Kupi Beungoh

Krisis Fatherless di Indonesia dan Dampaknya pada Anak

Inilah fenomena fatherless, istilah fatherless tidak hanya berarti ketiadaan fisik ayah karena meninggal dunia.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Chairul Azmi, Anggota Muda Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) 

Oleh Chairul Azmi *)

Ribuan anak di Indonesia tumbuh tanpa peran seorang ayah dalam hidup mereka bukan hanya karena ayah telah tiada, tetapi karena kehadirannya tak pernah benar-benar ada.

Bukan karena fisik yang jauh semata, melainkan karena hati dan waktu yang tak pernah disediakan.

Inilah fenomena fatherless, istilah fatherless tidak hanya berarti ketiadaan fisik ayah karena meninggal dunia.

Lebih dari itu, fatherless adalah ketika sosok ayah tidak hadir secara emosional entah karena perceraian, pekerjaan, atau karena budaya patriaki yang menempatkan ayah hanya sebagai pencari nafkah. 

Anak-anak yang hidup dalam kondisi ini sering disebut mengalami father hunger, kerinduan mendalam akan bimbingan, kasih sayang, dan validasi dari seorang ayah.

Mereka mencari panutan, tetapi tidak menemukannya di rumah sendiri. Ini adalah kondisi nyata yang terus meningkat namun masih dianggap sepele.

Di tengah riuh kampanye parenting dan pendidikan karakter, masalah ini jarang dibicarakan.

Padahal, dampaknya sangat serius menggerus kepercayaan diri anak, merusak kestabilan emosional, hingga melemahkan fondasi sosial generasi berikutnya.

Data dari UNICEF (2021) menunjukkan bahwa sekitar 20,9 persen anak Indonesia hidup tanpa kehadiran ayah yang aktif secara utuh.

Lebih lanjut, Badan Pusat Statistik (2022) mencatat bahwa hanya 37,17 % anak usia 0–5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua kandung.

Di sisi lain, angka perceraian di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 516.344 kasus, yang sebagian besar berdampak pada keterpisahan anak dengan ayah. Artinya, ratusan ribu anak kehilangan akses harian terhadap sosok ayah.

Kehilangan sosok ayah tidak hanya berdampak di masa kecil, tetapi juga pada masa remaja dan dewasa.

Dampaknya merembet pada berbagai aspek seperti krisis identitas, rendahnya rasa percaya diri, hingga gangguan emosional jangka panjang.

Menurut Jurnal yang berjudul Fatherless Generation oleh Annisa Ramadhani dkk diketahui bahwa, Anak-anak tanpa figur ayah cenderung kesulitan membangun relasi sosial yang sehat kondisi emosional dan psikologis yang tidak stanil.

Ada rasa sedih dan kekosongan yang sering muncul, membuatnya kesulitan mengekspresikan emosi dan lebih memilih memendam perasaan.

Saya mengalaminya sendiri, tumbuh tanpa ayah membuat saya sering merasa tidak cukup, mudah bimbang dalam mengambil keputusan, dan kesepian bahkan di tengah keramaian. Ternyata perasaan serupa dialami oleh anak fatherless lainnya.

Mereka terlihat kuat dari luar, namun menyimpan kehampaan di dalam. Lebih mengkhawatirkan lagi, mereka pun lebih rentan terhadap penyimpangan sosial.

Penyebab utama fatherless sangat kompleks. Perceraian menjadi salah satu faktor dominan yang secara hukum memisahkan anak dari ayahnya. Selain itu, banyak ayah harus meninggalkan keluarganya karena alasan ekonomi.

Merantau, bekerja di luar kota bahkan luar negeri sehingga terputus secara fisik dan emosional.

Lebih dalam lagi, budaya patriarki memperparah keadaan, mengasuh anak dianggap semata-mata tugas istri, sementara peran ayah cukup sebagai penyokong ekonomi.

Padahal, pengasuhan adalah tanggung jawab bersama. Ketika seorang ayah tidak hadir secara emosional, tidak memeluk, tidak bertanya “Bagaimana harimu?” maka yang hilang bukan hanya kebersamaan, tetapi juga rasa aman.

Mengatasi fatherless tidak bisa hanya dibebankan kepada keluarga. Negara dan masyarakat juga harus terlibat.

Salah satu langkah penting adalah mendorong pelaksanaan cuti ayah pasca kelahiran, sebagaimana diatur dalam UU Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Namun, lebih dari sekadar kebijakan, yang kita butuhkan adalah kesadaran.

Ayah bukan hanya sosok yang bekerja pagi-pulang malam, tetapi pelindung batin anak. Komunitas parenting harus inklusif bagi ayah. Sekolah bisa menjadi ruang edukasi pentingnya peran ayah.

Bahkan teknologi pun bisa dimanfaatkan untuk menjembatani jarak emosional antara ayah dan anak melalui panggilan video, pesan suara, atau sekadar sapaan harian yang tulus.

Jika kita ingin membangun generasi yang kuat, kita tidak hanya membutuhkan ruang kelas yang canggih, tetapi juga rumah yang hangat. Kita tidak hanya butuh guru terbaik di sekolah, tetapi juga ayah terbaik di rumah.

Fatherless bukan sekadar persoalan rumah tangga. Ini adalah masalah masa depan bangsa.

Maka, mari kita hadirkan kembali ayah bukan hanya di kartu keluarga, tetapi di kehidupan sehari-hari anak-anak kita. Karena masa depan mereka, dan masa depan Indonesia, bergantung pada siapa yang menemani mereka tumbuh.

*) PENULIS adalah Anggota Muda Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A)

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved