Opini

Membangun Pasar Kerja Publik Aceh yang Berdaulat Menuju Tata Kelola Kolaboratif

Di Aceh, karakteristik ini semakin kuat dengan adanya konflik panjang. Birokrasi menjadi instrumen kontrol sekaligus stabilisasi. Rekrutmen

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

PASAR tenaga kerja sektor publik di Aceh bukan sekadar mesin rekrutmen Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia adalah cermin dari pergulatan panjang antara warisan sejarah, desain kelembagaan, dan tarik-ulur teori ekonomi tentang peran negara.

Dalam konteks Aceh pasca-MoU Helsinki dan pascabencana tsunami, memahami dinamika ini menjadi kunci untuk membangun birokrasi yang tidak hanya efisien, tetapi juga berkeadilan dan berdaulat.

Warisan Historis: Dari Birokrasi Kolonial ke Kantor Gubernur

Secara historis, model pasar kerja publik di Indonesia, termasuk Aceh, mewarisi sistem birokrasi klasik Weberian yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Model ini menekankan pada karir tertutup, hierarki kaku, dan kompensasi tetap.

Pasca-kemerdekaan, warisan ini diteruskan dengan semangat yang sama: netralitas, loyalitas pada negara, dan stabilitas.

Di Aceh, karakteristik ini semakin kuat dengan adanya konflik panjang. Birokrasi menjadi instrumen kontrol sekaligus stabilisasi. Rekrutmen PNS seringkali dimaknai bukan hanya sebagai penyerapan tenaga kerja, tetapi juga sebagai bagian dari politik distribusi sumber daya dan penguatan legitimasi.

Data dari Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Aceh menunjukkan bahwa hingga saat ini, formasi PNS masih menjadi komoditas politik yang sangat diperebutkan antarkabupaten, mencerminkan mekanisme "politik-birokratis" dalam penentuan lapangan kerja.

Transisi Pasca-Bencana dan Konflik: Godaan New Public Management (NPM)

Pasca-tsunami 2004 dan perdamaian 2005, Aceh dihadapkan pada arus besar dana rekonstruksi dan otonomi khusus. Dalam periode ini, logika New Public Management (NPM) yang diusung mazhab neoliberal mulai menyusup.

NPM menawarkan efisiensi, fleksibilitas, dan kinerja. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias adalah contoh nyata penerapan logika ini: rekrutmen berbasis kontrak kinerja, sistem penggajian yang kompetitif, dan fokus pada output yang terukur.

Namun, transisi ini menimbulkan ketegangan. Di satu sisi, BRR berhasil menunjukkan tingkat efisiensi yang tinggi. Di sisi lain, tercipta dualisme dalam pasar kerja publik Aceh: segelintir tenaga kontrak berpenghasilan tinggi dengan sistem NPM, dan mayoritas PNS dengan sistem birokrasi klasik yang dianggap kaku dan kurang inovatif.

Ketika BRR bubar, banyak tenaga terampil yang "hilang" dari sistem Aceh karena tidak terserap oleh birokrasi pemerintah yang tetap kaku. Data dari berbagai kajian pasca-BRR menunjukkan kesenjangan upah yang signifikan antara staf BRR dan PNS dengan kualifikasi serupa, memicu pertanyaan tentang keadilan (equity) dalam sistem kompensasi.

Tantangan Kontemporer: Premi Gaji dan Krisis Motivasi Pelayanan

Saat ini, pasar kerja publik Aceh menghadapi paradoks yang dijelaskan oleh teori ekonomi. Analisis kompensasi total menunjukkan adanya kecenderungan "public service pay premium" untuk level rendah.

Seorang tenaga administrasi di pemerintahan kabupaten mungkin menerima kompensasi total (gaji pokok, tunjangan, dan jaminan pensiun) yang lebih baik dibandingkan rekanannya di sektor swasta lokal. Teori Public Choice menjelaskan hal ini melalui kuatnya tekanan politik dan serikat pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan PNS.

Namun, untuk posisi strategis seperti dokter spesialis, insinyur, atau analis data, terjadi "public service pay discount". Pemerintah Aceh kesulitan merekrut dan mempertahankan tenaga-tenaga kunci ini karena tawaran gaji di sektor swasta atau lembaga donor internasional jauh lebih tinggi.

Baca juga: Sinergisitas dalam Mewujudkan Keadilan dan Kemandirian Fiskal

Teori Efficiency Wage menyarankan agar pemerintah membayar lebih untuk posisi-posisi kritis untuk menarik talenta terbaik dan mencegah praktik korupsi, namun hal ini terbentur pada kekakuan aturan kepegawaian nasional dan kemampuan fiskal.

Yang lebih memprihatinkan adalah potensi krisis Public Service Motivation (PSM). Motivasi intrinsik untuk melayani masyarakat, yang menjadi fondasi etos kerja sektor publik, terancam tergerus oleh sistem insentif yang tidak jelas dan struktur karir yang terasa mandek.

Generasi muda Aceh yang terdidik, yang memiliki PSM tinggi, seringkali menjadi frustrasi ketika berhadapan dengan birokrasi yang masih diliputi mentalitas "priyayi" warisan kolonial.

Menuju Masa Depan: Peluang Tata Kelola Kolaboratif di Era Otonomi Khusus

Evolusi pemikiran ekonomi menawarkan jalan ketiga: Model Tata Kelola Kolaboratif. Model ini sangat relevan dengan konteks Aceh yang kaya dengan modal sosial, kearifan lokal, dan lembaga adat. Daripada berfokus pada dikotomi PNS vs. kontrak, pasar kerja publik Aceh masa depan harus mampu menciptakan "karir hibrid".

Apa artinya? Pertama Boundary-Spanners: Pemerintah Aceh perlu aktif merekrut atau melatih PNS yang menjadi "penjembatan batas"—individu dengan keterampilan negosiasi, fasilitasi, dan kolaborasi untuk bekerja sama dengan sektor swasta, universitas, NGO, dan dayah. Program seperti "Tenaga Ahli Kabupaten" adalah langkah awal yang baik, tetapi perlu dilembagakan.

Kedua Insentif Berjejaring: Sistem penghargaan dan promosi tidak hanya dinilai dari senioritas atau KPI sempit, tetapi juga dari kemampuan membangun kemitraan yang menghasilkan solusi inovatif untuk masalah publik, seperti stunting, pengangguran pemuda, atau transformasi ekonomi pasca-tambang.

Ketiga Memanfaatkan Otonomi Khusus: Pemerintah Aceh memiliki kewenangan khusus untuk merancang regulasi kepegawaian yang lebih luwes dan kontekstual. Perlu terobosan kebijakan, misalnya dengan membuat "skema insentif khusus" untuk tenaga medis dan teknis yang bertugas di daerah terpencil, atau sistem rekrutmen yang mengakui dan mengintegrasikan kearifan lokal dan kompetensi keagamaan.

Pasar kerja pelayanan publik di Aceh adalah laboratorium yang hidup dari pertemuan tiga model besar: warisan Birokrasi Klasik yang kaku, godaan New Public Management yang efisien tapi berpotensi timpang, dan peluang Tata Kelola Kolaboratif yang inklusif dan inovatif.

Masa depan sektor publik Aceh tidak terletak pada pemujaan buta pada satu model, tetapi pada kemampuan untuk melakukan sintesis kreatif. Kita perlu mempertahankan kelebihan birokrasi klasik, seperti netralitas dan akuntabilitas hukum, sambil mengadopsi fleksibilitas NPM untuk posisi-posisi tertentu, dan yang terpenting, membangun ekosistem kolaboratif yang memanfaatkan seluruh potensi masyarakat Aceh.

Dengan demikian, pasar kerja publik tidak lagi menjadi beban fiskal atau arena perebutan rente, tetapi menjadi motor utama untuk mewujudkan Aceh yang berdaulat, adil, dan sejahtera.

Untuk dapat memahami pasar kerja yang lebih elok,  memerlukan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan ekonomi, ilmu politik, dan sosiologi.

Semoga dengan adanya konsep yang jelas dalam penerapan perekrutan tenaga kerja yang lebih cerdas, Aceh akan memperoleh sumberdaya manusia yang kompetensi sehingga akan muncul produktivitas yang lebih baik serta mampu menciptakan harmonisasi kerja secara kolaboratif, amin.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved