KUPI BEUNGOH
Menjaga Semangat Helsinki, Menjamin Keadilan OTSUS Aceh
Tanpa MoU ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tak mungkin lahir.
Bencana yang menewaskan lebih dari 160 ribu jiwa itu membuka jalan bagi diplomasi perdamaian.
Melalui proses perundingan melelahkan di berbagai tempat, akhirnya lahirlah MoU Helsinki.
Kesepakatan itu bukan sekadar dokumen, tetapi kontrak moral antara negara dan rakyat Aceh untuk menutup babak konflik.
Dari MoU itulah lahir UUPA 2006, sebuah undang-undang yang memberi ruang istimewa bagi Aceh: hak mendirikan partai lokal, pengelolaan pendidikan berbasis syariat, hingga alokasi dana otonomi khusus. Kekhususan ini adalah rekognisi negara terhadap martabat Aceh dan pondasi menjaga perdamaian.
Evaluasi Dua Dekade dan Tantangan Otsus
Namun, perjalanan hampir dua dekade UUPA menghadirkan capaian yang bercampur dengan kelemahan.
Beberapa kewenangan sulit diwujudkan, seperti hak Aceh memperoleh pinjaman luar negeri tanpa persetujuan Bank Indonesia, atau pengelolaan bandara dan pelabuhan secara penuh.
Simbol politik seperti bendera daerah justru menjadi polemik panjang.
Di bidang keuangan, Aceh telah menerima lebih dari Rp99 triliun dana Otsus. Namun realitas di lapangan menunjukkan jurang yang lebar antara besarnya dana dan capaian pembangunan.
Indeks pembangunan manusia memang meningkat, tetapi Aceh tetap menjadi salah satu provinsi termiskin di Sumatera. Kasus korupsi yang menjerat pejabat tinggi membuktikan lemahnya tata kelola.
Lebih menyedihkan, instrumen penting yang dijanjikan UUPA seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta Pengadilan HAM Aceh tidak pernah benar-benar terwujud. Padahal keduanya penting untuk menyembuhkan luka sejarah.
Akibatnya, transisi perdamaian belum sepenuhnya menyentuh ranah keadilan transisional.
Sementara itu, Pasal 183 UUPA menyebut dana Otsus Aceh hanya berlaku selama 20 tahun sejak 2008, yang berarti berakhir pada 2027.
Jika tidak diperpanjang, Aceh akan kehilangan instrumen strategis untuk pembangunan.
Di sisi lain, Papua melalui UU No. 2 Tahun 2021 telah mendapatkan kepastian dana Otsus tanpa batas waktu sebesar 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum nasional, dengan pengawasan lebih ketat dan berbasis kebutuhan masyarakat adat.
Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa Aceh dan Papua, yang sama-sama memiliki kekhususan konstitusional berdasarkan Pasal 18B UUD 1945, diperlakukan berbeda dalam hal Otsus? Apakah adil jika Papua diberi kepastian tanpa batas, sementara Aceh dibatasi waktu?
Momentum Revisi dan Jalan ke Depan
Dari Aceh Untuk Indonesia dan Dunia: Ajarkan Sejarah Aceh Dalam Muatan Lokal di Sekolah |
![]() |
---|
Kolegium Kesehatan Antara Regulasi dan Independensi |
![]() |
---|
Revisi UUPA, Pengkhianatan di Balik Meja Legislatif yang Menjajah Hak Rakyat Aceh |
![]() |
---|
Baitul Mal Aceh: Masihkah Menjadi Lentera Umat? |
![]() |
---|
September Pendidikan Aceh: Hardikda, Darussalam, dan Jejak Abadi Prof. Safwan Idris |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.