Kupi Beungoh

Memahami Peran Guru dalam Internalisasi Nilai-Nilai Maulid

Peran guru dalam konteks ini jauh melampaui tugas mengajar di kelas. Ia menjadi jembatan antara khazanah tradisi yang kaya dengan realitas kekinian

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Laitani Fauzani, S.H. Guru Fiqih Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Aceh Jaya 

Guru perlu mendesain aktivitas pembelajaran yang memungkinkan siswa mengalami nilai-nilai tersebut secara langsung. Projek berbasis masyarakat (community-based project) dapat menjadi pilihan. 

Baca juga: Revisi Qanun Olahraga Aceh: Meneguhkan Jati Diri, Menjawab Tantangan dan Harapan

Misalnya, setelah perayaan Maulid, guru dapat menugaskan siswa untuk mewawancarai tokoh masyarakat yang mengkoordinir acara, mengamati proses gotong royong, atau bahkan terlibat dalam aksi sosial sebagai kelanjutan dari semangat Maulid, seperti mengunjungi panti asuhan atau membersihkan lingkungan masjid.

Melalui pengalaman langsung, nilai-nilai abstrak seperti empati, kepedulian, dan tanggung jawab sosial menjadi nyata dan melekat dalam memori jangka panjang mereka.

Keempat, peran guru sebagai penghubung generasi. Tradisi Maulid di Aceh kaya dengan kekhasan lokal, seperti pembacaan kitab barzanji, dikee maulodi, atau prosesi khanduri. Namun, tidak sedikit generasi muda yang mulai melupakan makna di balik tradisi tersebut.

Guru dapat mendatangkan tetua adat atau ulama setempat ke sekolah untuk berbagi cerita dan makna di balik setiap ritual. 

Guru juga dapat memfasilitasi dialog antargenerasi ini dengan mengadakan festival seni budaya Maulid di sekolah, dimana siswa meneliti, mendokumentasikan, dan mempresentasikan kekhasan Maulid di daerah mereka masing-masing.

Dengan cara ini, guru tidak hanya mengajarkan nilai agama, tetapi juga melestarikan warisan budaya lokal sekaligus membangun identitas dan kebanggaan siswa pada akar budayanya.

Kelima, dan yang terpenting, guru adalah teladan hidup (living example). Semua renungan dan pembelajaran tentang nilai Maulid akan kehilangan maknanya jika guru sendiri tidak merefleksikannya dalam perilaku sehari-hari. Keteladanan Nabi Muhammad SAW—kejujurannya (shidiq), amanahnya, kecerdasannya (fathanah), dan komitmennya menyampaikan kebenaran (tabligh)—harus terpancar dari sikap dan tindakan guru.

Saat guru bersikap adil kepada semua siswa tanpa pandang latar belakang, ia sedang mempraktikkan nilai inklusivitas Maulid. Ketika guru gigih mencari ilmu baru untuk meningkatkan kualitas mengajarnya, ia sedang menghidupkan semangat keilmuan yang menjadi salah satu esensi Maulid. Keteladanan yang konsisten inilah yang akan membekas paling dalam pada diri peserta didik.

Sebagai penutup, perayaan Maulid menawarkan lautannya nilai yang siap untuk kita jelajahi sebagai guru. peran kita adalah menjadi nahkoda yang membimbing kapal generasi muda untuk berlayar di lautan tersebut, mengambil mutiara hikmah, dan membawanya pulang untuk memperkaya kehidupan mereka di masa depan.

Marilah kita jadikan momentum Maulid tahun ini sebagai titik tolak untuk lebih kreatif, reflektif, dan proaktif dalam internalisasi nilai-nilai luhur Nabi Muhammad SAW dalam praktik pendidikan kita sehari-hari. 

Karena sesungguhnya, tugas terbesar kita sebagai guru bukan hanya mencetak siswa yang pandai secara akademis, tetapi juga membentuk manusia yang berakhlak mulia, mencintai ilmu, dan mampu berkontribusi positif bagi masyarakatnya—cerminan hakiki dari semangat kelahiran Sang Nabi Pembawa Rahmat.

 

*) PENULIS adalah Guru Fiqih Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Aceh Jaya

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved