Opini
Pemadaman Listrik Aceh: Antara Krisis Energi dan Krisis Tata Kelola
Banyak warga yang melaporkan bagaimana kegiatan sehari-hari mereka lumpuh total. Usaha kecil seperti warung kopi modern yang mengandalkan mesin
Oleh: Niswatul khaira, SSTP, Mahasiswa S2 Akuntansi USK
PEMADAMAN listrik besar-besaran yang melanda seluruh Aceh beberapa waktu lalu meninggalkan jejak panjang, bukan hanya gelap yang menyelimuti rumah-rumah warga, tetapi juga kepanikan, kelumpuhan aktivitas ekonomi, serta kemarahan publik yang kian menguat.
Di era digital seperti saat ini, listrik bukan sekadar kebutuhan tambahan, melainkan tulang punggung kehidupan modern. Begitu aliran energi itu terhenti, denyut aktivitas sosial, pendidikan, hingga ekonomi pun turut terguncang.
Banyak warga yang melaporkan bagaimana kegiatan sehari-hari mereka lumpuh total. Usaha kecil seperti warung kopi modern yang mengandalkan mesin espresso, laundry kiloan, hingga bengkel las langsung berhenti beroperasi.
Anak-anak sekolah yang sedang bersiap mengikuti ujian daring tidak bisa mengakses materi, sementara pekerja kantoran terpaksa kehilangan produktivitas karena sistem komputer dan jaringan internet tidak bisa difungsikan.
Pemadaman ini bukan sekadar soal lampu yang padam, melainkan tentang bagaimana masyarakat Aceh dipaksa hidup dalam ketidakpastian energi.
Krisis yang Berulang
Sebenarnya, persoalan listrik di Aceh bukan cerita baru. Masyarakat sudah terbiasa dengan pemadaman bergilir yang sering dianggap sebagai bagian dari “ritual” tahunan.
Namun, pemadaman kali ini berbeda karena skalanya menyeluruh: hampir seluruh Aceh gelap dalam waktu bersamaan.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin sebuah provinsi yang kaya akan potensi energi, termasuk energi air dari sungai-sungai besar, tetap mengalami krisis listrik yang akut?
Jawabannya tidak sederhana.
Di satu sisi, infrastruktur pembangkit listrik memang mengalami keterbatasan. Kapasitas pembangkit yang ada sering kali tidak mampu mengimbangi lonjakan kebutuhan listrik yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan industri.
Di sisi lain, persoalan tata kelola dan manajemen energi juga menjadi sorotan. PLN sebagai penyedia utama energi listrik di Aceh sering dituding gagal melakukan perencanaan jangka panjang yang matang.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dalam kacamata sosial, pemadaman listrik di Aceh menimbulkan keresahan yang luar biasa. Masyarakat merasa diabaikan oleh pemerintah, seolah kebutuhan dasar mereka tidak dianggap penting.
Anak-anak yang sedang belajar harus kembali menggunakan lilin, sebuah ironi di tengah jargon “digitalisasi pendidikan”. Keluarga yang menyimpan bahan makanan di kulkas terpaksa merelakan kerugian karena makanan basi.
Bahkan, beberapa pasien di rumah sakit dilaporkan hampir mengalami kondisi kritis karena sistem pendingin atau peralatan medis sempat berhenti berfungsi, meski sebagian ditopang dengan genset darurat.
Dari sisi ekonomi, kerugian tidak bisa dihitung dengan angka kecil. UMKM yang mengandalkan listrik untuk produksi kehilangan omzet harian. Industri besar mengalami hambatan produksi yang jika berlangsung lama bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja.
Investor yang berniat menanam modal di Aceh pun akan berpikir ulang ketika melihat betapa rapuhnya sistem kelistrikan daerah ini. Tanpa jaminan energi yang stabil, iklim investasi pasti terhambat.
Krisis Tata Kelola Energi
Jika ditarik lebih jauh, pemadaman listrik di Aceh seharusnya dibaca bukan hanya sebagai masalah teknis, tetapi juga krisis tata kelola. Selama ini, wacana kedaulatan energi di Aceh hanya berhenti di meja rapat tanpa realisasi yang konkret.
Padahal, Aceh memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah untuk menopang kemandirian energi, mulai dari potensi PLTA (pembangkit listrik tenaga air), PLTS (pembangkit listrik tenaga surya), hingga energi biomassa.
Namun, kebijakan energi yang berpihak pada eksplorasi sumber daya lokal masih sangat minim.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketergantungan yang terlalu besar pada jaringan listrik lintas provinsi. Ketika terjadi gangguan pada satu titik jaringan, dampaknya langsung dirasakan oleh seluruh wilayah Aceh.
Kerapuhan sistem seperti ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat maupun daerah. Aceh tidak boleh terus-menerus hanya menjadi “konsumen energi”, tetapi juga harus mampu mengelola potensi energi sendiri secara berkelanjutan.
Belajar dari Daerah Lain
Ada banyak contoh daerah di Indonesia yang berhasil mengatasi krisis listrik melalui diversifikasi sumber energi. Bali misalnya, mulai serius mengembangkan PLTS atap untuk mengurangi ketergantungan pada jaringan utama.
Pemerintah provinsi menggandeng sektor swasta dan komunitas lokal agar rumah tangga maupun hotel-hotel wisata menggunakan panel surya sebagai sumber energi cadangan. Upaya ini tidak hanya membantu menjaga stabilitas listrik, tetapi juga mendukung citra Bali sebagai destinasi wisata hijau yang ramah lingkungan.
Di Jawa Barat, strategi yang diambil lebih terfokus pada pemanfaatan energi air skala kecil. Sungai-sungai di beberapa kabupaten dibangun mini-hydro yang kapasitasnya memang tidak sebesar PLTA, tetapi cukup untuk menopang kebutuhan listrik desa.
Sistem seperti ini terbukti efektif karena tidak terlalu bergantung pada jaringan besar, dan hasilnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Dengan demikian, masyarakat memperoleh kemandirian energi sekaligus peluang ekonomi baru dari pengelolaan infrastruktur tersebut.
Sementara itu, di Nusa Tenggara Timur (NTT), daerah yang selama ini identik dengan keterbatasan infrastruktur, justru muncul inovasi berbasis potensi lokal. NTT mulai merintis kemandirian energi melalui pemanfaatan angin dan matahari.
Turbin angin kecil dipasang di kawasan pesisir, sedangkan panel surya dipasang di sekolah-sekolah dan puskesmas terpencil. Meski sederhana, langkah ini sangat signifikan karena mampu menyediakan akses listrik yang sebelumnya mustahil didapatkan masyarakat. Lebih dari sekadar solusi teknis, inisiatif ini juga menumbuhkan optimisme bahwa daerah dengan segala keterbatasan pun tetap bisa mandiri secara energi jika ada kemauan politik dan partisipasi masyarakat.
Aceh seharusnya bisa belajar dari pengalaman ini. Dengan kondisi geografis yang kaya, provinsi ini punya peluang besar untuk keluar dari ketergantungan listrik konvensional yang rapuh. Namun, itu semua hanya bisa terjadi jika ada kemauan politik yang kuat dan komitmen serius dari pemimpin daerah.
Jalan Keluar: Membangun Kedaulatan Energi Aceh
Listrik bukan sekadar urusan teknis PLN. Listrik adalah urusan politik, sosial, ekonomi, bahkan martabat sebuah daerah. Karena itu, pemadaman listrik di Aceh harus dibaca sebagai momentum kebangkitan untuk membangun kedaulatan energi. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, pemerintah daerah harus berani menekan PLN dan pemerintah pusat agar menaruh perhatian serius pada infrastruktur listrik di Aceh. Tidak bisa lagi Aceh diperlakukan sebagai daerah pinggiran yang hanya menerima sisa kapasitas.
Kedua, perlu ada percepatan investasi energi terbarukan di Aceh. Potensi air, matahari, dan biomassa yang dimiliki Aceh bukan hanya cadangan, melainkan solusi nyata yang harus segera diimplementasikan.
Ketiga, partisipasi masyarakat harus diperkuat. Energi terbarukan skala kecil yang dikelola komunitas bisa menjadi penopang ketika sistem utama mengalami gangguan. Dengan begitu, masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada satu jaringan besar yang rentan lumpuh.
Menjaga Harapan di Tengah Kegelapan
Pemadaman listrik di Aceh bukan peristiwa pertama, dan mungkin bukan yang terakhir jika tidak ada perubahan mendasar. Namun, masyarakat Aceh tidak boleh terus-menerus dibiarkan hidup dalam ketidakpastian energi. Pemerintah harus menjadikan krisis ini sebagai momentum perubahan, bukan sekadar menambal sulam masalah.
Gelapnya malam ketika listrik padam memang menyakitkan, tetapi bisa menjadi cahaya bagi lahirnya kesadaran baru. Kesadaran bahwa Aceh membutuhkan kedaulatan energi, bukan hanya untuk menghindari pemadaman listrik, tetapi juga untuk memastikan masa depan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih berdaulat.
Pada akhirnya, listrik bukan hanya soal menyalakan lampu, melainkan tentang menyalakan harapan.
Aceh berhak mendapatkan energi yang stabil, berkelanjutan, dan adil. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan oleh pemimpin Aceh sendiri, siapa lagi?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.