Info Subulussalam 

Anggota DPRK Subulussalam Minta DPR RI Evaluasi Dana Bagi Hasil Sawit, Ini Alasannya

‎Evaluasi terhadap mekanisme alokasi DBH sawit agar lebih mencerminkan keadilan bagi daerah penghasil.

Penulis: Dede Rosadi | Editor: Nur Nihayati
For Serambinews.com
PAnggota DPR Kota Subulussalam, Antoni Angkat 
Ringkasan Berita:
  • Keluhan rakyat Subulussalam agar pemerintah melakukan evaluasi alokasi dana bagi hasil (DBH) sawit. 
  • Salah satunya alokasi disesuaikan dengan luasan perkebunan kelapa sawit di daerah masing-masing.
  • Dalam konteks Aceh memiliki ketentuan khusus melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012, yang menetapkan kewajiban 30 persen kebun plasma, atau sebagai alternatif memberikan porsi saham 30 persen kepada masyarakat.

 


Laporan Wartawan Serambi Indonesia Dede Rosadi I Subulussalam 

SERAMBINEWS.COM, SUBULUSSALAM - Anggota DPRK Subulussalam, Antoni Angkat, meminta DPR RI bersama Kementerian Keuangan melakukan evaluasi alokasi dana bagi hasil (DBH) sawit. 

DBH sawit merupakan dana yang disalurkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dari penerimaan negara yang berasal dari bea keluar dan pungutan ekspor atas kelapa sawit dan produk turunannya.

‎Evaluasi terhadap mekanisme alokasi DBH sawit agar lebih mencerminkan keadilan bagi daerah penghasil.

Salah satunya alokasi disesuaikan dengan luasan perkebunan kelapa sawit di daerah masing-masing.

‎"Berikan alokasi yang adil dan proporsional sesuai kondisi lapangan, bukan hanya angka di atas kertas,” kata Antoni di hadapan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, saat berkunjung ke Kota Subulussalam, Senin (17/11/2025).

‎Antoni lantas menguraikan minimnya kontribusi pendapatan daerah dari sektor perkebunan. 

Padahal hak guna usaha perkebunan sawit di daerahnya mencapai 35 ribu hektar atau setara dengan 25 persen luas wilayah Subulussalam

Menurutnya dalam tiga tahun terakhir ‎DBH sawi yang diterima Kota Subulussalam terus menurun: 

Rinciannya 2023 sebanyak Rp 7,1 miliar, turun pada tahun 2024 jadi 5,2 miliar dan kembali turun jadi Rp 3,2 miliar pada tahun 2025. 

"Luasan sawit kita besar, dampak lingkungannya juga dirasakan warga Subulussalam, tapi DBH justru terus turun. Ini tidak adil," tegasnya.

Selain itu Antoni mengingatkan kewajiban perusahaan perkebunan sawit dalam merealisasikan kebun plasma bagi masyarakat.

Menurutnya aturan mengenai plasma sudah sangat terang dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 58 ayat 1 yang mewajibkan perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20 persen dari total areal yang mereka kelola.

Dalam konteks Aceh memiliki ketentuan khusus melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012, yang menetapkan kewajiban 30 persen kebun plasma, atau sebagai alternatif memberikan porsi saham 30 persen kepada masyarakat.

‎Namun faktanya, banyak perusahaan perkebunan di Subulussalam yang tidak melaksanakan kewajiban itu. 

‎Jika alasan perusahaan yang kerap menyebut tidak tersedia lahan sebagai hambatan pembangunan plasma. 

Semestinya mengikuti Qanun Aceh dengan menerapkan skema kemitraan seperti penyertaan aset, pembangunan kebun, produksi, pemasaran, hingga bagi hasil.

Pada bagian lain Antoni mengingatkan perusahaan ‎jika berhadapan hukum dengan masyarakat kecil mengedepankan pendekatan restorative justice.

‎"Jangan semena mena dengan rakyat yang mencari makan di sekitar wilayah perkebunan," tukasnya.

Antoni menyerukan agar pemerintah pusat dan perusahaan perkebunan berhenti mengabaikan hak masyarakat dan daerah.

‎Masyarakat Kota Subulussalam sebutnya, sudah terlalu lama hanya jadi penonton di tanah sendiri.

Saatnya masyarakat mendapatkan bagiannya dari plasma maupun dari dana bagi hasil sawit yang lebih besar.(*)

Baca juga: BAM DPR RI Respon Konflik Agraria di Kota Subulussalam, Aher Beberkan Laporan Warga

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved