Berita Aceh Utara

Garam Rebus Aceh Ternyata Warisan Abad Ke-13, Kini Menyambung Misi Swasembada Garam 2027

Garam rebus Aceh telah diproduksi sejak abad ke-13 masa Samudra Pasai dan masih dilestarikan hingga kini.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Saifullah
Serambinews.com/HO
PROSES PRODUKSI GARAM - Foto kolase lahan garam terendam air di kawasan Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara dan dapur yang digunakan petani memasak atau proses produksi garam. 

Riset BRIN menunjukkan, bahwa garam rebus Aceh memiliki kandungan mikroba jauh lebih sedikit dibanding garam kerosok hasil penjemuran. 

Faktor ini membuat garam rebus lebih aman digunakan sebagai untuk bahan pengawet alami. 

Kemudian, untuk bahan fermentasi makanan dan bumbu masakan untuk kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.

Dengan cara perebusan juga meminimalkan potensi kontaminasi bakteri yang kerap ditemukan pada lahan penjemuran terbuka. 

“Warga lebih menyukai garam tradisional, karena rasanya yang berbeda dengan yang dibeli di pasar,” ujar Suwaimi. 

Karam rebus memiliki stabilitas lebih baik dan kualitas yang konsisten secara sanitasi.

Pengetahuan pembuatan garam rebus Aceh diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk local genius yang lahir dari keterbatasan alam. 

Baca juga: Petani Garam Kuala Gigieng Aceh Besar Melirik Produksi Sabun Cuci Piring

Wilayah pesisir Aceh yang minim lahan datar dan memiliki intensitas matahari tidak setinggi Jawa, memaksa masyarakat mengembangkan metode perebusan sejak ratusan tahun lalu--suatu inovasi yang jarang ditemukan di wilayah lain di Indonesia. 

Kini, garam rebus Aceh bukan hanya cerita sejarah, tetapi peluang untuk membangun kemandirian pangan dan ekonomi pesisir. 

Dengan dukungan teknologi, regulasi, dan edukasi pasar, garam Aceh berpotensi menjadi salah satu pilar dalam gerakan nasional menuju swasembada garam dan penguatan pangan biru Indonesia.

“Kalau mau dikembangkan pasti maju, tapi jangan menggunakan Dana Desa karena akan membutuhkan waktu yang lama,” ujar Nasruddin, mantan Keuchik Lancok. 

Temuan BRIN, pusat-pusat produksi garam masa lalu berada di sekitar situs Samudra Pasai, kerajaan Islam maritim pertama di Nusantara. 

Temuan konsentrasi tembikar, pegangan centong, dan serpihan peralatan pemrosesan garam--ditemukan dalam jumlah besar di tambak Beuringin, Kecamatan Samudera, Kabupapten Aceh Utara

Kandungan natrium dan klorida yang tinggi pada permukaan tembikar menunjukkan aktivitas intensif perebusan air laut pada masa silam, memperkuat dugaan bahwa Samudra Pasai bukan hanya pusat perdagangan internasional, tetapi juga produsen garam penting di jalur Selat Malaka.

Selain jejak arkeologi, manuskrip Undang-Undang Melayu abad ke-16 turut memperkuat catatan sejarah. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved