Opini

Ketika Sabang dan Jakarta tak Sepakat Tentang Sebakul Beras 

Pengusaha lokal yang menginisiasi impor, H. Hamdani, bahkan menyatakan, “Ini bukan sekadar kegiatan impor beras. Ini bukti bahwa Saba

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Jasman J. Ma'ruf adalah Profesor Manajemen di FEB USK 

Oleh: Jasman J. Ma’ruf, Profesor Manajemen di FEB USK 

BERAS selalu punya cerita. Kali ini, bukan soal harga, tetapi statusnya: legal atau ilegal. 

Sebanyak 250 ton beras yang tiba di Pelabuhan CT-1 BPKS Sabang, Aceh, pada 20 November 2025, telah menyulut dua narasi besar yang saling bertabrakan.

Di ujung barat negeri, beras itu disambut dengan tangan terbuka. Di ibu kota, ia dicurigai sebagai tamu tak diundang. 

Dalam pemberitaan media lokal  lensaberita.online "Sabang Resmi Impor Beras Perdana 250 ton menjadi Sinyal Kebangkitan Ekonomi Magnet Baru Bagi Investor" impor ini disebut sah, diawasi otoritas pelabuhan, disaksikan aparat daerah, dan didukung oleh pemerintah kota.  

Pengusaha lokal yang menginisiasi impor, H. Hamdani, bahkan menyatakan, “Ini bukan sekadar kegiatan impor beras. Ini bukti bahwa Sabang mampu menjadi pintu masuk distribusi resmi, menyerap tenaga kerja, dan menggerakkan ekonomi.”

Komoditas pangan yang masuk melalui pelabuhan resmi dianggap sebagai simbol investasi, efisiensi logistik, dan arah baru bagi ekonomi Sabang yang ingin lepas dari ketergantungan pada pariwisata. 

Namun, hanya berselang tiga hari, Kementerian Pertanian mengeluarkan pernyataan keras. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menyebut impor itu ilegal karena tidak memiliki izin pusat.

“Berasnya tidak boleh keluar. Ini melanggar instruksi Presiden,” ujarnya dalam konferensi pers (https://aceh.tribunnews.com/bisnis/999050/beras-impor-ilegal-sebanyak-250-ton-masuk-lewat-aceh).  

Ia menyebut kegiatan itu bertentangan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan larangan impor beras karena stok nasional masih mencukupi: 402 ribu ton untuk kebutuhan tiga bulan. 

Dua pernyataan resmi. Dua versi kebenaran. Satu peristiwa. 

Koordinasi yang Gagal, Kebijakan yang Tersesat 

Jika pemerintah pusat menyatakan beras itu ilegal, bagaimana bisa aparat daerah hadir dalam prosesi bongkar muat dan memberi restu? Jika benar kegiatan itu tidak sah, mengapa berlangsung terbuka, disertai pengawasan, bahkan diberitakan secara positif oleh media lokal? 

Jawabannya bisa jadi terletak pada satu kata: koordinasi. Kasus ini menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan lintas kementerian dan pemerintah daerah masih menyisakan ruang abu-abu yang mudah dimasuki oleh “inisiatif pragmatis”. Sebagaimana dicatat oleh Budiati (2016), koordinasi antarlembaga di Indonesia kerap mengalami friksi akibat tumpang tindih regulasi dan ego sektoral yang kuat dalam struktur birokrasi nasional. 

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021, impor komoditas strategis seperti beras wajib disertai Surat Persetujuan Impor (SPI) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan, berdasarkan rekomendasi teknis dari kementerian teknis terkait. Jika dokumen ini tidak terbit, maka secara yuridis kegiatan impor tersebut tidak sah, meskipun mendapat restu daerah. 

Ironisnya, konflik semacam ini bukan yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan fenomena serupa: izin tambang yang tumpang tindih, kebijakan ekspor-impor yang berubah setiap bulan, hingga proyek strategis yang tersendat karena beda tafsir antar kementerian. Negara ini tampaknya masih kesulitan menjadi entitas yang tunggal. Undang-undang ada, tapi multitafsir. Kebijakan dibuat, tapi pelaksanaannya tercerai-berai. Fenomena ini dikenal dalam literatur kebijakan sebagai policy fragmentation, yang menurut Howlett dan Ramesh (2003), terjadi ketika berbagai aktor kebijakan bertindak tanpa koordinasi dalam kerangka regulasi yang belum mapan. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved