Berita Aceh Utara

Garam Rebus Aceh Ternyata Warisan Abad Ke-13, Kini Menyambung Misi Swasembada Garam 2027

Garam rebus Aceh telah diproduksi sejak abad ke-13 masa Samudra Pasai dan masih dilestarikan hingga kini.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Saifullah
Serambinews.com/HO
PROSES PRODUKSI GARAM - Foto kolase lahan garam terendam air di kawasan Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara dan dapur yang digunakan petani memasak atau proses produksi garam. 

Informasi yang diperoleh Serambinews.com, saat ini petani garam dapat ditemukan di dua lokasi.

Yaitu Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu dan Desa Matang Tunong, kemudian Desa Kuala Cangkoi, kedua desa itu berada dalam Kecamatan Lapang. 

Baca juga: Tim Dosen USK Bina Petani Garam, dari Pencacahan  hingga Pembuatan Sabun Cuci Piring Berbasis Garam

Petani garam di tiga desa tersebut sampai kini masih mempraktikan teknik yang diwariskan dari Kerajaan Samudera Pase.

Yakni merebus air empat sampai lima jam dengan menggunakan media kuali dan sebagian warga menggunakan kayu bakar untuk menghasilkan kristal garam. 

Ternyata pola ini berdasarkan dari penelitian BRIN, kandungan mikrobanya lebih sedikit dibanding garam kerosok yang dihasilkan melalui penjemuran. 

“Biasanya dalam satu hari saya bisa menghasilkan 70-80 are (liter/satuan yang biasa digunakan masyarakat Aceh),” ujar Suwaini, seorang ibu rumah tangga asal Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara kepada Serambinews.com, Kamis (14/11/2025). 

Suwaini menyebutkan, air dari lahan yang disaring diambil patinya itu kemudian direbus untuk menghasilkan kristal. 

Informasi yang diperoleh dari analisis laboratorium BRIN menunjukkan, garam rebus memiliki kemurnian tinggi serta stabilitas lebih baik untuk penggunaan jangka panjang.

Termasuk sebagai bahan utama pembuatan asam sunti, bumbu khas Aceh yang tidak bisa dibuat dengan garam biasa karena rentan menyebabkan pembusukan. 

Baca juga: Dosen FEB Unimal Edukasi Warga Lancang Garam Tentang Pengelolaan Sampah

Meski dikelola secara tradisional, garam rebus Aceh memiliki potensi besar untuk dikembangkan. 

Sebab, metode perebusan, kemudian cita rasa, mikrobiologis yang lebih bersih, dan keterikatannya pada budaya lokal membuat garam rebus Aceh berpeluang mendapat sertifikasi IG, seperti halnya garam Madura.

“Bahan pangan unggulan untuk industri kuliner, kapasitasnya menjaga keawetan makanan, terutama pada produk fermentasi seperti asam sunti dan olahan ikan, menjadikannya garam premium di pasar lokal,” tulis tim peneliti BRIN

Selain itu, komoditas pendukung ketahanan pangan nasional (swasembada garam) dengan teknologi tepat guna, garam rebus dapat meningkatkan kontribusi Aceh terhadap kebutuhan garam konsumsi nasional.

Namun, saat ini petani garam Aceh masih menghadapi banyak tantangan, jumlah petani terus berkurang. 

“Kalau dulu ramai sekali orang yang menjadi petani garam, sekarang ibu-ibu yang masih bertahan,” ujar Nazaruddin, warga Desa Lancok kepada Serambinews.com. 

Baca juga: Rumah Garam Aceh Salurkan CSR ke Koperasi Desa Merah Putih, Dukung Kebijakan Stop Impor Garam

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved