Berita Sabang

Harga Minyak Nilam Anjlok, Petani di Bateshok Sabang Butuh Support Pemerintah

Penulis: Aulia Prasetya
Editor: Saifullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ALAT PENYULINGAN NILAM - Salah satu unit alat penyulingan minyak nilam di Gampong Bateshok, Kecamatan Sukamakmue, Kota Sabang.

Laporan Aulia Prasetya | Sabang

SERAMBINEWS.COM, SABANG – Antusiasme masyarakat Gampong Bateshok, Kecamatan Sukamakmue, Kota Sabang untuk menanam nilam terus meningkat sejak Agustus 2024. 

Lonjakan harga Minyak Nilam yang sempat menembus angka Rp 2,4 juta per kilogram, menjadi pemicu utama masyarakat memperluas lahan hingga kini mencapai sekitar 20 hektare.

Penjabat (Pj) Keuchik Bateshok, Mansyur AG mengatakan, sejak nilam ditanam, produksi minyak di desa tersebut sudah menembus lebih dari 200 kilogram. 

Ia menyebutkan, sekitar 30 petani di gampong itu khusus menekuni usaha nilam dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian keluarga.

“Nilam mulai banyak ditanam di Bateshok sejak Agustus tahun lalu, karena harga minyaknya sempat naik hingga Rp2,4 juta per kilogram,” beber Keuchik Bateshok. 

Baca juga: Masyarakat Bateshok Sabang Antusias Perluas Lahan Tanaman Nilam, Meski Alat Penyulingan Terbatas

“Kondisi itu mendorong masyarakat memperluas lahan,” ujar Mansyur, Sabtu (23/8/2025).

Namun, urai dia, semangat petani nilam kini mulai diuji. 

Harga minyak nilam anjlok tajam menjadi Rp 700 ribu per kilogram, sejak tahun 2025.

Kondisi ini membuat pendapatan petani menurun drastis dan menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan usaha mereka.

“Sekarang harganya tinggal Rp 700 ribu per kilogram, padahal sebelumnya sempat mencapai Rp 2,4 juta,” sebut dia. 

Baca juga: Harga Minyak Nilam Anjlok, Semangat Petani di Sabang Melemah

“Penurunan ini sangat memberatkan petani karena biaya produksi cukup tinggi,” kata Mansyur.
Selain persoalan harga, keterbatasan alat penyulingan juga menjadi masalah utama. 

Dari total 30 petani, hanya tersedia tiga unit penyulingan yang aktif digunakan, dua milik pribadi dan satu milik kelompok. 

Akibatnya, petani harus antre panjang untuk mengolah hasil panen.

“Proses nilam itu berkelanjutan, tapi kami terkendala dengan ketel penyulingan,” ungkap Keuchik Bateshok. 

Baca juga: Kembangkan Nilam Aceh, Kepala ARC USK Terima Indonesia Innovator Award dari BRIN dan LPDP

Halaman
12

Berita Terkini