Opini
MoU Helsinki dan Revisi UUPA: Aceh Kembali Menguji Integritas Demokrasi Indonesia, Lulus atau Lolos?
Maka mengapa menyebut “Helsinki” seolah berlebihan, padahal ia adalah dasar hukum, dasar politik, dan dasar moral dari seluruh konstruksi
Oleh: Ahmad Abdullah Rahil, Aktivis Sosial, Pemerhati Isu Aceh, Founder Rumah Generasi Mulia
DUA dekade setelah perdamaian Aceh ditandatangani, Indonesia kembali berada di titik krusial. Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang kini digodok Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bukan hanya urusan pasal dan ayat—melainkan ujian besar tentang bagaimana negara menghargai perjanjian, menghormati komitmen hukum, dan menjaga integritas demokrasi yang dibangunnya sendiri.
Pernyataan kontroversial salah satu anggota Baleg, Benny K. Harman, yang menyebut sikap pihak Aceh sebagai “sedikit-sedikit Helsinki”, sebenarnya membuka satu ironi besar:
Bukankah MoU Helsinki adalah asbabun nuzul lahirnya UUPA? Bukankah perjanjian damai itu adalah fondasi yang memungkinkan Aceh dan Jakarta kembali duduk bersama dalam bingkai Republik?
Maka mengapa menyebut “Helsinki” seolah berlebihan, padahal ia adalah dasar hukum, dasar politik, dan dasar moral dari seluruh konstruksi kekhususan Aceh?
Justru menjadi aneh bila membahas UUPA tanpa merujuk pada MoU Helsinki.
Baleg, Tiga Orang Aceh, dan Ujian Demokrasi Kolektif-Kolegial
Saat ini revisi UUPA sedang dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang beranggotakan 90 orang. Dari jumlah itu, hanya tiga anggota DPR RI asal Aceh yang berada di Baleg, yakni: Nasir Djamil, TA Khalid dan Muslim Ayub.
Pertanyaan besar pun muncul:
Bagaimana mungkin tiga suara Aceh mengimbangi 87 suara lainnya yang sebagian besar tidak lahir, tumbuh, atau memahami konteks sejarah Aceh?
Di atas kertas, keputusan Baleg diambil secara kolektif-kolegial.
Tetapi dalam praktik, ketika terjadi perbedaan tajam, mekanisme voting lah yang menjadi penentu akhir. Artinya, Aceh kembali berada pada posisi minoritas dalam isu yang justru paling menentukan masa depannya sendiri.
Ini memunculkan pertanyaan krusial:
Mampukah demokrasi Indonesia mengakomodir substansi kebenaran, atau hanya kebenaran yang paling banyak suaranya?
Sekali lagi, ini bukan soal apakah anggota Baleg dari luar Aceh anti-Aceh—bukan. Ini soal sense of Aceh.
Tanpa pemahaman sejarah konflik, dinamika sosial budaya, dan konteks perdamaian, bagaimana mungkin mereka merumuskan revisi yang adil dan tepat?
Di sinilah letak kerentanan itu.
Aceh bisa saja berharap, tetapi tetap patut skeptis.
Dilema Waktu: Revisi UUPA vs Tenggat Otsus 2026
Aceh dikejar waktu. Dana Otonomi Khusus Aceh—produk langsung dari UUPA—akan berakhir pada 2026.
Jika revisi UUPA tidak tuntas sebelum pertengahan tahun itu, Aceh berpotensi kehilangan salah satu instrumen ekonomi terbesar selama dua dekade terakhir.
Ini dilema yang menyakitkan:
Jika pembahasan dipercepat, ada risiko subtansi penting MoU Helsinki terlewat, atau malah direduksi.
Jika pembahasan diulur, Aceh terancam kehilangan dana Otsus yang menopang perekonomian masyarakat.
Di sinilah letak “ujian integritas” itu. Bukan bagi Aceh, tetapi bagi Indonesia. Otsus: Diperdebatkan, Namun Tak Terbantahkan
Di internal Aceh sendiri, dana Otsus menjadi perdebatan panjang.
Sebagian menilai ia tidak dirasakan masyarakat dan menjadi ladang penyelewengan elit. Sebagian lain menunjukkan data Bappeda Aceh—bahwa meskipun Aceh masih tertinggal, penurunan kemiskinan di Aceh cukup signifikan bila dibandingkan titik awalnya, dan banyak program publik tidak mungkin berjalan tanpa Otsus.
Kedua pandangan sama-sama benar.
Tetapi memperdebatkannya hari ini hanya akan memecah energi Aceh, sementara waktu terus berjalan.
Terlebih lagi, seorang pakar hukum Aceh pernah menyatakan:
Dana Otsus adalah konsekuensi logis dari status kekhususan. Jika dana Otsus dicabut tetapi kekhususan tetap diakui, itu cacat logika konstitusional. Maka memperjuangkan Otsus bukan sekadar soal uang, tetapi soal konsistensi negara pada janji politiknya.
Aceh Harus Solid: Revisi UUPA, MoU Helsinki, dan Keutuhan Perdamaian
Dengan seluruh dinamika ini, saya sampai pada satu kesimpulan yang tegas:
Terlepas dari pro-kontra Otsus di internal Aceh, saat ini kita harus solid memperjuangkan revisi UUPA yang benar-benar sesuai MoU Helsinki dan memihak kepentingan rakyat Aceh. Sebab:
UUPA adalah parameter apakah negara menghargai komitmen damai.
Otsus adalah implikasi logis dari kekhususan Aceh.
Revisi UUPA adalah kesempatan untuk menyempurnakan perjanjian damai, bukan menguranginya.
Waktu yang tersisa sebelum 2026 sangat singkat.
Dan Aceh tidak boleh dipaksa memilih antara “pasrah dengan revisi buruk” atau “kehilangan Otsus”.
Penutup: Aceh Menguji Indonesia
Hari ini Aceh bukan sedang diuji oleh demokrasi Indonesia.
Justru Indonesia-lah yang sedang diuji oleh Aceh—tentang integritas, konsistensi, dan kesetiaannya pada komitmen perdamaian yang dibuat dua dekade lalu.
Revisi UUPA akan menunjukkan jati diri demokrasi Indonesia yang sesungguhnya: apakah ia sanggup menjaga prinsip, atau justru sibuk menjaga citra; apakah ia menghormati perjanjian, atau hanya menghitung suara terbanyak; apakah ia mampu merawat damai, atau hanya merawat prosedur.
Jika revisi UUPA berjalan sesuai MoU Helsinki, aspirasi rakyat Aceh, dan prinsip keadilan, maka Indonesia lulus ujian ini—lulus karena menyelesaikan ujian dengan benar, jujur, dan bertanggung jawab.
Tetapi jika revisi dilakukan tergesa-gesa, setengah hati, sekadar memenuhi tenggat waktu atau menyiasati tekanan politik, maka Indonesia hanya lolos—lolos bukan karena benar, tetapi karena mengakali ujian. Lolos bukan karena memahami Aceh, tetapi karena “lagi-lagi berhasil mengakali” Aceh.
Aceh membutuhkan Indonesia yang lulus, bukan sekadar lolos.
Dan hari ini, sejarah sedang mencatat: apakah negara memilih integritas, atau hanya kepentingan yang paling mudah.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Ahmad-Abdullah-Rahil-5.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.