Pojok Humam Hamid

Kekonyolan Bobby dan “Hikayat Ketergantungan”: Yunnan, Bihar, Minas Gerais, dan Aceh

Kekonyolan Bobby hanyalah pantulan kecil dari cermin besar tentang bagaimana posisi Aceh selama ini dalam struktur ekonomi regional.

Editor: Subur Dani
For Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

PADA akhir September 2025, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution tiba-tiba muncul dalam razia truk berpelat BL asal Aceh di kawasan Langkat. 

Aksi teatrikal yang mungkin tampak tegas di mata sebagian orang itu akhirnya justru menjadi bumerang. 

Tak lama setelahnya, Pemerintah Provinsi Sumut minta maaf secara resmi. 

Tapi jauh sebelum permintaan maaf itu disampaikan, Aceh sebetulnya sudah terlanjur membaca pesan di balik aksi Bobby, yang dia pun tak tahu sebenarnya.

Pesan simbolik yang harusnya disadar sendiri oleh rakyat Aceh adalah, bahwa Aceh belum berdaulat atas dirinya sendiri, bahkan untuk urusan distribusi logistik barang-barangnya sendiri.

Baca juga: Gubsu Bobby Perintahkan Kepala Daerah di Sumut Data Kendaraan Operasional Non Plat BK dan BB

Kekonyolan Bobby hanyalah pantulan kecil dari cermin besar tentang bagaimana posisi Aceh selama ini dalam struktur ekonomi regional.

Aceh Bergantung pada Medan

Aceh tak lebih sebagai wilayah periphery-pinggiran, yang bergantung pada Medan—sebuah pusat distribusi dan logistik yang sudah sejak masa kolonial Belanda menyedot nilai dari sekelilingnya. 

Fenomena ini tidak unik bagi Aceh

Banyak wilayah lain di dunia yang kaya sumber daya, namun terjebak dalam relasi ketergantungan internal dengan pusat-pusat kekuasaan ekonomi nasional. 

Dan selama pusat-pusat itu tumbuh lewat penyedotan nilai dari pinggiran, maka wilayah pinggiran akan terus terjepit dalam stagnasi, meski kaya, meski istimewa.

Aceh tidak berdaya bukan karena Sumut terlalu kuat, tapi karena Aceh belum membangun jalan keluar dari pola warisan ekonomi kolonial internal itu. 

Truk berpelat BL yang “dicegat” di jalan raya itu hanyalah simbol kecil dari betapa lemahnya kedaulatan logistik Aceh

Lebih ironis lagi, sebagian warga Aceh bahkan merasa lebih aman mengganti pelat kendaraan ke BK—seolah Medan adalah ibukota yang harus dihormati, meskipun Aceh telah diberikan status istimewa, anggaran besar, dan hak otonomi yang luas.

Namun pertanyaannya bukan lagi siapa yang salah. 

Yang penting adalah mengapa Aceh masih terjebak, dan bagaimana keluar darinya. 

Karena kalau dibiarkan, kita akan terus hidup di dalam satu episode panjang dari apa yang seharusnya sudah menjadi sejarah.

Yang dimaksud adalah ketergantungan internal yang dipelihara oleh kelemahan struktural dan minimnya imajinasi strategis.

Lihatlah Riau. Pada era 1980-an, provinsi ini menyadari bahwa menggantungkan ekspor dan logistik ke Belawan adalah perangkap. 

Maka mereka membangun Dumai dari nol. Kota kecil pelabuhan yang dulu ditertawakan itu kini menjelma sebagai salah satu pelabuhan ekspor CPO terbesar di Sumatera. 

Bahkan daerah-daerah Sumut bagian Timur pun yang dulu dilayani Belawan kini lebih memilih Dumai. 

Riau telah membebaskan dirinya dari rantai logistik internal yang timpang.

Sumatera Barat juga memilih jalan sendiri. 

Teluk Bayur dikembangkan untuk memperkuat kedaulatan distribusi mereka. Kini, Padang tidak lagi terlalu bergantung pada Medan, dan konektivitas Sumbar mengarah ke berbagai pelabuhan domestik dan internasional.

Potensi Aceh Sangat Besar

Aceh belum melakukan itu. 

Potensi kelapa sawit di pantai barat-selatan, dari Nagan Raya hingga Aceh Singkil, belum dijadikan platform pembangunan ekonomi logistik mandiri. 

Begitu pula potensi pelabuhan di pantai timur—Krueng Geukuh, Krueng Raya, bahkan Sabang—masih hidup setengah hati. 

Padahal, bila Aceh mengintegrasikan kekuatan logistik dari dua pantainya—barat dan timur—maka yang terbentuk bukan sekadar pelabuhan ekspor, tapi sistem konektivitas laut yang dapat mengubah peta ekonomi Sumatera.

Tak ada salahnya memusatkan ekspor kelapa sawit dan turunannya ke pelabuhan khusus di barat. 

Selanjutnya pelabuhan di timur harus diberdayakan bukan hanya sebagai pelengkap, tapi sebagai pangkal utama dalam jaringan pelayaran Selat Malaka. 

Pelabuhan seperti Krueng Geukuh, misalnya, memiliki potensi besar sebagai titik logistik regional. 

Apalagi seluruh pelabuhan ini berada dalam kepemilikan daerah, seperti diakui oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA No. 11). 

Dengan status ini, Aceh berhak dan layak mencari mitra global dalam membangun sistem pelabuhan kelas dunia. 

Ada banyak model kemitraan logistik internasional yang bisa diadaptasi.

Transformasi logistik ini adalah langkah strategis yang harus diambil Aceh, bila tidak ingin terus menjadi “provinsi pengantar barang” bagi pelabuhan orang lain. 

Kita tidak boleh puas hanya mengantarkan CPO ke Belawan, lalu membiarkan nilai tambah ekonominya pergi ke tempat lain. 

Kekayaan Aceh harus keluar dari pelabuhan Aceh

Kuncinya bukan hanya pada infrastruktur, tapi keberanian politik untuk menentukan arah pembangunan secara mandiri.

Belajar dari Negara Lain

Pengalaman daerah lain di dunia bisa memberi kita pelajaran penting. 

Yunnan di Tiongkok, contohnya. 

Provinsi ini lama dianggap pinggiran oleh pusat kekuasaan di Beijing dan Shanghai. 

Letaknya jauh, infrastruktur buruk, dan konektivitas rendah. 

Tapi Yunnan memiliki satu hal yang akhirnya mengubah nasibnya, geografi. 

Ia berbatasan langsung dengan Asia Tenggara. Beijing menyadari bahwa jika Yunnan dibangun sebagai hub perdagangan darat dan rel kereta ke Laos, Myanmar, dan Vietnam, maka ia bisa menjadi pusat gravitasi baru. 

Dalam dua dekade terakhir, Yunnan berubah dari wilayah agraris tertinggal menjadi simpul logistik dan perdagangan lintas negara.

Kisah Bihar di India bahkan lebih menarik. 

Bihar pernah menjadi pusat kebudayaan, sumber mineral, dan salah satu provinsi terkaya di India selama era kolonial. 
Tapi pascakemerdekaan, Bihar terjebak dalam politik internal yang korup, ketimpangan struktural, dan akses buruk ke pusat perdagangan. 

Ia menjadi provinsi termiskin dan tertinggal di India. 

Namun perubahan terjadi ketika negara bagian itu mulai berfokus pada reformasi infrastruktur dan manajemen publik. 

Pelabuhan kering-dry port, jalan baru, dan sistem distribusi regional dibangun. Kini, meski belum sepesat Gujarat atau Maharashtra, Bihar perlahan membalikkan citranya dari provinsi terbelakang menjadi propinsi maju

Brasil punya cerita menarik lewat Minas Gerais. 

Dulunya pusat pertambangan emas dan berlian sejak masa kolonial Portugis, wilayah ini tumbuh pesat tetapi tidak merata. 

Baca juga: Gubernur Sumut Minta Jangan ‘Panas-panasin’ soal 4 Pulau: Nanti Warga Anti Liat Plat BK dan BL

Minas terlalu bergantung pada pusat-pusat logistik seperti São Paulo dan pelabuhan di Rio de Janeiro. 

Ketika pemerintah negara bagian memutuskan untuk membangun jalur kereta barang sendiri, memperkuat pelabuhan di tenggara, dan mendorong pengolahan hasil tambang di dalam wilayah, Minas mulai membangun kemandiriannya. 

Bahkan ia kini dikenal sebagai salah satu pusat industri dan teknologi energi alternatif di Brasil.

Yunnan, Bihar, dan Minas Gerais punya satu kesamaan, mereka tidak menunggu pusat untuk menyelamatkan mereka. 

Mereka membangun sistem logistik, industri, dan konektivitas yang berpihak pada wilayah mereka sendiri. 

Aceh Bisa dan Harus

Aceh bisa, dan harus, melakukan hal yang sama. 

Sudah saatnya Aceh berhenti menggantungkan distribusi barang dan akses ekonomi pada Medan. 

Saatnya membangun dua sisi pantai menjadi dua sayap kekuatan ekonomi yang saling melengkapi.

Pemerintah propinsi harus segera mengambil keputusan strategis, pilih pelabuhan utama untuk barat dan timur. 

Jangan semua “dibagi rata tapi tidak hidup.” 

Lakukan kajian komprehensif, ajak mitra global, dan fokus. 
Jangan takut ditertawakan seperti Riau saat mulai membangun Dumai. 

Hari ini, yang tertawa adalah mereka yang percaya pada dirinya sendiri, bukan mereka yang meminta izin pada center-pusat, dalam ha ini Sumut.

Jika Bobby Nasution ingin jadi aktor panggung logistik, biarkan. 

Yang lebih penting, Aceh harus segera menyadari, kita bisa keluar dari ketergantungan ini. 

Tapi hanya jika kita bangun dari tidur panjang kita sendiri.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved