Kupi Beungoh

UU Perampasan Aset Tak Kunjung Tiba, DPR Bela Rakyat atau Bela Koruptor?

RUU ini masih terkatung-katung, padahal Presiden Jokowi sudah mengirimkan surpres sejak Mei 2023 dan berulang kali menekankan urgensinya.

Editor: Amirullah
ist
Viona Lestari, Mahasiswi Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh 

Oleh: Viona Lestari

Hampir dua dekade bangsa ini dicekoki jargon “perang melawan korupsi,” tetapi realitas di lapangan menunjukkan betapa gamangnya negara dalam menindak tegas para penjarah uang rakyat.

Salah satu bukti paling telanjang adalah mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Hingga memasuki tahun 2025, RUU ini masih terkatung-katung, padahal Presiden Jokowi sudah mengirimkan surat presiden (surpres) sejak Mei 2023 dan berulang kali menekankan urgensinya.

Pertanyaan kritis pun muncul, apakah DPR sungguh-sungguh membela rakyat, atau justru sedang melindungi kepentingan para koruptor?

Fakta menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi tidak lagi bisa dihitung dengan jari.

Berdasarkan laporan Kejaksaan Agung (Kejagung) mencatat total kerugian negara akibat dugaan korupsi Tahun 2024 mencapai Rp310,61 triliun, 7,88 juta dolar Amerika Serikat (AS), dan 58,135 kilogram emas.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengungkapkan sepanjang 2024, Kejagung melakukan penyelidikan terhadap 2.316 perkara tindak pidana korupsi, penyidikan sebanyak 1.589 perkara, penuntutan terhadap 2.036 perkara, serta eksekusi sebanyak 1.836 perkara.

Namun yang berhasil dikembalikan hanya sebagian kecil. Pola ini berulang dari tahun ke tahun.

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menunjukkan bahwa setiap semester, potensi kerugian negara akibat penyalahgunaan keuangan negara mencapai puluhan hingga ratusan triliun.

Baca juga: Daftar Kendaraan Dilarang dan Boleh Isi Pertalite per September 2025, Ini Dampak pada Pertamina

Di sinilah letak urgensi UU Perampasan Aset. Tanpa instrumen hukum yang memadai, banyak aset koruptor yang akhirnya lolos dari jerat hukum.

Mekanisme yang ada saat ini melalui KUHAP atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) terlalu berbelit, membutuhkan putusan pidana terlebih dahulu, dan memberi celah bagi pelaku untuk menghilangkan atau memindahkan asetnya.

 Akibatnya, rakyat yang harus menanggung beban, baik dalam bentuk pajak yang terus dinaikkan maupun layanan publik yang tergerus karena anggaran bocor.

Keterlambatan DPR dalam membahas UU ini menimbulkan kecurigaan wajar dari publik. Tidak ada alasan logis mengapa RUU yang begitu strategis justru didiamkan.

Baleg DPR, yang diketuai oleh Supratman Andi Agtas (periode 2019–2024), selalu berdalih bahwa pembahasan membutuhkan “kajian mendalam” karena menyangkut hak kepemilikan warga negara.

Dalih tersebut terdengar akademis, tetapi ironis, mengapa hak rakyat atas uang pajak yang dikorupsi tidak mendapat perhatian yang sama seriusnya?

Lambannya proses legislasi ini memperlihatkan paradoks DPR.

Mereka kerap mengaku sebagai wakil rakyat, tetapi praktiknya menunjukkan kecenderungan melindungi kepentingan segelintir elite yang takut jika asetnya ikut terseret. 

Tidak bisa dipungkiri, banyak politisi kita baik di DPR maupun partai politik memiliki relasi erat dengan pengusaha dan jaringan kekuasaan yang berpotensi terjerat kasus korupsi.

Maka, menunda UU ini sama artinya dengan memberi perlindungan tak resmi kepada para penjarah uang rakyat.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi problem perampasan aset. Italia, sejak era “mafia war,” sudah punya instrumen hukum untuk menyita aset tanpa menunggu putusan pidana, dengan prinsip non-conviction based forfeiture.

Filipina melalui Forfeiture Law juga berhasil mengembalikan miliaran dolar aset Marcos yang disembunyikan di luar negeri.

Inggris bahkan memiliki Unexplained Wealth Orders (UWO), di mana individu yang kekayaannya mencurigakan bisa diminta membuktikan asal-usulnya, dan bila gagal, aset bisa langsung disita.

Baca juga: Harga Emas Kembali Berkilau di Aceh Tamiang, per Mayam  Rp 6,3 Juta

Pertanyaannya, mengapa Indonesia, yang setiap hari dirongrong praktik korupsi sistemik, justru tak kunjung memiliki instrumen serupa? Apakah karena elite politik kita takut senjata makan tuan?.

Ketidakseriusan DPR membahas UU Perampasan Aset bukan sekadar isu abstrak. Dampaknya konkret.

Ketika triliunan rupiah uang negara lenyap dan tak bisa kembali, rakyat kehilangan akses pada layanan dasar. 

Anggaran pendidikan dan kesehatan terbatas, subsidi dipangkas, infrastruktur mangkrak, bahkan gaji guru honorer dan tenaga kesehatan kerap tertunda.

Ironisnya, di saat yang sama, kita bisa menyaksikan para koruptor hidup mewah, dengan aset yang jelas-jelas berasal dari hasil jarahan, tetapi tak tersentuh hukum karena payung hukumnya belum ada.

Jika DPR terus menunda, maka yang dikorbankan bukan hanya uang negara, tetapi juga masa depan generasi mendatang.

Korupsi tanpa pengembalian aset berarti membiarkan kerugian berlipat ganda, negara kehilangan uang, rakyat kehilangan hak, dan moral publik kehilangan kepercayaan terhadap institusi demokrasi.

Secara akademis, ini adalah cacat serius dalam politik legislasi kita. DPR tampak tidak konsisten dalam menetapkan prioritas.

Mereka bisa begitu cepat mengesahkan RUU yang berkaitan dengan kepentingan politik jangka pendek seperti revisi UU Pemilu atau revisi UU KPK pada 2019, namun begitu lambat ketika menyangkut instrumen pemberantasan korupsi yang menyentuh kepentingan oligarki.

Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya komitmen antikorupsi di parlemen.

Dalam teori hukum, negara memiliki kewajiban positif untuk melindungi hak-hak rakyat, termasuk melalui mekanisme hukum yang memastikan uang publik tidak dirampas oleh segelintir orang.

Mangkraknya RUU Perampasan Aset adalah bentuk kelalaian (omission) negara, yang pada akhirnya melanggar hak rakyat atas keadilan sosial sebagaimana dijamin dalam konstitusi.

Baca juga: Polemik Ijazah, Subhan Palal Penggugat Gibran Tantang Jokowi Tunjukkan Orang yang Back Up

Publik berhak bertanya secara frontal, DPR sedang membela rakyat, atau membela koruptor?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata, segera mengesahkan UU Perampasan Aset.

Jika DPR masih menunda-nunda, maka wajar jika publik menilai bahwa para legislator lebih sibuk menjaga kepentingan oligarki ketimbang menegakkan keadilan.

Momentum tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik.

Dengan berakhirnya masa jabatan legislatif periode 2019–2024 dan hadirnya wajah baru di parlemen, publik menuntut komitmen konkret.

Tanpa itu, DPR hanya akan semakin kehilangan legitimasi, dilihat bukan sebagai lembaga legislatif yang mewakili rakyat, tetapi sebagai benteng terakhir para koruptor.

Korupsi telah lama menempatkan bangsa ini sebagai korban. Dana publik yang semestinya menjadi akses pangan, kesehatan, dan pendidikan bagi rakyat, justru lenyap akibat kejahatan luar biasa tersebut. UU Perampasan Aset bukan sekadar instrumen hukum, melainkan simbol keberpihakan negara kepada rakyat.

Bila DPR masih enggan mengesahkannya, maka sejarah akan menorehkan catatan pahit, di saat rakyat meminta keadilan, wakilnya justru berpaling.

 

Penulis adalah Mahasiswi Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved