Opini

Pasar Keuangan yang Likuid dan Cost of Fund Rendah Untuk Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Likuiditas yang tinggi dan biaya dana yang rendah memiliki efek berantai yang luas. Pertama, kredit perbankan tumbuh pesat, terutama di

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh.

DALAM beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan ketahanan ekonomi yang mengesankan di tengah ketidakpastian global. Pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 5 persen, inflasi yang terjaga rendah, serta penurunan angka pengangguran dan kemiskinan menjadi bukti nyata dari fondasi makroekonomi yang semakin kokoh.

Namun, salah satu faktor kunci yang sering kali kurang mendapat perhatian public meski memiliki dampak besar adalah peran pasar keuangan yang likuid dan cost of fund (biaya dana) yang rendah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Kondisi Likuiditas dan Cost of Fund Saat Ini

Data dari Kementerian Keuangan per September 2025 menunjukkan bahwa penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank-bank BUMN (Himbara) telah membawa dampak signifikan terhadap likuiditas pasar keuangan.

Dalam kurun waktu satu bulan, uang beredar (M0) melonjak 13,2 % , sementara suku bunga deposito 3 bulan turun 32 bps menjadi 5,29 % . Suku bunga kredit juga mengalami penurunan, meski lebih lambat, menjadi 9,04 % .

Fenomena ini bukan sekadar angka statistik. Di baliknya, terdapat mekanisme transmisi kebijakan yang bekerja: dengan meningkatnya likuiditas perbankan, biaya dana menjadi lebih murah, yang pada gilirannya mendorong penurunan suku bunga pinjaman. Hal ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi dunia usaha dan rumah tangga untuk mengakses pembiayaan dengan lebih mudah dan terjangkau.

Dampak terhadap Sektor Riil

Likuiditas yang tinggi dan biaya dana yang rendah memiliki efek berantai yang luas. Pertama, kredit perbankan tumbuh pesat, terutama di segmen modal kerja dan investasi. Hingga September 2025, realisasi penyaluran kredit dari penempatan dana pemerintah telah mencapai Rp112,4 triliun, dengan mayoritas dialokasikan untuk mendukung aktivitas usaha dan investasi produktif.

Kedua, daya beli masyarakat meningkat. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) pada Oktober 2025 naik menjadi 96,5, didorong oleh persepsi positif terhadap kondisi ekonomi dan lapangan kerja. Masyarakat pun lebih leluasa mengalokasikan pendapatan mereka untuk konsumsi, termasuk pembelian barang tahan lama, yang menjadi indikator keyakinan terhadap stabilitas ekonomi ke depan.

Ketiga, sektor manufaktur dan ritel mencatat pertumbuhan yang solid. Aktivitas manufaktur Indonesia tetap ekspansif, sejalan dengan permintaan global dan domestik yang kuat. Penjualan ritel juga konsisten meningkat, menandakan bahwa perputaran uang di sektor riil berjalan dengan baik.

Pentingnya dalam Kerangka Kebijakan Jangka Panjang

Dalam perspektif yang lebih luas, pasar keuangan yang likuid dan biaya dana yang rendah bukan hanya sekadar stimulus jangka pendek. Mereka adalah elemen esensial dalam strategi transformasi ekonomi menuju pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkualitas.

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 6?lam jangka pendek, dan bahkan 8?lam jangka panjang. Untuk mencapainya, diperlukan akselerasi investasi, baik dari dalam maupun luar negeri serta penguatan sektor swasta sebagai mesin pertumbuhan utama.

Di sinilah peran kebijakan fiskal dan moneter yang sinergis menjadi kunci. APBN 2026 yang ekspansif namun terukur, dengan defisit 2,68 % PDB, didesain untuk menjadi katalisator yang membangkitkan peran swasta.

Likuiditas yang memadai dan biaya dana yang rendah akan memperkuat efektivitas postur APBN ini, terutama dalam mendanai agenda-agenda prioritas seperti ketahanan pangan, energi, MBG (Makan Bergizi Gratis), serta pembangunan infrastruktur.

Tantangan dan Langkah Ke Depan

Meski telah menunjukkan hasil positif, upaya menjaga likuiditas dan menekan biaya dana masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, penurunan suku bunga kredit masih lebih lambat dibandingkan penurunan suku bunga deposito. Hal ini mengindikasikan bahwa perbankan masih berhati-hati dalam menyalurkan kredit, atau mungkin masih ada inefisiensi dalam struktur biaya operasional perbankan.

Kedua, disparitas akses keuangan antardaerah masih tinggi. Pemerintah daerah perlu didorong untuk menjadi enabler yang aktif dalam memanfaatkan likuiditas yang tersedia untuk mendukung UMKM dan investasi lokal. Skema pembiayaan kreatif, seperti pinjaman daerah, obligasi daerah, atau KPBU perlu lebih digalakkan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved