Fenomena Peredaran Sabu di Aceh
Inspiratif! Pria Aceh Utara Hilangkan 12 Tahun Kecanduan Sabu dengan Dengar Azan & Shalat Berjamaah
"Awal-awalnya memang berat. Tapi berkat doa orangtua, keluarga, dan guru, alhamdulillah semuanya dapat saya lalui," ujarnya.
Penulis: Saiful Bahri | Editor: Saifullah
Laporan Wartawan Serambi Indonesia Saiful Bahri I Lhokseumawe
SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Meskipun sedang duduk bareng sama teman-teman di warung kopi (warkop), saat suara azan berkumandang, maka pria asal Aceh Utara ini akan langsung minta izin untuk shalat berjamaah ke masjid terdekat.
Kemana pun pergi, kini dia selalu menggunakan pakaian Sherwani dan sejenisnya, serta lengkap dengan peci.
Tapi siapa sangka, pria yang berasal dari sebuah kecamatan di pedalaman Aceh Utara ini dan sekarang sudah berumur 46 tahun, dulunya adalah sosok pecandu narkoba, khususnya jenis sabu.
Hebatnya lagi dalam kisah hidupnya, dia mampu menghilangkan rasa candunya terhadap sabu tanpa perlu menjalani rehabilitadi di tempat rehab ataupun ditangani oleh tim profesional lainnya pada bidang tersebut.
Tapi hanya dengan niat kuat dan dikuatkan tekannya setiap dia mendengar azan di masjid yang letaknya kebetulan sangat dekat dengan tempat tinggalnya dan selalu ikut shalat berjamaah.
Diceritakan pria paruh baya ini, kebiasaan buruk untuk memakai narkoba khususnya ganja, sudah dimulai sejak dia masih duduk dibangku SMP.
Baca juga: Empat Pria yang Diringkus Warga Saat Hendak Pesta Sabu di Gubuk Dituntut Delapan Tahun Penjara
Kebiasan ini terus berlanjut hingga dia kuliah di kawasan Banda Aceh.
Khusus untuk ganja, dia berhenti menggunakannya pada tahun 2004.
Alasan dia berhenti karena saat itu setelah mengisap ganja, dirinya langsung berilusi, seperti menimbulkan rasa takut dan lainnya.
"Pokoknya saat isap ganja, saya selalu berhalusinasi. Tidak nyaman lagi, makanya saya berhenti total," kata pria yang tidak mau disebutkan namanya tersebut, Kamis (23/10/2025).
Terkait mengisap sabu, diakuinya mulai mencoba-coba sekitar tahun 1998. Saat itu dia masih kuliah.
Kala itu, sabu masih sangat sulit dicari meski harganya sangat murah.
"Dulu namanya kami sebut bukan sabu, tapi mata ikan. Harganya pun masih murah sekitar Rp 210 ribu per jie,” cerita dia.
Baca juga: Kisah Pilu di Balik Kiprah dr Aisah Dahlan Tangani Pecandu Narkoba: ‘Yang Pertama Kena Adikku…’
“Sedangkan bila ada uang Rp 50 ribu, sudah cukup buat diisap tiga orang," katanya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/WBP-ikut-lomba-azan.jpg)