Kupi Beungoh
CSR Sektor Ekstraktif dan Imajinasi Kesejahteraan Aceh
Memperbaiki distribusi CSR berarti berani mengubah relasi produksi agar nilai lebih tidak terus terkonsentrasi di tangan pemilik modal.
Ini tidak hanya cerita dibalik kasus PT PEMA, banyak perusahaan besar lainnya yang bergerak di sektor industri ekstraktif memperlihatkan wujud aslinya.
Kejadian ini seharusnya menjadi peringatan, selama CSR tetap dibiarkan dalam logika lama: terjebak dengan ilusi kesejahteraan, tidak akan pernah menjadi jalan keluar, melainkan hanya instrumen pengalihan. Meskipun selama ini dijanjikan program lewat pemulihan lingkungan serta pemberdayaan masyarakat.
Kepemilikan Sosial
Konteks menahan laju kerusakan lingkungan karena tambang, tidak ada solusi yang tepat meskipun diatur lewat mekanisme CSR.
Subjektivitas penulis, melihat CSR bukan sebagai jawaban atas masalah itu, melainkan tetap sebagai instrumen reproduksi kapitalisme: menjaga citra, mencegah protes, dan memastikan roda akumulasi modal tetap berjalan mulus.
Memperbaiki distribusi CSR berarti berani mengubah relasi produksi agar nilai lebih tidak terus terkonsentrasi di tangan pemilik modal.
Kalau dipikir, Aceh punya kesempatan untuk merubah relasi produksi dengan keberadaan perusahaan plat merah: seperti PT. PEMA. Jalan keluar menuju kesejahteraan bukan menumpuk laba atau sekadar mengisi kas daerah lewat dividen. Itu hanya mungkin kalau kepemilikannya juga bergeser, dari sebatas milik negara menjadi kepemilikan sosial.
Secara teoritis, disebut ini sebagai pergeseran dari “socialized production under private appropriation” ke “socialized production under social appropriation”.
Negara bisa menjadi jembatan, tapi hanya bila fungsi negara tidak lagi sebagai penjaga urusan kelas borjuasi, melainkan alat transisi menuju kepemilikan komunal.
Solusi konseptualnya, pekerja ikut duduk, terlibat di meja pengambil keputusan, perwakilan masyarakat punya kursi di dewan pengawas atau direksi, bukan hanya dijabat oleh orang dekat kekuasaan.
Hal teknis, bisa jadi contoh seperti model manajemen co-determination di Jerman atau koperasi Mondragon di Spanyol, bahwa perusahaan negara juga bisa berjalan dengan logika yang lebih partisipatif dan berpihak pada publik.
Penulis adalah Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center Email: Akhsanfuqara@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Prospek Legalisasi Ganja untuk Terapi Medis |
![]() |
---|
Misteri Tambang KPPA: Emas, Asing dan Negara yang Bungkam |
![]() |
---|
UU Perampasan Aset Tak Kunjung Tiba, DPR Bela Rakyat atau Bela Koruptor? |
![]() |
---|
Refleksi Kritis atas Dana Otsus Aceh: Evaluasi 18 Tahun Perjalanan Untuk Perbaikan Masa Depan |
![]() |
---|
Restorasi Aceh: dari Nostalgia Kejayaan Menuju Kemakmuran Nyata |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.