Kupi Beungoh

CSR Sektor Ekstraktif dan Imajinasi Kesejahteraan Aceh 

Memperbaiki distribusi CSR berarti berani  mengubah relasi produksi agar nilai lebih tidak terus terkonsentrasi di tangan pemilik modal.

Editor: Amirullah
ist
Akhsanul Khalis, Staf Pengajar/dosen di kampus swasta di Banda Aceh. Riwayat pendidikan: Alumni Magister Administrasi Publik UGM. 

Ini tidak hanya cerita dibalik kasus PT PEMA, banyak perusahaan besar lainnya yang bergerak di sektor industri ekstraktif  memperlihatkan wujud aslinya.

Kejadian ini seharusnya menjadi peringatan, selama CSR tetap dibiarkan dalam logika lama: terjebak dengan ilusi kesejahteraan, tidak akan pernah menjadi jalan keluar, melainkan hanya instrumen pengalihan. Meskipun selama ini dijanjikan program lewat pemulihan lingkungan serta pemberdayaan masyarakat. 

Kepemilikan Sosial

Konteks menahan laju kerusakan lingkungan karena tambang, tidak ada solusi yang tepat meskipun diatur lewat mekanisme CSR.

Subjektivitas penulis, melihat CSR bukan sebagai jawaban atas masalah itu, melainkan tetap sebagai instrumen reproduksi kapitalisme: menjaga citra, mencegah protes, dan memastikan roda akumulasi modal tetap berjalan mulus. 

Memperbaiki distribusi CSR berarti berani  mengubah relasi produksi agar nilai lebih tidak terus terkonsentrasi di tangan pemilik modal.

Kalau dipikir, Aceh punya kesempatan untuk merubah relasi produksi dengan keberadaan perusahaan plat merah: seperti PT. PEMA. Jalan keluar menuju kesejahteraan bukan menumpuk laba atau sekadar mengisi kas daerah lewat dividen. Itu hanya mungkin kalau kepemilikannya juga bergeser, dari sebatas milik negara menjadi kepemilikan sosial. 

Secara teoritis, disebut ini sebagai pergeseran dari “socialized production under private appropriation” ke “socialized production under social appropriation”.

Negara bisa menjadi jembatan, tapi hanya bila fungsi negara tidak lagi sebagai penjaga urusan kelas borjuasi, melainkan alat transisi menuju kepemilikan komunal.

Solusi konseptualnya, pekerja ikut duduk, terlibat di meja pengambil keputusan, perwakilan masyarakat punya kursi di dewan pengawas atau direksi, bukan hanya dijabat oleh orang dekat kekuasaan.

Hal teknis, bisa jadi contoh seperti model manajemen co-determination di Jerman atau koperasi Mondragon di Spanyol, bahwa perusahaan negara juga bisa berjalan dengan logika yang lebih partisipatif dan berpihak pada publik. 

 

Penulis adalah Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center Email: Akhsanfuqara@gmail.com

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved