Kupi Beungoh

September Pendidikan Aceh: Hardikda, Darussalam, dan Jejak Abadi Prof. Safwan Idris

Hardikda adalah pijakan, Darussalam adalah rumah, dan Prof. Safwan Idris adalah jiwa yang menyalakan cahaya.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
tugu darussalam 

Oleh: Maysarah

Bagi Aceh, bulan September bukan sekadar pergantian waktu di kalender.

Ada tiga peristiwa penting yang selalu dikenang: Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) pada 2 September, peresmian kampus Darussalam pada 2 September 1959 dengan dibukanya selubung tugu Darussalam dan peresmian pembukaan fakultas Ekonomi Unsyiah pada saat itu (Sulaiman Tripa, 2019), dan gugurnya Prof. Dr. Safwan Idris pada 16 September 2000. Ketiganya menyatu menjadi cerita tentang cita-cita, perjuangan, dan warisan pendidikan Aceh.

Hardikda: Jejak Otonomi Pendidikan

Pada yang melahirkan kebijakan yang menandai semangat pendidikan khas Aceh, dikenal sebagai Hari Pendidikan Daerah atau Hardikda. Sejak awal, ide Hardikda adalah memberi ruang bagi Aceh untuk mengatur pendidikan sesuai dengan jati diri masyarakatnya: menggabungkan ilmu agama, budaya lokal, dan pengetahuan modern.

Peringatan Hardikda seolah ingin menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya urusan kurikulum pusat, melainkan juga bagian dari identitas Aceh. 

Namun, setelah lebih dari beberapa dekade berlalu, pertanyaan besar muncul: sejauh mana cita-cita itu benar-benar diwujudkan?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2023 menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh mencapai 74,70, meningkat 0,59 poin dari tahun sebelumnya (lihat, https://aceh.bps.go.id/id/pressrelease/2023/12/01/776/indeks-pembangunan-manusia--ipm--provinsi-aceh-tahun-2023.html.)

Angka ini patut disyukuri, tetapi masih sedikit di bawah rata-rata nasional. Di balik angka itu tersimpan kenyataan: masih ada kesenjangan akses pendidikan, terutama di daerah terpencil.

Anak-anak di perkotaan relatif lebih mudah bersekolah, sementara di pedalaman, banyak yang masih kesulitan mendapatkan fasilitas memadai.

Artinya, semangat Hardikda belum sepenuhnya terwujud. Pendidikan di Aceh masih butuh perhatian serius agar bisa merata, inklusif, dan berdaya saing.

Baca juga: Penjual Vape di Banda Aceh Diminta Waspada, Ada Temuan BNN RI Cairan Vape Mengandung Narkotika

Darussalam: Kota Ilmu, Kota Harapan

Dua minggu setelah Hardikda, pada 2 September 1959, Presiden Soekarno meresmikan kawasan kampus Darussalam di Banda Aceh. Sejak itu, Darussalam dikenal sebagai “Kota Ilmu”.

Di sanalah berdiri Universitas Syiah Kuala (USK) dan kemudian UIN Ar-Raniry, dua lembaga besar yang melahirkan ribuan sarjana Aceh dari generasi ke generasi.

Darussalam bukan hanya soal gedung dan ruang kuliah. Ia adalah simbol tekad Aceh untuk memiliki pusat ilmu sendiri, tempat anak-anak muda dari pelosok bisa belajar, berdiskusi, dan meneliti. Kini, USK bahkan masuk daftar 15 besar universitas terbaik di Indonesia.

Meski begitu, tantangan tetap ada. Kampus tidak boleh puas dengan ranking, tapi harus menjawab kebutuhan nyata masyarakat. Ilmu yang dikembangkan di Darussalam seharusnya mampu menghadirkan solusi: bagaimana mengelola laut dan tanah Aceh dengan lebih baik, bagaimana teknologi bisa membantu petani, bagaimana pendidikan dan kesehatan menjangkau desa-desa, dan bagaimana tradisi keilmuan Aceh bisa bertemu dengan modernitas tanpa kehilangan jati diri.

Prof. Safwan Idris: Guru Besar yang Gugur

Di balik gemerlap Darussalam, ada kisah pilu yang juga terjadi pada 16 September. Tepat pada tahun 2000, Prof. Dr. Safwan Idris, seorang tokoh pendidikan dan ulama terkemuka Aceh, ditembak di rumahnya.

Dalam buku “ Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, Jilid, 1 Cet ke 2, tahun 2007 oleh Sabri, A dkk, Prof SI, menjadi salah satu ulama dan akademisi yang kiprahnya sangat berjasa bagi rakyat Aceh. Kepergian beliau masih menjadi luka yang sulit disembuhkan, karena tidak hanya menghilangkan seorang akademisi, tetapi juga seorang teladan keberanian.

Prof. Safwan Idris lahir di Aceh Besar pada 1949. Ia menempuh pendidikan hingga ke Amerika Serikat, lalu kembali ke tanah air untuk membangun dunia akademik. Sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry, ia dikenal tegas, kritis, dan berkomitmen menjaga kebebasan akademik di tengah situasi Aceh yang penuh konflik.

Yang diwariskan Prof. Safwan bukan hanya gagasan, tetapi juga keberanian moral: bahwa pendidikan harus bebas dari tekanan, harus berpihak pada kebenaran, dan harus menjadi cahaya di tengah kegelapan. 

Tragedi yang menimpanya adalah pengingat pahit bahwa memperjuangkan ilmu kadang berhadapan dengan risiko besar. Namun, justru karena itulah, jejaknya menjadi abadi.

Baca juga: 6 Prompt Gemini AI untuk Foto Sinematik di Kereta Api, Hasilnya Real Mirip Pemotretan Profesional

September sebagai Cermin

Tiga peristiwa ini—Hardikda, Darussalam, dan gugurnya Prof. Safwan—sebenarnya menyampaikan pesan yang sama: pendidikan adalah fondasi masa depan Aceh. Hardikda memberi dasar hukum dan arah, Darussalam menyediakan ruang dan infrastruktur, sementara Prof. Safwan memberi jiwa berupa teladan integritas.

Sayangnya, ketika kita menengok ke kondisi sekarang, masih banyak pekerjaan rumah. IPM Aceh memang naik, tetapi kualitas lulusan, keterampilan tenaga kerja, serta pemerataan akses pendidikan belum sejalan dengan cita-cita “Kota Ilmu”.

Masih banyak sekolah dengan sarana terbatas, guru yang harus mengajar lintas mata pelajaran, dan anak-anak yang harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke sekolah. Di tingkat perguruan tinggi, riset masih perlu diperkuat agar lebih berdampak langsung bagi masyarakat.

Menjawab Tantangan Masa Kini

Jika kita ingin benar-benar melanjutkan warisan September pendidikan, ada beberapa langkah yang harus ditempuh. Pertama, memperkuat kualitas guru dan dosen.

Pendidikan Aceh tidak bisa maju tanpa tenaga pengajar yang profesional dan berdedikasi. Kedua, memastikan pemerataan fasilitas pendidikan sampai ke desa-desa. 

Tidak boleh ada anak Aceh yang tertinggal hanya karena lahir di daerah jauh.

Ketiga, memperkuat budaya akademik yang kritis dan merdeka. Kampus harus menjadi ruang yang aman untuk berdebat, mengkaji, dan mencari solusi. Warisan Prof. Safwan Idris seharusnya menjadi inspirasi agar kebebasan akademik dijaga, bukan dibungkam.

Terakhir, pendidikan tinggi di Aceh harus lebih terhubung dengan dunia nyata. Riset dan inovasi yang lahir dari Darussalam dan kampus lainnya harus bisa dirasakan oleh nelayan, petani, pelaku usaha kecil, hingga masyarakat desa.

Penutup

Bulan September selalu mengingatkan kita bahwa pendidikan Aceh lahir dari cita-cita besar, bukan dari kebetulan. Hardikda adalah pijakan, Darussalam adalah rumah, dan Prof. Safwan Idris adalah jiwa yang menyalakan cahaya.

Tugas kita sekarang adalah memastikan warisan itu tidak berhenti di tataran simbol. Pendidikan Aceh harus benar-benar menjadi kekuatan yang mengangkat kualitas hidup masyarakat.

Hanya dengan itu, kita bisa berkata bahwa semangat Hardikda, Darussalam, dan Prof. Safwan Idris masih hidup—bukan hanya dalam ingatan, tetapi dalam kenyataan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved