Kebutuhan zaman
Keenam, berkaitan dengan program Muadalah (penyetaraan ijazah) yang dikritik MH sebagai bentuk "komersialisasi" pendidikan dayah, seharusnya dilihat sebagai ikhtiar untuk memperkuat daya saing santri di dunia modern. Program ini bukan untuk mereduksi roh kaderisasi ulama, melainkan upaya menjawab kebutuhan zaman agar alumni dayah dapat melanjutkan pendidikan ke UIN, Timur Tengah, atau lembaga-lembaga tinggi lainnya dengan pengakuan formal yang sah. Bukankah ijazah adalah kebutuhan yang sah bagi anak bangsa di era ini? Apakah MH hendak mengajak kita kembali ke masa klasik dengan menafikan kebutuhan santri akan legalitas ijazah untuk bisa mengakses dunia akademik yang lebih tinggi?
Program Muadalah atau Pendidikan Diniyah Formal di dayah justru menjadi bentuk rekognisi negara atas eksistensi dayah yang perlu disyukuri. Proses kaderisasi ulama di dayah akan semakin kuat karena para alumni memiliki akses lebih luas untuk mengembangkan keilmuannya ke berbagai jenjang pendidikan lanjutan dengan bekal ijazah yang didapat di dayah. Sehingga justru dengan adanya rekognisi, dayah semakin kokoh menjadi pilar pendidikan Islam di Aceh.
Tuduhan MH bahwa dayah hanya melahirkan teungku-teungku muda yang labil sesungguhnya tidak mencerminkan realitas. Proses kaderisasi ulama adalah perjuangan panjang lintas generasi yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan ketulusan. Dayah tidak pernah berhenti mendidik, membimbing, dan menggembleng para santri dengan napas keikhlasan yang sudah teruji selama ratusan tahun. Dengan segala tantangan dan dinamika yang ada, dayah tetap istiqamah menjadi benteng keilmuan Islam dan lembaga kaderisasi ulama di Aceh. Insya Allah.