Kupi Beungoh

CSR Sektor Ekstraktif dan Imajinasi Kesejahteraan Aceh 

Memperbaiki distribusi CSR berarti berani  mengubah relasi produksi agar nilai lebih tidak terus terkonsentrasi di tangan pemilik modal.

Editor: Amirullah
ist
Akhsanul Khalis, Staf Pengajar/dosen di kampus swasta di Banda Aceh. Riwayat pendidikan: Alumni Magister Administrasi Publik UGM. 

Bahkan sebagian aktivis lingkungan pun terjebak. Mereka, yang dulunya paling keras menolak tambang, kini terdengar lebih kompromistis. 

“Realistis,” begitu kata mereka. Kita naik kendaraan butuh minyak bumi, listrik kita pun masih bergantung pada batubara.

Konteks sikap masyarakat yang anti-tambang dianggap sikap konyol. Maka, tambang dianggap keniscayaan, sementara CSR dipuja sebagai kompensasi terbaik yang bisa didapat.

Masyarakat yang paling resiko pun, kini belajar untuk realistis, upaya berdamai dalam kemelut.

Mereka tahu air tercemar, sungai makin keruh, tahu sawah tak lagi subur, tahu hutan terus hilang.

Tetapi selama ada janji rumah bantuan atau beasiswa, mereka memilih diam ataupun warga merasa berhutang budi, hingga kritik melemah. Ilusi kesejahteraan bekerja lebih kuat daripada fakta kerusakan yang terlihat jelas di depan mata.

Disinilah dihantui perasaan dilematis. Polarisasi, masyarakat yang menolak tambang akan dicap utopis. Mereka yang menerima tambang, asal ada CSR, dianggap rasional. Padahal, kerusakan struktural jauh lebih besar daripada nilai CSR yang dibagikan.

Tetapi logika kapitalisme ekstraktif yang lebih ramah berhasil membalikkan posisi: perusahaan yang merusak bisa tampil sebagai penyelamat. CSR dijadikan simbol kepedulian. 

Inilah inti dari CSR: sebuah topeng yang dirancang untuk menampilkan wajah ramah lingkungan (Greenwashing) dari mesin ekonomi ekstraktif. Seolah-olah kapitalisme bisa bersahabat, justru relasinya bersifat toxic: merusak sambil menebar kebaikan. 

Hendra Try Ardianto, dalam bukunya “Mitos Tambang untuk Kesejahteraan”, menunjukkan sebaliknya, bagaimana narasi kesejahteraan di sekitar tambang dibangun sebagai mitos. Janji kemakmuran diulang-ulang sehingga terdengar wajar. Konflik sosial, kemiskinan baru, dan kerusakan ekologis dianggap harga yang harus dibayar. 

Persoalan makin pelik karena pemerintah daerah ikut larut dalam logika ini; alih-alih menuntut transparansi, mereka sering tampil sebagai tamu kehormatan dalam seremoni CSR, melontarkan kata manis di depan kamera seolah perusahaan telah memenuhi tanggung jawab sosial.

Padahal, jika laporan dibuka, kontribusinya sangat kecil dibandingkan laba besar yang dibawa keluar. 

Maka, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan sekadar apakah CSR tepat sasaran.

Pertanyaan yang lebih radikal adalah: untuk siapa CSR sebenarnya? Apakah ia hadir untuk masyarakat, atau justru untuk memperhalus wajah kapitalisme yang merusak?

Selama pertanyaan ini tidak dijawab, kita akan terus terjebak dalam pusaran mitos kesejahteraan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved