Opini

Guru Aceh dan Matematika Kesejahteraan

Dengan begitu, jurang penghasilan antara guru madrasah dan guru sekolah tidak lagi dibiarkan melebar, dan para guru dapat kembali fokus pada

|
Editor: Ansari Hasyim
IST
Khairil Miswar, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, dan penulis buku “Demokrasi Kurang Ajar” 

Kontras ini terasa menyakitkan bila disandingkan dengan kondisi guru Pemda di Aceh. Tanpa TPP, pendapatan mereka mentok di kisaran Rp 6–7 juta.

Ironisnya, ketimpangan itu terjadi di tengah derasnya kucuran Dana Otonomi Khusus Aceh yang mencapai Rp 4,3 triliun pada 2025 (metrotvnews.com). 

Namun, kesejahteraan guru Pemda di Aceh justru nyaris tidak tersentuh.
Jika kita mau jujur, situasi ini menciptakan kesenjangan ganda. Pertama, antara guru Pemda dan guru Kemenag; kedua, antar-guru Pemda itu sendiri, tergantung di daerah mana mereka bertugas.

Seorang guru di Banda Aceh, misalnya, bisa merasa “lebih beruntung” dibanding rekannya di Bireuen yang sama sekali tidak mendapat TPP.

Yang lebih getir, perbedaan itu kerap menjadi bahan gurauan di lapangan. Seorang guru Kemenag bisa dengan ringan berseloroh, “Uang makan saya cukup untuk bayar kuota internet, kamu gimana, Bu?”

Humor seperti ini memang terdengar sepele, tetapi sesungguhnya menyingkap kenyataan pahit yang berlangsung dari waktu ke waktu.

Padahal, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen dengan jelas menegaskan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial.

Namun praktik desentralisasi membawa konsekuensi lain: standar kesejahteraan guru akhirnya ditentukan oleh instansi dan kemampuan daerah masing-masing.

Inilah ironi dari otonomi. Alih-alih menghadirkan pemerataan, ia justru membuka jurang ketimpangan antara pusat dan daerah, antara guru Kemenag dan guru Pemda, bahkan antar-guru Pemda itu sendiri.

Dampaknya tentu tidak berhenti di rekening para guru. Motivasi dan profesionalisme pun ikut tergerus. Tak sedikit guru Pemda akhirnya mencari pekerjaan sampingan demi menutup kebutuhan hidup.

Ada yang berjualan online, bahkan ada yang memilih beternak kambing. Semua itu sah-sah saja, tentu, selama dilakukan dengan cara yang bermartabat. Namun ketika energi guru terpecah, siapa yang paling dirugikan?

Bukan hanya guru itu sendiri, melainkan murid, kualitas pendidikan, dan pada akhirnya masa depan daerah.

Di tengah kerumitan ini, Aceh sebenarnya memiliki peluang unik. Dana Otsus yang mengalir saban tahun semestinya bukan hanya sebagai modal untuk membangun gedung sekolah atau infrastruktur fisik, tetapi juga sebagai instrumen nyata bagi peningkatan kesejahteraan guru.

Dalam sebuah percakapan ringan di ruang guru, seorang pendidik pernah berseloroh: “Dana Otsus itu seperti durian di halaman.

Aromanya tercium ke mana-mana, tapi isinya entah kapan bisa kita makan.” Ungkapan itu memang mengundang tawa, namun sekaligus menyingkap kebenaran yang pahit, bahwa manfaat dana besar itu sering terasa jauh dari jangkauan mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan pendidikan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved