Opini

Kegagalan Pasar kompetitif dan Sumber Daya Efisien di Tanah Rencong

Keynes mengajarkan bahwa ekonomi tidak berjalan dalam ruang hampa yang penuh kepastian, tetapi diwarnai oleh “ketidakpastian radikal

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

TEORI ekonomi arus utama kerap menjanjikan efisiensi melalui mekanisme pasar kompetitif. Asumsinya sederhana dan elegan: biarkan penawaran dan permintaan bekerja, maka sumber daya akan teralokasi ke tempat yang paling produktif, menciptakan kesejahteraan optimal. 

Namun, bila kita menengok realitas ekonomi di Aceh, janji manis ini justru tampak seperti ilusi. Melalui kacamata pemikiran John Maynard Keynes dan Thorstein Veblen, kegagalan pasar dalam mengalokasikan sumber daya secara efisien di Serambi Mekkah justru menjadi bukti nyata bahwa ekonomi tidak bisa direduksi menjadi model matematis yang steril.

Kegagalan Pasar dan Ketidakpastian Radikal di Aceh

Keynes mengajarkan bahwa ekonomi tidak berjalan dalam ruang hampa yang penuh kepastian, tetapi diwarnai oleh “ketidakpastian radikal”, ketidakpastian yang tidak bisa dihitung atau diprediksi. 

Dalam konteks Aceh, ketidakpastian ini adalah menu sehari-hari. Ambil contoh sektor perikanan, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi. Nasib nelayan Aceh tidak ditentukan oleh kalkulasi rasional semata, melainkan oleh sentimen yang fluktuatif: harga ikan yang tidak menentu, cuaca ekstrem di Selat Malaka, dan dinamika kebijakan perizinan yang kerap berubah. 

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (2022) menunjukkan bahwa dari total potensi perikanan tangkap sebesar 302.000 ton per tahun, yang baru termanfaatkan rata-rata hanya sekitar 48 persen. Ini adalah indikasi kegagalan koordinasi dan informasi, di mana mekanisme pasar gagal menyatukan penawaran (potensi laut) dengan permintaan (pasar).

Investasi jangka panjang di sektor riil, seperti pembangunan pabrik pengolahan hasil perikanan, juga terhambat. Ini bukan karena tidak adanya peluang, tetapi karena “animal spirits” , optimisme para investor  tertekan oleh ketidakpastian regulasi dan memori kolektif akan konflik masa lalu. 

Akibatnya, alih-alih berinvestasi, modal lebih sering “mengungsi” ke sektor properti dan konsumsi yang dianggap lebih aman, meski kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja jangka panjang terbatas. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada Agustus 2023 sebesar 6.62 persen, masih di atas rata-rata nasional (5.32 persen), menjadi bukti nyata bahwa pasar tenaga kerja tidak kunjung mencapai “keseimbangan penuh” seperti yang diimpi-impikan teori neoklasik.

Konsumsi Mencolok dan Kegagalan Institusi Ala Veblen

Sementara Keynes melihat masalah dari sisi makro, Veblen menyerang dari sisi mikro. Konsep “konsumsi mencolok” (conspicuous consumption) Veblen sangat relevan membaca fenomena sosial-ekonomi di Aceh. Di tengah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan (15.92 % pada September 2023, tertinggi di Sumatera), gaya hidup konsumtif justru tampak mencolok. 

Mobil mewah dan sepeda motor keluaran terbaru mudah ditemui di pusat perbelanjaan Banda Aceh dan Lhokseumawe. Perilaku ini bukan didorong oleh rasionalitas ekonomi murni, tetapi oleh dorongan untuk pamer status sosial.

Uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk investasi produktif atau tabungan, justru menguap untuk mempertontonkan kekayaan. Hal ini memperlebar ketimpangan dan mengerdalkan pembentukan modal untuk pembangunan yang berkelanjutan. 

Pasar, dalam hal ini, “efisien” dalam memenuhi hasrat konsumsi mencolok, tetapi gagal total dalam menciptakan efisiensi yang sesungguhnya bagi masyarakat secara keseluruhan.

Lebih dalam lagi, kegagalan di Aceh adalah kegagalan institusi. Bagi Veblen, institusi kebiasaan berpikir, norma, dan aturan adalah jantung analisis ekonomi. Ekonomi Aceh terjebak dalam “path dependence” atau ketergantungan pada jalur sejarah. 

Selama puluhan tahun, struktur ekonominya sangat bergantung pada sumber daya alam (migas) dan transfer pusat (dana otsus). Institusi-institusi yang terbentuk pun cenderung mengakar pada pola ini: ekonomi rente, birokrasi yang lamban, dan regulasi yang tumpang tindih.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan bahwa kontribusi sektor migas terhadap PDRB masih signifikan, sementara sektor pertanian, perikanan, dan industri pengolahan stagnan. Ini membuktikan bahwa “jalur” ketergantungan pada sumber daya alam sulit diubah. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved