, peminat literasi sejarah Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI