Opini
MoU Helsinki Bukan Bahan Lelucon Politisi
MoU itu bukan sekadar dokumen politik atau kesepakatan administratif. Ia adalah buah paling berharga dari sebuah masa kelam yang menelan
Oleh: Ir. Jafaruddin Husin, MT, anggota Tim Perumus UUPA
BEBERAPA hari terakhir, publik Aceh kembali diguncang oleh sebuah pernyataan yang meluncur dari mulut Benny K. Harman, politikus nasional dari Partai Demokrat yang telah empat periode duduk di DPR sejak 2004.
Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengenai penyusunan RUU Pemerintah Aceh yang disiarkan langsung melalui YouTube TV Parlemen pada Rabu, 12 November 2025, ia mempertanyakan efektivitas dana otonomi khusus (Otsus) dan menyinggung bahwa kucuran anggaran tersebut tidak membawa perubahan berarti bagi Aceh.
Padahal, sudah 20 tahun Aceh mendapatkan suntikan dana triliunan dari pusat, tetap saja Aceh masih begitu-begitu saja.
Namun, yang lebih menyulut kekecewaan adalah ucapannya yang terkesan meremehkan proses damai yang telah menjadi pilar ketenangan Aceh selama dua dekade terakhir.
Dengan nada enteng, ia berkata, “Sedikit-sedikit Helsinki, sedikit-sedikit Helsinki. Dua puluh tahun ini dibikin apa? Jangan terus-menerus bawa Helsinki.”
Baca juga: Benny K Harman Dukung Penuh Perpanjangan Dana Otsus Aceh
Bagi banyak warga Aceh, pernyataan seperti itu bukan sekadar kritik kebijakan, tetapi menyentuh nadi sejarah, mengusik kesepakatan damai yang lahir dari darah, air mata, dan perundingan panjang di meja dialog.
Untuk memahami mengapa pernyataan tersebut begitu menyakitkan, kita harus menengok kembali apa yang dimaksud dengan MoU Helsinki.
MoU itu bukan sekadar dokumen politik atau kesepakatan administratif. Ia adalah buah paling berharga dari sebuah masa kelam yang menelan puluhan ribu nyawa.
Di Aceh, MoU Helsinki berdiri sebagai penanda berakhirnya konflik bersenjata yang membuat banyak keluarga terpisah, banyak desa hancur, dan banyak mimpi generasi hilang begitu saja di tengah tembakan dan patroli malam.
Oleh sebab itu, menyebut MoU Helsinki secara sembarangan ibarat menyentuh luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Aceh belum pulih total. MoU itu dianggap sakral bukan karena romantisme sejarah, melainkan karena ia mewakili kehidupan baru yang bisa dirasakan secara nyata oleh rakyat Aceh.
Dari kembalinya anak-anak ke sekolah tanpa rasa takut, hingga kembali hidupnya perekonomian desa-desa yang dulu lengang, MoU adalah pintu yang membuka ribuan kemungkinan. Melalui MoU Helsinki Aceh mendapatkan harapan baru untuk bangkit.
Banyak orang Aceh percaya, tanpa MoU itu, mereka tidak bisa menikmati suasana aman yang kini dianggap lumrah.
Ketika rasa aman lahir dari kompromi yang sangat sulit, maka menyebutnya secara meremehkan bukan hanya tindak keliru, melainkan juga sikap yang tidak memahami betapa tingginya harga sebuah perdamaian bagi Aceh yang pernah melewati masa kelam.
Hadiah Pengganti Tuntutan Merdeka
Tak bisa dipungkiri bahwa konflik Aceh dulu berakar dari tuntutan kemerdekaan, sebuah tuntutan yang lahir dari rasa sakit, ketidakadilan, dan kesenjangan yang dialami masyarakat Aceh selama bertahun-tahun.
Karena itu, MoU Helsinki sering dipahami sebagai jalan tengah yang diambil kedua belah pihak demi menghentikan kekerasan besenjata. Bagi sebagian orang Aceh, MoU adalah “hadiah pengganti” dari cita-cita merdeka yang tidak terwujud. Sebuah bentuk pengakuan atas sejarah panjang mereka.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa MoU ini bukan bentuk kekalahan salah satu pihak. Aceh tidak kalah, negara juga tidak lemah.
Ia adalah kemenangan bersama: kemenangan akal sehat, kemenangan kemanusiaan, dan kemenangan keinginan untuk hidup lebih baik. Aceh menerima MoU karena ia memuat janji-janji yang dianggap mampu melindungi martabat, kekayaan alam, dan identitas masyarakatnya.
Maka ketika ada politisi yang menyinggungnya dengan nada meremehkan, itu bukan hanya melukai hati rakyat Aceh, tetapi juga menyepelekan perjuangan damai yang terus dijaga sejak 2005.
Hasil Debat Panjang
Pernyataan Benny seakan-akan ingin menampilkan MoU sebagai alasan yang terus dipakai Aceh untuk menuntut keistimewaan. Padahal, apa yang ia sebut secara sinis itu merupakan dokumen yang lahir dari debat panjang, negosiasi intens, dan pembahasan yang menghabiskan energi luar biasa dari semua pihak. Tidak ada satu pun pasal dalam MoU yang disusun secara serampangan. Setiap butirnya adalah hasil kompromi paling realistis dalam situasi yang sangat tegang.
Menuntut agar Aceh berhenti menyebut MoU Helsinki sama saja dengan meminta rakyat Aceh melupakan dasar arsitektur perdamaian yang menopang kehidupan mereka saat ini. MoU bukan slogan, bukan kartu tuntutan yang dipakai berulang-ulang. Ia adalah fondasi hukum dan politik yang disepakati bersama, sehingga tidak pantas jika dianggap sebagai alasan yang terlalu sering diulang.
Jauh lebih penting untuk mempertanyakan: mengapa MoU masih sering disebut? Jawabannya sederhana: karena tidak semuanya dipenuhi. Dua puluh tahun setelah penandatanganan, sejumlah poin dalam MoU masih belum dijalankan sepenuhnya. Dari soal kewenangan Aceh terhadap sumber daya alam, hingga pembentukan lembaga yang dijanjikan, beberapa bagian MoU masih berada dalam ruang tunggu. Ketika sebuah perjanjian belum selesai ditepati, wajar jika pihak yang menunggu terus mengingatkan. Bukan karena ingin mengulang-ulang sejarah, tetapi karena hak-hak yang dijanjikan belum hadir sepenuhnya.
Karena itu, sangat tidak tepat jika masyarakat Aceh diminta berhenti menyebut MoU, seolah-olah Aceh hanya menggunakannya sebagai tameng. Kenyataannya, Aceh mengulang-ulang MoU karena ia adalah janji negara yang masih membutuhkan penyelesaian. Dalam konteks inilah, kritik publik terhadap pernyataan Benny menjadi dapat dimengerti.
Banyak yang merasa bahwa komentarnya tidak menunjukkan kepekaan terhadap sejarah Aceh, serta mengabaikan betapa berat beban yang pernah ditanggung rakyat di masa konflik. Sebagai pejabat publik yang harusnya memahami kompleksitas persoalan Aceh, ucapannya dipandang tidak selaras dengan etika komunikasi yang seharusnya dijaga oleh seorang anggota legislatif nasional.
Bukan berarti ia tidak boleh mengkritik Aceh atau kebijakan otonomi khusus. Kritik itu sah dan diperlukan. Namun, mengungkapkan kritik dengan cara yang meremehkan nilai suatu perjanjian damai adalah tindakan yang tidak menunjukkan kepekaan politik maupun empati sosial.
Karena itu, tuntutan agar Benny dan partainya meminta maaf tidak lahir dari emosi semata. Ia lahir dari kesadaran bahwa seorang pejabat publik harus mampu melihat isu Aceh bukan hanya dari sudut pandang anggaran, tetapi juga dari sudut pandang sejarah dan martabat.
MoU Bisa Menjadi Bahan Guyonan
Ada kekhawatiran yang sangat masuk akal, jika ucapan seperti ini dibiarkan tanpa koreksi, akan ada politisi lain yang menjadikan MoU Helsinki sebagai bahan guyonan. Dan ketika sebuah perjanjian damai berubah menjadi bahan candaan, itu adalah tanda-tanda paling awal dari retaknya kepercayaan publik Aceh terhadap negara.
Damai itu rapuh. Ia tidak runtuh oleh bom atau peluru saja. Ia juga bisa retak oleh kata-kata yang dilontarkan tanpa kehati-hatian. Karena itu, menjaga cara kita berbicara tentang MoU Helsinki sama pentingnya dengan menjaga isi MoU itu sendiri. Sebab di dalamnya tersimpan harapan ribuan keluarga yang pernah hidup dalam ketakutan, juga mimpi generasi baru Aceh yang tumbuh tanpa mengenal dentum senjata.
Perdamaian bukan hanya dokumen yang ditandatangani di meja perundingan, melainkan ingatan kolektif tentang betapa mahalnya harga sebuah ketenangan. Ia menuntut kepekaan, penghormatan, dan kebijaksanaan, terutama dari mereka yang duduk di kursi-kursi kekuasaan dan berbicara atas nama bangsa.(*)
Email: jafaruddinhusin4@gmail.com
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/waketum-kadin-aceh-jafaruddin-husin.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.