Berita Aceh Utara

Garam Rebus Aceh Ternyata Warisan Abad Ke-13, Kini Menyambung Misi Swasembada Garam 2027

Garam rebus Aceh telah diproduksi sejak abad ke-13 masa Samudra Pasai dan masih dilestarikan hingga kini.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Saifullah
Serambinews.com/HO
PROSES PRODUKSI GARAM - Foto kolase lahan garam terendam air di kawasan Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara dan dapur yang digunakan petani memasak atau proses produksi garam. 

Dokumen tersebut menjelaskan bahwa kapal-kapal yang datang ke Bandar Aceh sering memuat garam dalam wadah kuali tanah liat, menegaskan nilai komoditas ini dalam perdagangan regional masa itu.

Saat ini, petani garam di Lancok menghadapi tantangan curah hujan tinggi, sehingga menghambat proses penyaringan dan penguapan awal yang masih mengandalkan panas matahari sebelum perebusan.

Suwaini mengaku, sudah sepekan ini tidak bisa menggarap tanah lahan sebagai proses awal untuk mendapatkan garam, karena terjadinya hujan secara terus menerus. 

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, bahwa kawasan Lhokseumawe dan sekitarnya, dilanda hujan dari kategori ringan sampai sedang. 

“Sudah beberapa hari terakhir ini, saya tidak ke tambak, karena sudah tergenang, hujan di sini terus menerus,” ujar ibu tiga anak tersebut. 

Suwaini mengungkapkan, masih memiliki stok garam dalam jumlah yang banyak untuk dijual ke pedagang keliling guna menghidupi dia dan tiga anaknya, dua di antaranya sudah bersekolah, yakni SMP dan SD. 

“Dari hasil garam ini, saya bisa mengirim uang untuk anaknya di Medan yang sedang sekolah. Juga untuk anak yang masih SD di Bayu,” ungkap Suwaini. 

Suwaini adalah satu dari 20 petani garam di Desa Lancok yang masih memilih menjadi petani garam tradisional dengan merebu terlebih dahulu. 

Ia sudah mulai menjadi petani garam tradisional sejak kecil.

“Sejak SD, saya sudah belajar cara mendapatkan garam dari tambak, karena pekerjaan ini sudah turun temurun dilakukan di keluarga kami,” ujar ibu tiga anak tersebut. 

Suwaini termasuk salah satu perempuan yang masih muda di Lancok yang mencari nafkah dari garam rebusan. 

Sedangkan sebagian lainnya sudah berusia setengah abad lebih. 

Karena ia setiap harinya bisa menghasilkan 70 sampai 80 liter, jika kondisi matahari terik. 

Suwaini bersama petani garam lainnya menjadi penjaga kearifan lokal dalam menghasilkan garam yang sudah dilakukan masyarakat Aceh abad ke-13. 

“Kami sudah terbiasa bekerja ini, yang penting halal dan bisa menghidupi keluarga kami,” ujar Suwaini. 

Sementara itu, Zulfahmi, pemuda Desa Lancok kepada Serambinews.com menyebutkan, masyarakat di kawasan Lancok lebih menyukai garam produk lokal.

Selain dapat membantu ekonomi masyarakat lokal, juga karena garam produk lokal lebih bagus secara kualitas. 

“Kalau garam lain, kalau misalnya terlalu banyak digunakan dalam makanan itu bisa pahit, tapi garam Lancok tidak,” ungkap Zulfahmi. 

Namun, Zulfahmi mengaku, mayoritas sekarang yang menjadi petani garam adalah ibu-ibu yang sudah paruh baya dan juga sudah lanjut usia. 

Mereka sudah terbiasa melakukannya dan itu menjadi sumber utama pencarian mereka demi membantu biaya kebutuhan untuk keluarganya. 

Sedangkan dari kalangan anak muda sudah mulai enggan menjadi garam. 

Padahal menjadi petambak garam juga bisa mendapatkan keuntungan cepat karena proses yang dilakukan bisa hanya sehari atau dua hari sudah bisa menghasilkan. 

“Memang butuh pembinaan sehingga garam ini tidak hanya bisa dikonsumsi rumah tangga dan juga untuk pengeringan ikan, tapi juga masuk untuk kebutuhan sekala besar,” katanya. 

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Utara, Syarifuddin, MSi kepada Serambinews.com menyebutkan, saat ini selain di Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, juga masih ada juga di di Kecamatan Lapang yang masih mengusahakan garam secara tradisional dengan cara rebusan. 

Hasil dari dua lokasi tersebut mampu memenuhi kebutuhan warga di kawasan Aceh Utara.

“Selama ini, masyarakat kita banyak mengonsumsi garam lokal, mungkin karena rasanya lebih cocok,” terang Syarifuddin. 

“Stoknya juga hampir mencukupi untuk Aceh Utara, kalau pun kurang sedikit,” katanya. 

Menurut Syarifuddin, pembinaan untuk petani garam menjadi wilayahnya Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh karena tidak mencukupi dana dari APBK.  

Disebutkan dia, setiap tahun dirinya selalu mengusulkan pembinaan petani garam ke Pemerintah Aceh dan ke pemerintah pusat supaya mereka dapat meningkatkan kualitas produknya dan juga kualitas garamnya.

Sehingga tidak hanya bisa untuk kebutuhan keluarga dan usaha penjemuran ikan, tapi juga untuk kebutuhan skala besar. 

“Karena memang kualitas garam kita bagus, dan perlu dilestarikan usaha tersebut sehingga selain menjadi sumber pencarian petani juga menjadi keunikan tersendiri dalam produksi agram yang sudah turun temurun,” katanya. 

Dosen Program Studi Akuakultur Universitas Malikussaleh (Unimal), Dr Prama Hartami, MSi kepada Serambinews.com menyebutkan, untuk menyelamatkan produksi garam rebus Aceh, kebijakan utama yang dibutuhkan adalah perlindungan tradisi melalui penetapan sebagai warisan budaya tak benda.

Melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, setiap tahun menetapkan daftar WBTb Indonesia. Prosesnya melibatkan verifikasi, sidang penetapan, dan penerbitan sertifikat.

“Hal ini akan memastikan keberlanjutan praktik turun-temurun sekaligus membuka peluang promosi sebagai identitas khas daerah,” ujar Dr Prama. 

Selain itu, dukungan energi ramah lingkungan (briket, gas, tempurung kelapa, dan Listrik solar cell) dan subsidi bahan baku (Air tawar dari PDAM untuk mencuci atau memurnikan hasil garam agar lebih bersih) akan membantu menekan biaya produksi yang selama ini menjadi kendala utama. 

“Imbauan maupun kebijakan penggunaan garam lokal dari Pemda juga diperlukan untuk menjamin penyerapan hasil produksi,” katanya. 

Ditambahkan dia, pemerintah daerah berperan penting sebagai fasilitator dengan menyediakan regulasi, infrastruktur produksi, serta pendanaan riset. 

Peraturan daerah yang mendukung pengembangan garam rebus dapat menjadi payung hukum.

Sementara pembangunan tungku modern dan gudang penyimpanan akan meningkatkan efisiensi serta kualitas produk.

“Perguruan tinggi seperti Universitas Malikussaleh (Unimal), dapat mendorong riset teknologi perebusan yang lebih hemat energi dan mengembangkan hilirisasi produk turunan,” ujarnya. 

Garam rebus bisa diolah menjadi garam SPA, garam herbal, atau garam gourmet, sehingga nilai ekonominya meningkat. 

Perguruan tinggi juga dapat melibatkan mahasiswa dalam pendampingan langsung kepada petani garam.

Sinergi antara kebijakan pemerintah daerah dan riset perguruan tinggi akan menjadikan garam rebus Aceh bukan hanya tradisi yang lestari, tetapi juga komoditas unggulan dengan daya saing tinggi. 

“Dengan branding yang kuat dan dukungan kelembagaan, garam rebus berpotensi menembus pasarlokal, nasional maupun internasional,” pungkas Dosen Prodi Akuakultur Unimal.(*)

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved