Pojok Humam Hamid

Penyakit Akar Busuk Negara dan Tragedi Hari Ini

Yang paling mendesak, oligarki yang telah melakukan kesalahan berjilid-jilid harus ditindak tanpa pandang bulu. 

Editor: Zaenal
YouTube Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog/Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*) 

SEPERTI pohon karet yang tampak kokoh dari kejauhan, negara ini masih berdiri tegak dalam rupa. 

Ada gedung-gedung kementerian yang menjulang, ada bendera yang dikibarkan saban pagi hari, ada anggaran yang disahkan tiap tahun. 

Namun, di kedalaman tanah yang tak tampak oleh mata, akarnya tengah dilahap oleh penyakit mematikan,  jamur akar putih-“rigodoporus microporus” 

Ini bukan penyakit biasa. 

Ia tidak menyerang daun terlebih dahulu, tidak memperlihatkan gejala pada batang. 

Ia bekerja diam-diam, tapi pasti--dari dalam, dari akar, dari titik paling vital kehidupan.

Jamur akar putih menyerang pelan. 

Ia menyusup lewat luka kecil pada akar, membangun koloni dalam senyap, dan menyebar ke seluruh jaringan kehidupan pohon. 

Pada awalnya tak terlihat, tapi begitu batang menguning dan daun mulai layu, saat itulah segalanya sudah terlambat. 

Pohon itu mati berdiri.

Begitu pula negara ini. 

Ia terlihat tegak, namun sekarat dari dalam.

Gejalanya bukan lagi samar. 

Kita menyaksikan demonstrasi yang meluas, kemarahan publik yang meledak. 

Namun itu hanya permukaan. 

Yang lebih dalam adalah runtuhnya kepercayaan--pada hukum, pada pemerintah, pada elite, dan bahkan pada makna negara itu sendiri. 

Seperti pohon karet yang kehilangan aliran nutrisi dari akar, republik ini kehilangan aliran legitimasi yang membuat rakyat percaya dan rela berkorban demi tanah airnya.

Baca juga: 88 Guru Besar Serukan Reformasi Total, Presiden Harus Pimpin Langsung Gerakan Antikorupsi

Gagal memberikan rasa adil

Masalah ekonomi memperparah segalanya. 

Krisis fiskal kini tak terbantahkan. 

Negara mengeluarkan biaya besar, namun gagal memberikan rasa adil. 

Rakyat diminta membayar lebih; lewat pajak konsumsi, pajak karbon, pajak digital, iuran kesehatan yang naik, serta pencabutan berbagai subsidi. 

Tapi yang paling terpukul adalah kelas menengah dan rakyat miskin--kelompok yang tak cukup miskin untuk menerima bantuan sosial, tapi juga tak cukup kaya untuk bertahan dari biaya hidup yang melonjak.

Sistem perpajakan kita kini makin regresif. 

Dalam teori ekonomi, pajak, idealnya bersifat progresif--yang kuat menanggung lebih banyak. 

Tapi hari ini, yang lemah malah memikul beban lebih berat. 

Kelas menengah dikenai pajak penghasilan, tapi tak mendapat pelayanan publik yang memadai. 

Di sisi lain, konglomerat dan elite kekuasaan bermain di zona abu-abu.

Mereka bernegosiasi, menghindar, bahkan mendapat insentif dari negara.

Dan ironi itu makin terasa ketika anggaran pertahanan melonjak drastis hingga Rp565 triliun. 

Sebuah lonjakan yang menimbulkan tanda tanya. 

Apakah belanja ini untuk membela rakyat? Atau justru bersiap menghadapi rakyat? 

Sementara itu, program-program mahal seperti Makan Bergizi Gratis senilai Rp335 triliun digulirkan tanpa peta jalan yang jelas, berpotensi menjadi proyek anggaran tanpa keberpihakan.

Lebih menyakitkan lagi, publik menyaksikan proyek-proyek mercusuar yang membebani, seperti Koperasi Merah Putih.

Koperasi desa ini akan mengelola dana jumbo dengan narasi nasionalis yang kabur, dan mekanisme pertanggungjawaban yang gelap.

Di saat kelas menengah tergerus, angka pengangguran naik, harga pangan tak terkendali, dan upah stagnan, negara justru asyik membiayai ilusi, bukan solusi.

Baca juga: Vonis Banding Mantan Pejabat Langsa Mustafa ST Diperberat Jadi 5 Tahun

Penyakit akar busuk

Semua ini adalah gejala luar dari penyakit akar busuk yang telah lama tumbuh.

Ada korupsi sistemik, rente kekuasaan, politik dinasti, rangkaian kebijakan elitis, dan kegagalan menyusun prioritas nasional. 

Jamur putih itu adalah kompromi-kompromi kecil yang dibiarkan tumbuh--hingga kini menjelma penyakit yang menyebar ke seluruh tubuh republik.

Semua masalah kita hari ini sama sekali bukan dari kejadian  eksternal. Kita sedang menghadapi infeksi internal. 

Masalah kita bukan semata-mata defisit fiskal atau fluktuasi ekonomi global. 

Masalah kita adalah negara yang kehilangan rasa malu dan arah moral.

Yang membuat situasi ini lebih genting adalah konteks eksternal yang sedang berlangsung. 

Kita tidak hanya sedang terluka dari dalam, tapi juga sedang menghadapi arus zaman paling bergolak dalam lima puluh tahun terakhir.

Pertarungan geopolitik global sedang memuncak. 

Rivalitas Amerika dan China, instabilitas kawasan Indo-Pasifik, perang dagang dan perang mata uang, serta ancaman keamanan kawasan  yang mengendap di wilayah Asia Tenggara. 

Di saat yang sama, ada peluang strategis yang luar biasa. Ada arus besar  zaman yang sedang berlangsung, kebangkitan Abad Asia, ekspansi ekonomi digital, energi hijau, dan pergeseran pusat pertumbuhan global ke kawasan sabuk Pasifik.

Namun jika penyakit dalam negeri ini tak segera disembuhkan, kita bukan hanya gagal menjadi besar dan hebat, tetapi akan jatuh tersungkur secara tragis--menjadi negara dengan bonus demografi yang gagal, rakyat yang frustrasi, dan elite yang terus memelihara ilusi masa depan

Baca juga: VIDEO - Sumpah Prabowo Basmi Koruptor dan Mafia Sekuat Apapun Mereka!

Menggali dan membuang akar busuk

Apa yang harus dilakukan pemimpin hari ini?

Jika hari ini Presiden Prabowo benar-benar ingin menyelamatkan republik ini dari keruntuhan total, maka ia harus berani menggali dan mengangkat akar-akar busuk itu. 

Bukan dengan menambal, bukan dengan pidato, bukan dengan reshuffle simbolik. 

Tapi dengan terapi menyeluruh. 

Ia wajib mencabut regulasi yang menindih rakyat, mereformasi sistem perpajakan agar adil dan progresif, membatalkan belanja negara yang menyakiti rasa keadilan, dan mengembalikan negara ke fungsinya yang sejati, yakni, melindungi dan memberdayakan rakyat.

Ia harus memimpin langsung pemberantasan korupsi, bukan sebagai slogan, tapi sebagai perang moral terhadap para pelanggar konstitusi yang berkeliaran dalam setelan jas dan lencana kekuasaan. 

Ia harus berani memecat bawahan yang tak becus, yang menyakiti rakyat dengan kebijakan elitis dan bahasa birokrasi yang dingin. 

Sistem politik nasional perlu diatur ulang--dibersihkan dari sarang transaksi dan dikembalikan menjadi ruang pengabdian, bukan ladang perburuan rente.

Dan yang paling mendesak, oligarki yang telah melakukan kesalahan berjilid-jilid harus ditindak tanpa pandang bulu. 

Tidak boleh lagi ada kekuasaan yang kebal, tidak boleh ada uang yang mengatur negara dari balik layar.

Karena jika pemimpin tertinggi negara memilih kompromi, maka bangsa ini akan memilih jalan buntu sejarah.

Sejarah telah mencatat. 

Negara yang gagal mendengar jerit akar, akan roboh bahkan saat daunnya masih hijau.

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved