Opini
Penguatan Tata Kelola Basmalah untuk Aceh yang Bermartabat
Di tengah gemuruh pembangunan ekonomi global yang kerap mengedepankan paradigma materialistik, Aceh memiliki peluang unik untuk
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultasb Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
DI tengah gemuruh pembangunan ekonomi global yang kerap mengedepankan paradigma materialistik, Aceh memiliki peluang unik untuk membangun peradaban ekonominya sendiri yang berlandaskan nilai-nilai keislaman. Identitas khusus sebagai Serambi Mekah bukan sekadar atribut historis, melainkan modal sosial dan spiritual yang dapat menjadi kekuatan pembangunan yang inklusif dan bermartabat.
Dalam konteks inilah, penguatan tata kelola Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) serta perbankan syariah yang dapat kita sebut sebagai “Ekonomi Basmalah” menjadi sebuah keniscayaan strategis. Potensi ekonomi dari instrumen ini sangat besar, namun masih tersandera oleh tantangan tata kelola yang lemah, fragmentasi kelembagaan, dan rendahnya inovasi. Tulisan ini akan menguraikan urgensi dan strategi transformasi tata kelola ZISWAF sebagai pilar menuju Aceh yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat.
Potensi Besar yang Belum Tergarap Optimal
Data berbicara cukup jelas tentang besarnya potensi filantropi Islam di Indonesia, dan Aceh sebagai daerah dengan komitmen syariat Islam yang kuat memiliki posisi strategis. Menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Indonesia mencapai sekitar Rp 327 triliun per tahun. Namun, realisasi penyalurannya pada 2023 baru mencapai Rp 17,8 triliun.
Artinya, baru sekitar 5,4 persen potensi yang tergarap. Di Aceh, dengan populasi muslim yang hampir 100?n tingkat religiusitas yang tinggi, potensi zakat diperkirakan dapat mencapai puluhan triliun rupiah. Sayangnya, realisasi yang dicapai BAZMAL Aceh pada tahun yang sama masih jauh dari angka tersebut, berkisar pada ratusan miliar rupiah.
Baca juga: Membangun Aceh Utara: Menyatukan Ekonomi, Spiritualitas, & Kelestarian demi Masa Depan Berkelanjutan
Di sisi wakaf, potensinya bahkan lebih dahsyat. Data Kementerian Agama RI menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 5,3 juta bidang tanah wakaf dengan luas mencapai 78.814 hektar. Namun, sebagian besar (sekitar 74 % ) masih bersifat konsumtif, digunakan untuk masjid, mushalla, dan kuburan. Padahal, dengan pengelolaan yang produktif dan profesional, aset wakaf ini dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.
Di Aceh, bayangkan jika tanah-tanah wakaf yang tersebar di berbagai gampong dapat dikelola secara terintegrasi untuk membangun pusat pertanian modern, kawasan wisata halal, atau pusat pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Nilai ekonominya tidak hanya akan memberdayakan mustahik (penerima zakat) dan masyarakat sekitar, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tantangan Tata Kelola: Dari Trust Deficit hingga Inovasi yang Terbatas
Meski potensinya menjanjikan, penguatan ZISWAF di Aceh masih menghadapi sejumlah tantangan mendasar: Pertama Defisit Kepercayaan (Trust Deficit): Masyarakat masih mempertanyakan akuntabilitas dan transparansi lembaga pengelola ZISWAF. Persepsi tentang ketidakjelasan laporan keuangan, penyaluran yang tidak tepat sasaran, dan biaya operasional yang tinggi menjadi penghambat utama partisipasi masyarakat. Dalam ekonomi syariah, kepercayaan (amanah) adalah mata uang utama. Jika ini terganggu, seluruh ekosistem akan lumpuh.
Kedua Fragmentasi dan Disintegrasi Kelembagaan: Keberadaan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) resmi pemerintah, LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola ormas/masyarakat, serta Badan Nazhir Wakaf yang jumlahnya ribuan, seringkali berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang solid. Hal ini menimbulkan inefisiensi, tumpang tindih program, dan membuat masyarakat bingung menentukan pilihan.
Ketiga Dominasi Pendekatan Konsumtif: Pola penyaluran ZISWAF yang masih bersifat karitatif (bedakin Ramadan, bantuan sembako) memang dibutuhkan, namun tidak cukup untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendekatan ini perlu ditransformasikan menjadi model yang produktif dan berkelanjutan, yang memberdayakan ekonomi mustahik menjadi muzakki.
Keempat Literasi dan Inovasi Keuangan Syariah yang Rendah: Meskipun Aceh menerapkan syariat Islam, pemahaman masyarakat tentang produk-produk keuangan syariah, termasuk instrumen ZISWAF yang kompleks seperti Wakaf Tunai (Cash Waqf) atau Sukuk, masih terbatas. Perbankan syariah di Aceh juga masih berkutat pada produk pembiayaan konvensional seperti murabahah, dan belum agresif mengembangkan produk yang terintegrasi dengan ZISWAF untuk pembiayaan UMKM dan sektor produktif lainnya.
Strategi Transformasi: Menuju Tata Kelola ZISWAF yang Integrated, Transparan, dan Berdampak
Untuk menjawab tantangan tersebut dan mewujudkan “Ekonomi Basmalah” yang tangguh, diperlukan langkah-langkah transformatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
Pertama Integrasi dan Digitalisasi Kelembagaan: Pemerintah Aceh perlu mengambil inisiatif untuk mengintegrasikan seluruh lembaga ZISWAF di bawah satu platform koordinasi yang kuat. Platform ini, sebut saja “Pusat Komando ZISWAF Aceh”, harus didukung oleh sistem teknologi informasi yang terdigitalisasi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/uniki-080624-b.jpg)