Kupi Beungoh
Krisis Fatherless di Indonesia dan Dampaknya pada Anak
Inilah fenomena fatherless, istilah fatherless tidak hanya berarti ketiadaan fisik ayah karena meninggal dunia.
Ada rasa sedih dan kekosongan yang sering muncul, membuatnya kesulitan mengekspresikan emosi dan lebih memilih memendam perasaan.
Saya mengalaminya sendiri, tumbuh tanpa ayah membuat saya sering merasa tidak cukup, mudah bimbang dalam mengambil keputusan, dan kesepian bahkan di tengah keramaian. Ternyata perasaan serupa dialami oleh anak fatherless lainnya.
Mereka terlihat kuat dari luar, namun menyimpan kehampaan di dalam. Lebih mengkhawatirkan lagi, mereka pun lebih rentan terhadap penyimpangan sosial.
Penyebab utama fatherless sangat kompleks. Perceraian menjadi salah satu faktor dominan yang secara hukum memisahkan anak dari ayahnya. Selain itu, banyak ayah harus meninggalkan keluarganya karena alasan ekonomi.
Merantau, bekerja di luar kota bahkan luar negeri sehingga terputus secara fisik dan emosional.
Lebih dalam lagi, budaya patriarki memperparah keadaan, mengasuh anak dianggap semata-mata tugas istri, sementara peran ayah cukup sebagai penyokong ekonomi.
Padahal, pengasuhan adalah tanggung jawab bersama. Ketika seorang ayah tidak hadir secara emosional, tidak memeluk, tidak bertanya “Bagaimana harimu?” maka yang hilang bukan hanya kebersamaan, tetapi juga rasa aman.
Mengatasi fatherless tidak bisa hanya dibebankan kepada keluarga. Negara dan masyarakat juga harus terlibat.
Salah satu langkah penting adalah mendorong pelaksanaan cuti ayah pasca kelahiran, sebagaimana diatur dalam UU Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Namun, lebih dari sekadar kebijakan, yang kita butuhkan adalah kesadaran.
Ayah bukan hanya sosok yang bekerja pagi-pulang malam, tetapi pelindung batin anak. Komunitas parenting harus inklusif bagi ayah. Sekolah bisa menjadi ruang edukasi pentingnya peran ayah.
Bahkan teknologi pun bisa dimanfaatkan untuk menjembatani jarak emosional antara ayah dan anak melalui panggilan video, pesan suara, atau sekadar sapaan harian yang tulus.
Jika kita ingin membangun generasi yang kuat, kita tidak hanya membutuhkan ruang kelas yang canggih, tetapi juga rumah yang hangat. Kita tidak hanya butuh guru terbaik di sekolah, tetapi juga ayah terbaik di rumah.
Fatherless bukan sekadar persoalan rumah tangga. Ini adalah masalah masa depan bangsa.
Maka, mari kita hadirkan kembali ayah bukan hanya di kartu keluarga, tetapi di kehidupan sehari-hari anak-anak kita. Karena masa depan mereka, dan masa depan Indonesia, bergantung pada siapa yang menemani mereka tumbuh.
*) PENULIS adalah Anggota Muda Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Visi Aceh Berkelanjutan Tidaklah Sederhana |
![]() |
---|
Menyelamatkan Generasi dari Ancaman Kehamilan Remaja |
![]() |
---|
Memahami Peran Guru dalam Internalisasi Nilai-Nilai Maulid |
![]() |
---|
Baju Syariah, Ruh Konvensional: Koperasi Syariah ke Mana? |
![]() |
---|
Cinta Iskandar Muda: Antara Ketulusan, Politisasi & Fenomena Terlantarnya Makam Permaisuri di Pidie |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.