Pojok Humam Hamid
MSAKA21: Aceh - Roh yang Tak Pernah Mati dan Animisme Ribuan Tahun - Bagian VII
Islam Aceh adalah Islam yang bercampur dengan kosmologi laut Austronesia, dengan dinamisme tepung tawar, dengan tabu hutan dan...
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
SEJARAH sering ditulis dengan prasasti, candi, dan kitab.
Tetapi Aceh pra-Hindu-Buddha tidak meninggalkan prasasti, tidak ada candi, bahkan tidak ada kitab.
Yang tersisa hanyalah bayangan ritual, potongan mitos, dan praktik budaya yang terus hidup diam-diam hingga sekarang.
Lalu bagaimana kita menuliskannya?
Caranya dengan mendengar gema roh-roh yang dipercayai nenek moyang Aceh, roh yang mengisi laut, gunung, dan hutan, roh yang mungkin hari ini masih berbisik dalam kenduri, dalam pantangan adat, bahkan dalam doa yang sudah berbalut Islam.
Pertanyaannya sederhana tapi mendasar, bagaimana jika kita menghapus Hindu, Buddha, dan Islam dari memori Aceh?
Apa yang tersisa?
Yang tersisa adalah dunia roh.
Menyelami Aceh masa purba
Animisme dan dinamisme adalah sistem kosmologi yang tidak pernah benar-benar mati, hanya bertransformasi.
Animisme meyakini setiap benda memiliki jiwa--roh laut, roh batu, roh angin.
Dinamisme percaya pada adanya kekuatan gaib yang bisa ditransfer melalui benda-benda sakti--keris, batu akik, jimat, pohon keramat.
Dua sistem ini menjadi fondasi spiritual masyarakat Austronesia yang mendiami Aceh ribuan tahun sebelum India dan Arab menjejak.
Mari kita masuk ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Seorang nelayan purba yang hendak melaut tidak hanya menyiapkan perahu dan jala, tetapi juga sesajen.
Ada sirih, pinang, mungkin darah ayam.
Sesajen itu bukan sekadar “simbol”, melainkan negosiasi serius dengan roh laut. Sebab laut punya tuan, punya kehendak.
Jika tidak dihormati, laut bisa murka--gelombang besar, badai, atau perahu karam.
Sampai hari ini, ritual kenduri laot di Aceh masih menjadi bukti kontinuitas itu.
Islam boleh memberi doa-doa berbahasa Arab, tetapi logika dasarnya tetap sama; Laut adalah entitas sakral yang harus ditenangkan.
Baca juga: Kenang 18 Tahun Tsunami, Pemkab Aceh Selatan Gelar Kenduri Laot dan Santuni Yatim
Di pedalaman, petani ladang percaya hutan punya penunggu.
Menebang pohon sembarangan tanpa ritual berarti mengundang sakit atau gagal panen.
Mereka percaya ada “jiwa” pada setiap pohon besar, terutama yang berusia puluhan atau ratusan tahun.
Maka dibuatlah upacara; menyembelih ayam, memercik darah ke akar pohon, lalu meminta izin pada penunggu hutan.
Bukankah sampai hari ini, masyarakat Gayo, Alas, dan Kluet masih mengenal larangan adat terhadap hutan tertentu?
Itu bukan kebetulan, melainkan ekor panjang animisme yang bertahan.
Baca juga: Nelayan Gelar Kenduri Laot, Pj Bupati Pidie: Cara Merajut Kasih Sayang dengan Alam
Di antara animisme dan dinamisme
Animisme juga melahirkan sistem sosial yang unik.
Pemimpin suku atau klan bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga mediator spiritual.
Ia harus bisa berkomunikasi dengan roh, membaca tanda-tanda alam, menafsirkan mimpi, dan menenangkan bencana dengan ritual.
Dalam dunia tanpa kitab suci tertulis, kekuasaan spiritual lebih penting daripada kekuasaan politik.
Kepala suku atau peruka klan bisa kehilangan legitimasi jika gagal meredakan murka roh.
Maka dari itu, agama asli Aceh adalah agama negosiasi--negosiasi terus-menerus dengan alam dan roh.
Dinamisme menambahkan lapisan baru.
Orang percaya bahwa kekuatan gaib bisa dipindahkan, ditampung, dan diwariskan.
Batu tertentu bisa memberi keberanian, keris bisa membawa kemenangan, mantera bisa mengikat roh.
Dinamisme inilah yang menjelaskan kenapa sampai hari ini masyarakat Aceh masih memegang teguh tradisi peusijuek (tepung tawar).
Air, daun, dan doa bukan sekadar simbol, melainkan media energi gaib yang dipindahkan dari satu tubuh ke tubuh lain.
Bukankah ini persis dinamisme Austronesia?
Baca juga: Jelang Dilantik sebagai Anggota DPRA, Abu Paya Pasi Peusijuek Bunda Salma
Bagaimana jika Aceh…
Sekarang mari kita lakukan permainan bagimana jika.
Miisalnya, bagaimana jika animisme dan dinamisme Aceh tidak pernah digantikan Hindu, Buddha, atau Islam?
Mungkin Aceh akan melahirkan mitologi besar seperti Polinesia.
Bayangkan, di Hawaii ada dewa laut Kanaloa, di Tahiti ada Tangaroa.
Bisa jadi Aceh punya “Dewa Samudra Andaman” atau “Dewa Selat Malaka” yang dipuja dengan kuil kayu di pesisir.
Atau mungkin Aceh punya sistem kepercayaan kosmologis seperti Batak Toba dengan Mula Jadi Nabolon, atau Jawa dengan Sang Hyang Tunggal.
Tetapi sejarah berkata lain.
Gelombang India datang terlalu cepat.
Roh-roh Austronesia di Aceh tidak sempat membangun agama besar.
Mereka terhenti sebagai ritual, pantangan, dan mitos, sebelum akhirnya dilapisi agama pendatang
Namun, animisme tidak mati.
Ia bersembunyi di balik agama-agama besar.
Misalnya, penghormatan pada makam keramat di Aceh hari ini.
Islam mengajarkan doa untuk orang mati, tetapi tradisi Aceh memberi dimensi tambahan.
Makam keramat dianggap punya “daya” yang bisa menolong orang hidup.
Ini bukan Islam murni, melainkan animisme yang menyelinap.
Bahkan konsep tabu atau pantangan masih hidup.
Ada hari tertentu yang dianggap sial untuk bepergian, ada tempat yang tidak boleh diduduki, ada pohon yang tidak boleh dipotong.
Itu semua ekor animisme.
Dimensi lain yang penting adalah kosmologi langit.
Masyarakat Austronesia melihat bintang bukan hanya sebagai alat navigasi, tetapi juga sebagai tanda roh.
Di Aceh, bintang tertentu menandai musim tanam dan musim laut.
Tetapi lebih dari itu, ia dipercaya sebagai mata roh leluhur yang mengawasi.
Maka tidak heran, Islam di Aceh kemudian dengan sangat mudah menerima konsep “Allah Maha Melihat”.
Sebab sebelumnya, mereka sudah percaya bahwa roh leluhur mengawasi dari langit.
Dimensi gender; perempuan dan kekuatan spiritual
Kita juga tidak boleh lupa pada dimensi gender dalam animisme.
Dalam banyak masyarakat Austronesia, perempuan sering dianggap punya kekuatan spiritual lebih besar--sebagai dukun, penyembuh, atau penjaga rumah.
Tradisi ini masih terasa di Aceh, di mana perempuan memegang peran penting dalam ritual domestik, meski ruang publik kemudian dikuasai laki-laki.
Animisme memberi ruang pada perempuan, yang kemudian direduksi ketika agama-agama patriarkal masuk.
Sekarang mari kita tarik perbandingan global.
Di Irlandia kuno, animisme menghasilkan sistem Celtic druids--ritual hutan, roh batu, dan kuasa magis.
Di Afrika Barat, animisme menghasilkan voodoo.
Di Amerika Latin, animisme memberi fondasi bagi kosmologi Aztec dan Inca.
Lalu di mana posisi Aceh? Aceh berada di antara.
Aceh punya animisme sekuat Polinesia, tetapi tidak sempat menjadi agama mapan.
Aceh terlalu cepat terseret ke arus Hindu-Buddha dan Islam karena posisinya sebagai simpang jalur dagang.
Namun justru karena itu, Aceh unik.
Ia menyimpan lapisan spiritual yang dalam.
Islam boleh menjadi wajah formal, tetapi roh animisme tetap bernafas di bawahnya.
Islam Aceh adalah Islam yang bercampur dengan kosmologi laut Austronesia, dengan dinamisme tepung tawar, dengan tabu hutan, dengan penghormatan leluhur.
Jika Islam Aceh hari ini keras, itu bukan hanya karena teks Arab, tetapi juga karena warisan animisme yang menuntut totalitas dalam menghormati roh.
Modal baru dan strategi masa depan
Mari kita bertanya lagi, bagimana jika roh-roh itu kembali dihidupkan?
Bukan dalam arti kembali ke animisme, tetapi dalam arti kesadaran bahwa ekologi, kosmologi, dan spiritualitas Aceh punya akar yang jauh lebih tua daripada kitab.
Kesadaran itu bisa menjadi modal baru.
Bayangkan jika masyarakat Aceh hari ini sadar bahwa kenduri laut bukan sekadar tradisi, melainkan warisan ribuan tahun yang menjaga ekologi.
Atau bahwa pantangan adat hutan adalah sistem konservasi alami.
Itu artinya, menggali animisme bukan nostalgia, melainkan strategi masa depan.
Sejarah Aceh pra-Hindu-Buddha adalah sejarah roh.
Roh laut, roh hutan, roh angin, roh leluhur.
Roh yang tidak mati, hanya berganti nama, berganti baju, bertransformasi dari sesajen ke kenduri, dari tabu ke hukum adat, dari roh leluhur ke wali keramat.
Menulis sejarah ini berarti berani mengakui bahwa Islam di Aceh bukan datang ke ruang kosong, melainkan ke panggung yang sudah penuh roh.
Dan roh-roh itu telah disilamkan, dan terbungkus dalam doa-doa masih yang masih berbisik hingga hari ini.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
aceh masa lalu
aceh kuno
kehidupan aceh purba
animisme di aceh
animisme dan dinamisme
Peusijuek
Kenduri Laot
pojok humam hamid
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan |
![]() |
---|
Proposal Trump, Otoritas Teknokratis, dan Prospek Damai Palestina |
![]() |
---|
MSAKA21 - Kerajaan Lamuri: Maritim, Inklusif, dan Terbuka – Bagian XII |
![]() |
---|
Kekonyolan Bobby dan “Hikayat Ketergantungan”: Yunnan, Bihar, Minas Gerais, dan Aceh |
![]() |
---|
Ironi Palestina: Koalisi Keuangan Internasional dan Retak Internal Berkelanjutan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.