Jurnalisme Warga
Kue Adee Kak Nah, Ikon Kuliner dari Pidie Jaya
Keistimewaan kue adee Kak Nah bukan hanya pada rasanya yang manis dan legit, tetapi juga pada komposisinya yang unik.
ABQARI SHAFFAL HISAN, Siswa Kelas X-DKV SMK Muamalat Solidarity Boarding School (MSBS) Jantho, melaporkan dari Pidie Jaya
PADA Minggu pagi pekan lalu, tepat pukul 05.00 WIB, kami sekeluarga berangkat dari Bireuen. Tujuan utama perjalanan ini adalah mengantar saya masuk ke sebuah sekolah berasrama, tepatnya di Muamalat Solidarity Boarding School (MSBS) yang berada di Jantho, Aceh Besar.
Udara masih sejuk, jalanan belum terlalu ramai, dan sinar matahari yang perlahan muncul dari ufuk timur menambah suasana perjalanan terasa tenang dan menyenangkan. Suasana pagi seperti ini selalu menghadirkan rasa syukur, apalagi ditemani keluarga yang hangat.
Sepanjang perjalanan, deretan pohon kelapa dan hamparan sawah menghiasi pandangan mata. Sesekali kami berpapasan dengan truk besar yang menuju Medan atau mobil pribadi lain yang sama-sama melintasi jalur Banda Aceh – Medan.
Di dalam mobil, kami berbincang ringan sambil sesekali tertawa. Sejak awal, kami sudah sepakat bahwa sebelum sampai ke Banda Aceh, ada satu destinasi kecil yang tidak boleh dilewatkan, yaitu singgah di Meureudu, ibu kota Kabupaten Pidie Jaya, untuk membeli oleh-oleh khas daerah ini “kue adee Kak Nah”.
Sekitar pukul 07.00 pagi, mobil kami mulai memasuki wilayah Pidie Jaya. Dari kejauhan terlihat deretan kios yang menjual oleh-oleh di sepanjang jalan utama. Di antara sekian banyak toko, papan nama bertuliskan Kue Adee Kak Nah tampak paling mencolok. Inilah yang sudah lama dikenal sebagai ikon kuliner dari Pidie Jaya. Lokasinya berada di Kecamatan Meureudu, persis di jalur lintas Banda Aceh-Medan. Banuak pengguna jalan yang melintas tergoda untuk singgah.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah gerai, aroma wangi kue bikang panggang ini langsung menyambut dari balik etalase kaca. Di dalam toko, loyang-loyang kue ‘adee’ alias bikang tersusun rapi di rak ‘steling’. Bentuknya sederhana, tetapi tampak menggoda dengan taburan bawang goreng di atasnya. Penjual menyapa kami dengan senyum ramah, sebuah keramahan khas masyarakat Aceh yang membuat pengunjung merasa betah.
Kami kemudian bertanya kepada seorang penjual bernama Mukhlis, yang kebetulan menjaga gerai pagi itu. Ia menjelaskan bahwa kue yang dijualnya bukan diproduksi langsung di toko, melainkan didatangkan dari industri rumahan yang ada di sekitar Meureudu.
“Kami hanya menjual saja. Ada dua ukuran. Yang besar seharga 35.000 dan yang kecil 25.000 rupiah,” ujarnya sambil menunjuk kotak berwarna hijau yang menjadi ciri khas kemasan Kue Adee Kak Nah.
Kue ini ternyata memiliki sejarah panjang. Berdasarkan cerita yang kami dengar, kue adee Kak Nah dirintis oleh seorang perempuan bernama Hj Rosna H Yahya sejak tahun 1982. Nama “Kak Nah” sendiri diambil dari panggilan akrab beliau.
Awalnya, kue bikang ini hanya dibuat pada bulan Ramadhan atau saat acara pesta perkawinan dan hanya bisa ditemukan di daerah Pidie Jaya. Namun, seiring waktu, terutama sejak tahun 2005, kue ‘adee’ mulai dikenal lebih luas. Kini, kue ini dapat dijumpai tidak hanya di Pidie Jaya, tetapi juga di Banda Aceh, Sigli, Bireuen, bahkan sampai ke Lhokseumawe.
Keistimewaan kue adee Kak Nah bukan hanya pada rasanya yang manis dan legit, tetapi juga pada komposisinya yang unik. Ada dua jenis bahan dasar yang digunakan: tepung terigu dan singkong (ubi). Adonan tersebut kemudian dicampur dengan gula pasir, telur, santan kental, vanili, margarin, serta sedikit garam. Setelah dipanggang, kue diberi taburan bawang goreng di atasnya.
Kombinasi rasa manis dan gurih inilah yang menjadikan kue ‘adee’ berbeda dengan kue-kue sejenis di daerah lain. Teksturnya lembut, kenyal, dan legit, sangat cocok dinikmati bersama secangkir kopi atau teh panas.
Proses pemanggangan kue ini bisa menggunakan oven modern. Namun, ada juga yang memakai cara tradisional dengan ‘neuleuk’, yakni pemanggang dari panci tahan api. Meski sederhana, cara tradisional ini diyakini mampu menghadirkan aroma khas yang membuat kue semakin istimewa.
Karena tidak menggunakan bahan pengawet, kue ‘adee’ hanya bisa bertahan sekitar empat hari. Justru inilah yang membuatnya terasa lebih alami dan sehat untuk dikonsumsi.
Selain kue adee Kak Nah, di sepanjang Meureudu banyak juga kios lain yang menjual kue serupa dengan merek berbeda, seperti Adee Kak Mah, Adee Kak Aina, Adee Kak Fatimah, bahkan Adee Kak Na (hanya beda satu huruf). Ketika saya turun dari mobil, sempat merasa bingung karena di kiri-kanan jalan berjejer papan nama dengan tulisan yang hampir sama.
Perasaan bingung itu segera hilang setelah melihat senyuman ramah para penjaga toko. Mereka tidak hanya menjual kue, tetapi juga menyajikan keramahan yang menjadi ciri khas Aceh.
Seorang pengunjung lain yang kami temui di gerai mengatakan bahwa ia selalu membeli kue adee Kak Nah setiap kali bepergian dari Medan ke Banda Aceh. “Kalau lewat Pidie Jaya, rasanya tidak lengkap kalau tidak singgah beli kue ini. Anak-anak di rumah sudah menunggu,” katanya sambil memasukkan beberapa kotak kue ke dalam mobilnya.
Kue ‘adee’ kini tidak hanya menjadi camilan sehari-hari, tetapi juga sudah menjelma menjadi ikon kuliner Aceh. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang tertarik mencicipinya.
Menurut informasi dari Dinas Kesehatan Aceh Jaya, hampir semua merek kue ‘adee’ di Pidie Jaya sudah memiliki izin BBPOM sehingga aman untuk dikonsumsi. Hal ini tentu memberikan jaminan bagi pembeli, baik dari segi kesehatan maupun kualitas.
Bagi masyarakat sekitar, industri rumahan kue ‘adee’ ini juga membawa dampak ekonomi yang signifikan. Banyak warga yang terlibat, mulai dari proses produksi, pengemasan, hingga penjualan. Dengan adanya permintaan yang terus meningkat, usaha ini mampu menyejahterakan keluarga-keluarga di Pidie Jaya, terutama di Kecamatan Meureudu.
Setelah membeli dua kotak kue adee Kak Nah, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Aroma harum kue memenuhi mobil, membuat kami tidak sabar untuk segera mencicipinya. Namun, umi berpesan agar kue itu disimpan dulu karena akan dibawa sebagai oleh-oleh untuk ‘Yah Nek’ dan bunda di Banda Aceh.
Perjalanan pun berlanjut dengan hati gembira. Di balik perjalanan kami yang penuh tujuan penting, ada satu kenangan kecil, tetapi manis, yang akan selalu teringat: singgah di Meureudu untuk membeli kue adee Kak Nah.
Sebuah pengalaman sederhana, tetapi sarat makna tentang bagaimana sebuah kue tradisional mampu menjadi pengikat kenangan bagi siapa saja yang melewati Pidie Jaya.
Kini, setiap kali mendengar nama kue ‘adee’, pikiran saya langsung teringat pada suasana pagi itu. Jalanan yang tenang, kios-kios sederhana dengan papan nama mencolok, aroma wangi bikang panggang, serta senyum ramah para penjaga toko. Semua itu menjadikan perjalanan kami bukan hanya sekadar menuju Banda Aceh, tetapi juga sebuah perjalanan rasa menuju kekayaan kuliner Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.