Berita Aceh Utara

Perusahaan Perkebunan Wajib Bangun Kebun Plasma 20 Persen, Konsultan Hukum: Praktiknya di Aceh Jauh

“Namun di lapangan (Aceh), praktiknya sering jauh dari aturan. Banyak perusahaan berdalih belum ada lahan, atau menunggu arahan pemerintah daerah,”

Penulis: Jafaruddin | Editor: Nurul Hayati
For Serambinews.com
Konsultan Hukum dan Mediator PMN pada LBH Qadhi Malikul Adil Dr Bukhari, MH CM 

“Namun di lapangan (Aceh), praktiknya sering jauh dari aturan. Banyak perusahaan berdalih belum ada lahan, atau menunggu arahan pemerintah daerah,” ujar Dr Bukhari kepada Serambinews.com, Kamis (6/11/2025).

Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Jafaruddin I Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM,LHOKSUKON - Kewajiban perusahaan perkebunan untuk membangun kebun plasma masyarakat sebesar 20 persen dari total luas Hak Guna Usaha (HGU), dinilai masih banyak belum ditunaikan.

Hal tersebut disampaikan oleh Konsultan Hukum dan Mediator PMN pada LBH Qadhi Malikul Adil Dr Bukhari, MH CM, yang menyoroti lemahnya implementasi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Padahal, aturan tersebut telah dipertegas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021, yang mewajibkan perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar melalui berbagai pola, seperti skema kredit, bagi hasil, atau pendanaan lainnya.

“Namun di lapangan (Aceh), praktiknya sering jauh dari aturan. Banyak perusahaan berdalih belum ada lahan, atau menunggu arahan pemerintah daerah,” ujar Dr Bukhari kepada Serambinews.com, Kamis (6/11/2025).

Akibatnya, masyarakat sekitar hanya menjadi penonton di tengah lahan perkebunan luas yang berdiri di atas tanah tempat mereka hidup turun-temurun.

Ia menegaskan bahwa pengabaian terhadap kewajiban plasma merupakan bentuk nyata pelanggaran hukum dan ketidakadilan ekonomi.

Dalam Pasal 58 UU Perkebunan sudah sangat jelas disebutkan.

“Perusahaan wajib menyediakan kebun masyarakat minimal 20 persen. Kalau kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka perusahaan telah melanggar norma hukum dan asas kemitraan yang dijamin negara,” tegas Dr Bukhari.

Ia menambahkan, tanggung jawab perusahaan bukan hanya administratif, tetapi juga moral dan syar’i.

Dalam perspektif hukum Islam, kekayaan alam dan hasil bumi tidak boleh dimonopoli.

Ada hak masyarakat yang harus dikembalikan.

Baca juga: Skandal Izin, PT CGU Tak Mampu Tunjukkan Legalitas di Depan Pansus DPRK Aceh Timur

"Mengabaikan kewajiban plasma berarti melakukan zalim dan bentuk ketidakadilan sosial yang nyata,” ujarnya.

Dr Bukhari juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan kewajiban tersebut.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved