Berita Eksklusif Pernikahan Terkoyak

Komunitas LGBTQ dan Kampanye Terselubung

saat ini komunitas LGBTQ bisa dengan mudah ditemukan. Beberapa warung kopi di Banda Aceh diketahui sebagai tempat mangkal mereka

Editor: mufti
DOK. PIXABAY
ILUSTRASI 

BERBEDA dengan beberapa tahun lalu, saat ini komunitas LGBTQ bisa dengan mudah ditemukan. Beberapa warung kopi di Banda Aceh diketahui sebagai tempat mangkal mereka, umumnya warung kopi yang buka 24 jam. Bukan untuk ngopi sambul menikmati malam, melainkan untuk mencari mangsa.

“Mereka sudah berani terang-terangan. Tidak hanya berinteraksi di antara sesama, tetapi sudah aktif mencari mangsa,” ungkap Ani, seorang sumber Serambi yang mengaku dekat dengan komunitas LGBTQ di Banda Aceh, kepada tim Liputan Eksklusif. Liputan utamanya sudah diturunkan pada edisi Minggu (12/10/2025) berjudul “Pernikahan yang Terkoyak Homoseksual”.  

Menurut sumber tersebut, target yang paling mereka sukai adalah pria-pria heteroseksual (normal). Untuk menghindari razia, mereka cenderung memilih lokasi yang dianggap lebih aman, seperti di dalam mobil, daripada menggunakan fasilitas hotel. Keterangan tak jauh berbeda juga disampaikan Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah Satpol PP-WH Aceh, Marzuki. Dia menyebutkan, para pelaku LGBTQ ini terindikasi banyak berkumpul di tempat-tempat tertentu seperti di kafe-kafe, barbershop, dan tempat Gym. 

“Mereka tergabung dalam komunitas khusus dan saling terkoneksi satu sama lain, baik melalui grup whatsapp hingga sejumlah aplikasi tertentu,” tuturnya.

Informasi yang diperoleh Serambi, salah satu aplikasi yang sering mereka gunakan adalah Walla, yaitu aplikasi sosial yang dikembangkan oleh Catch Me LLC dan tersedia di Google Play. Aplikasi ini dirancang untuk memfasilitasi interaksi antar pria yang memiliki ketertarikan sesama jenis, baik untuk mencari teman, pasangan, atau sekadar berbincang santai

Serambi mencoba membuka aplikasi tersebut di kawasan kampus Darussalam, Banda Aceh, dengan menggunakan nama dan foto samaran, Jumat (10/10/2025) pukul 20.30 Wib. Terlihat ada 30 nama yang online dengan radius jarak antara 0,5 hingga 2 kilometer. Pesan masuk pun bermunculan. Menyapa dan menanyakan lokasi.

Tidak bisa berbuat banyak

Meski banyak mendapatkan laporan masyarakat dan mengetahui tempat mereka berkumpul, tetapi sayangnya Satpol PP-WH tidak bisa berbuat banyak. Ada aturan yang mengatur batasan-batasan mereka dalam melakukan investigasi. Selain itu, dalam menjerat kasus LGBTQ ini, Satpol PP-WH juga harus disertai dengan bukti lengkap, yakni ada pelakunya. Tidak bisa ditindak hanya berdasar pada laporan semata. “Padahal saat ini cukup banyak laporan dan orang yang tidak tertangkap, tidak terdeteksi, namun mengarah ke LGBTQ. Tapi kita tidak bisa proses karena belum terbukti perbuatannya,” ungkap Marzuki.

Kampanye terselubung

Ani juga menyebut bahwa maraknya komunitas LGBTQ ini di Banda Aceh tidak sepenuhnya bergerak sendiri. Diungkapkannya bahwa ada lembaga yang memberikan pendampingan hukum, serta anggaran yang dikucurkan untuk mendukung aktivitas mereka. 

“Jaringan mereka kuat, karena mereka difasilitasi dan dilindungi,” katanya. Ani juga menambahkan bahwa Aceh menjadi salah satu wilayah yang menjadi target pengembangan komunitas LGBTQ di Indonesia.

Sumber Serambi dari kalangan LSM mengungkap adanya indikasi aliran dana dari lembaga internasional dan lembaga hak asasi manusia (HAM) untuk mendukung komunitas LGBTQ di Aceh. Pendanaan tersebut dikemas dalam bentuk program perlindungan kelompok marginal, dengan narasi hak asasi manusia sebagai pembungkus utama.

Upaya pembenaran terhadap gerakan LGBTQ ini diduga berlangsung secara masif melalui berbagai aktivitas yang dimotori oleh sejumlah lembaga tertentu. Mengingat gerakan tersebut ditolak mentah-mentah oleh masyarakat dan hukum di Indonesia, para pengusungnya memilih jalur kampanye terselubung, menyasar kelompok-kelompok tertentu yang dianggap rentan.

Sumber Serambi menyebut, kampanye terselubung ini telah berlangsung lama di Aceh. Banyak lembaga lokal yang terlibat karena ketergantungan pada pendanaan asing. Jika mereka menolak keras gerakan LGBTQ, maka konsekuensinya adalah terhentinya aliran dana dari donor di luar negeri.

Yang menarik, lembaga-lembaga tersebut cenderung menghindari debat terbuka di ruang publik mengenai isu LGBTQ. Namun secara praktik, mereka tetap membela gerakan tersebut dengan dalih kesetaraan gender dan kebebasan individu. “Mereka tidak mau berdebat secara langsung tentang LGBT. Dugaannya memang mereka sudah diperintah untuk tidak berdebat secara terbuka, tapi di balik itu mereka langsung bermain dan mengampanyekan hal ini,” ujar sumber Serambi, Rabu (8/10/2025).

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved