Opini

Perlindungan Anak yang Terlalu Jauh, Kita Sedang Mencetak Generasi Rapuh

Kalau dipukul, mereka belajar menahan diri, bukan menuntut. Kalau dimarahi guru, mereka tahu: itu bukan kebencian, itu bentuk kasih dengan

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Mustafa Husen Woyla, Pengamat Bumoe Singet dari Woyla. 

Oleh: Mustafa Husen Woyla*)

DULU, anak-anak sekolah kalau diejek, paling menangis sebentar di belakang kelas, tapi besoknya sudah berlari lagi bersama teman yang sama. 

Kalau dipukul, mereka belajar menahan diri, bukan menuntut. Kalau dimarahi guru, mereka tahu: itu bukan kebencian, itu bentuk kasih dengan cara keras.

Sekarang, baru dijewer sedikit, sudah ramai di media sosial. 

Baru dibilang gendut oleh teman, langsung dianggap perundungan berat. 

Guru ditekan, sekolah disalahkan, dan anak dibungkus dalam lapisan perlindungan yang berlebihan.

Kita menciptakan generasi yang mudah tersinggung, cepat lapor, tapi lambat bangkit.

Baca juga: Ustad Masrul Aidi Bantah Bullying Jadi Motif Pembakaran Pesantren: Kesimpulan Polresta Prematur

Pendidikan hari ini lebih sibuk menjaga perasaan anak daripada membangun daya tahannya. 

Semua harus “ramah anak”, “minim tekanan”, “bebas stres”. 

Padahal, kehidupan di luar sekolah tidak punya kebijakan semacam itu. 

Dunia nyata tidak pernah menandatangani perjanjian perlindungan anak.

 Hidup Tidak Akan Menandatangani Perjanjian Perlindungan Anak

Mari jujur. Dunia ini tidak pernah memberi jaminan bahwa orang lain akan memperlakukan kita dengan lembut.

Tidak ada lembaga yang bisa melindungi hati dari kecewa, tidak ada pasal hukum yang bisa menuntut nasib karena terlalu keras hidup di luar sana.

Anak-anak harus belajar sejak dini bahwa hidup tidak selalu halus. 

Kadang, dunia justru menguji dengan ejekan, ghibah, fitnah, atau kegagalan.

Kalau setiap goresan kecil dianggap luka besar, bagaimana nanti mereka menghadapi badai kehidupan?

Negara-negara yang maju paham hal itu.

Di Jepang, anak SD membersihkan toilet sendiri, bukan karena tidak ada petugas, tapi karena mereka belajar menghargai kerja keras.

Di Korea Selatan, pelajar tidur empat jam demi ujian, bukan karena disiksa, tapi karena tahu hasil besar tidak lahir dari kenyamanan.

Di Finlandia, meskipun lembut dalam metode belajar, disiplin tetap mutlak: tidak ada bolos, tidak ada mencontek.

Sementara di sini, baru ditegur guru sedikit, langsung dianggap trauma. Baru disindir, sudah dipanggil psikolog.

Kita tumbuh dalam dunia yang terlalu takut membuat anak terluka, hingga lupa mengajarkan mereka bagaimana sembuh sendiri.

Tokoh Besar Tidak Lahir dari Kehidupan yang Lembut

Lihatlah sejarah kita.

Apakah ada tokoh besar yang dibesarkan dalam kemanjaan?

Soekarno kecil tumbuh di tengah tekanan penjajahan, diasingkan ke Ende dan Bengkulu, tapi dari situ lahir keberanian mengguncang dunia.

Mohammad Hatta hidup di negeri asing, melawan sepi dan kesunyian, dan dari kesendirian itu tumbuh kekuatan berpikir yang tajam.

Cut Nyak Dhien berjuang di tengah perang, kehilangan suami, rumah, dan anak tapi tidak pernah kehilangan semangat.

Coba tanya sama para guru besar, yang sudah tokoh pendidikan. 

Bagaimana pahit getir suasana mereka menuntut ilmu mulai sekolah dasar hingga jadi prosessor.

Mereka tidak tumbuh dalam dunia yang memanjakan.

Mereka ditempa oleh kerasnya kenyataan, dan dari situ lahir jiwa besar.

Sementara anak-anak hari ini dibesarkan dalam kelembutan berlebih. 

Mereka belajar bahwa setiap luka harus segera dilaporkan, bukan dihadapi.

Bulian Bukan Selalu Racun

Saya tidak sedang membela kekerasan. Tapi saya percaya, tidak semua benturan adalah kekerasan.

Kadang, benturan itu latihan.

Seperti api yang menguatkan baja tapi melelehkan lilin.

Ejekan, sindiran, bahkan sedikit pukulan semua itu bagian dari pelatihan alami kehidupan.

Kalau anak tidak pernah belajar menanggung malu kecil, bagaimana nanti menghadapi kegagalan besar?

Kalau setiap luka kecil langsung disembuhkan orang lain, kapan ia belajar menyembuhkan dirinya sendiri?

Perlindungan anak tetap penting. Tapi kalau berlebihan, ia berubah menjadi penjara lembut, mengekang daya juang, mematikan rasa tangguh.

Kita tidak sedang membentuk generasi kaca yang retak setiap disentuh, tapi generasi baja yang kuat sekaligus berperasaan.

Solusi: Menyeimbangkan Kasih dan Ketegasan

Solusinya bukan menghapus aturan perlindungan anak, tapi menyeimbangkannya.

Anak tetap harus dilindungi dari kekerasan ekstrem, tapi juga perlu dibiasakan menghadapi gesekan kehidupan.

Pesantren, sekolah, dan orang tua perlu bekerja sama bukan dalam memanjakan.

Guru tidak boleh takut menegur, asal dengan cinta.

Orang tua tidak boleh selalu membela, tapi mengajari anak untuk introspeksi.

Dan anak harus belajar bahwa hidup tidak akan selalu ramah, tapi selalu bisa dihadapi.

Mari kembalikan fungsi pendidikan sebagai tempat penempaan karakter, bukan sekadar tempat menenangkan perasaan.

Karena dunia tidak butuh anak-anak yang lembut di lidah tapi lemah di dada, dunia butuh anak-anak yang lembut hatinya, namun tegas pendiriannya.

Mendidik Anak Menjadi Baja, Bukan Kaca

Anak boleh menangis, tapi jangan berhenti berjuang.

Boleh terluka, tapi jangan kehilangan arah.

Karena ketika mereka dewasa, tidak ada lagi guru yang menegur dengan sayang, tidak ada lagi orang tua yang selalu menenangkan.

Yang ada hanya dunia yang keras, yang realitasnya tidak bisa diajak kompromi.

Dan pada akhirnya, pendidikan sejati bukanlah tentang menjauhkan anak dari rasa sakit, tapi mengajarkan mereka bagaimana bangkit setelah jatuh.

Dengan kepala tegak, hati lapang, dan beradab.

Karena anak-anak yang paling siap menghadapi dunia bukan mereka yang paling sering dilindungi, tapi mereka yang pernah jatuh, berdiri lagi, dan tetap berjalan dengan senyum di wajahnya.

Saya percaya pada pendidikan yang menumbuhkan mental baja dalam hati lembut.

Anak boleh menangis, tapi harus belajar berdiri lagi tanpa menunggu "peluk - cium manja " dari lembaga perlindungan anak.

Karena tidak ada Komisi Perlindungan Anak di medan perjuangan hidup.

*) PENULIS adalah Pengamat Bumoe Singet

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved