Opini

BUMD dan Strategi Fiskal Menuju Kemandirian Daerah

Dualitas ini seringkali menimbulkan ketegangan antara efisiensi komersial dan tanggung jawab sosial. Banyak BUMD yang

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas vEkonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh . 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas vEkonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh 

DALAM beberapa tahun terakhir, peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) semakin strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif. Namun, potensi besar ini seringkali terbentur oleh tantangan struktural, mulai dari tata kelola yang lemah hingga ketergantungan fiskal yang tinggi. Kebijakan terbaru pemerintah, khususnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat, menawarkan peluang sekaligus tantangan untuk mengoptimalkan peran BUMD sebagai motor penggerak ekonomi daerah.

BUMD: Antara Fungsi Bisnis dan Pelayanan Publik

BUMD memiliki peran ganda yang unik: di satu sisi, mereka harus beroperasi dengan prinsip bisnis yang sehat untuk menghasilkan keuntungan; di sisi lain, mereka menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah dalam menyediakan layanan publik.

Dualitas ini seringkali menimbulkan ketegangan antara efisiensi komersial dan tanggung jawab sosial. Banyak BUMD yang masih terjebak dalam ketidakprofitablean, bahkan menjadi beban fiskal bagi daerah. Padahal, dengan tata kelola yang baik, BUMD dapat menjadi instrumen strategis untuk mengurangi kesenjangan fiskal dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Baca juga: Menjaga Inflasi: Fondasi Stabilitas Sosial Politik dan Perlindungan Aset Rakyat

PP No. 38/2025 hadir sebagai upaya untuk memperkuat fondasi hukum dan operasional BUMD. Regulasi ini menekankan pentingnya prinsip good corporate governance (GCG), transparansi, dan akuntabilitas. Namun, implementasinya memerlukan pendekatan yang hati-hati agar tidak justru menciptakan risiko fiskal terselubung atau menghambat akses BUMD terhadap pendanaan produktif.

Tantangan Utama dalam Pemberdayaan BUMD

Beberapa isu kritis yang perlu mendapat perhatian serius antara lain:

Pertama Kapasitas Manajerial dan Tata Kelola. Banyak BUMD masih dikelola dengan pendekatan birokratis, bukan bisnis. Pengangkatan direksi dan komisaris seringkali didasarkan pada pertimbangan politik, bukan kompetensi. Hal ini menghambat inovasi dan efisiensi. Sehingga badan usaha milik daerah banyak yang hidup segan, mati takmau. 

Kedua Ketergantungan pada APBD. Tidak sedikit BUMD yang masih bergantung pada penyertaan modal dari APBD, tanpa mampu menghasilkan laba yang signifikan. Akibatnya, mereka menjadi beban fiskal, bukan solusi. Kondisi tersebut menjadikan tujuan utama pendidirian badan usaha untuk meningkatkan pendapatan daerah, justri semakin jauh api dari panggang. 

Ketiga Risiko Utang Terselubung. Pinjaman yang diberikan kepada BUMD berpotensi menjadi contingent liability bagi pemerintah daerah jika tidak dikelola dengan baik. Pengawasan terhadap penggunaan pinjaman dan kemampuan bayar BUMD menjadi kunci. Transparansi dan profesionalisme sangat diperlukan. 

Keempat Ketidakjelasan Batas Komersial dan Sosial. Banyak BUMD kesulitan menyeimbangkan antara menjalankan fungsi bisnis dan memenuhi kewajiban pelayanan publik. Hal ini seringkali mengaburkan akuntabilitas kinerja.

Strategi Pemberdayaan BUMD melalui PP No. 38/2025

PP No. 38/2025 dapat menjadi momentum untuk mentransformasi BUMD menjadi entitas yang lebih mandiri dan profesional. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil:

1.    Penerapan GCG yang Konsisten. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa pengelolaan BUMD dilakukan dengan prinsip GCG yang ketat. Rekrutmen direksi dan komisaris harus berdasarkan kompetensi, bukan politik. Sistem remunerasi juga perlu dikaitkan dengan kinerja.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved