Breaking News

Opini

Milad UIN Ar-Raniry: Mengawal Nilai Keislaman dalam Kurikulum

Usia yang matang bagi sebuah perguruan tinggi yang sejak awal berdirinya menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh dan umat Islam Indonesia.

|
Editor: mufti
IST
Dr Abdul Wahid Arsyad MAg, Dosen Prodi Ilmu Hadis dan Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry 

Abdul Wahid Arsyad, Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry

SETIAP kali sebuah institusi pendidikan tinggi merayakan hari lahirnya, tentu ada refleksi yang perlu dilakukan. Begitu pula dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, yang pada tahun 2025 ini menapaki usia ke-58. Usia yang matang bagi sebuah perguruan tinggi yang sejak awal berdirinya menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh dan umat Islam Indonesia. Perjalanan panjang yang penuh dinamika itu tidak semata-mata soal fisik bangunan, status kelembagaan, atau akreditasi, melainkan juga tentang bagaimana perguruan tinggi ini menjaga amanah para pendirinya: mendidik generasi yang cerdas, berilmu, menguasai sains dan teknologi, namun tetap terjaga nilai-nilai keislamannya.

Momentum ulang tahun ini ibarat sebuah kado yang tidak selalu berupa benda, melainkan berupa kesadaran baru. Kesadaran bahwa kurikulum sebagai jantung perguruan tinggi harus dijaga, dipelihara, dan diarahkan sesuai visi keislaman yang menjadi penciri utama. UIN Ar-Raniry, sebagaimana UIN lain di Indonesia, lahir dari semangat para pejuang pendidikan Islam yang ingin menghadirkan kampus modern dengan ciri khas keilmuan Islam. Ia bukanlah sekadar lembaga pendidikan tinggi umum, tetapi sebuah universitas yang dalam setiap denyutnya membawa nilai dakwah, syiar, dan pencerahan.

Karena itu, kurikulum bukan hanya sekumpulan mata kuliah yang disusun agar mahasiswa memperoleh gelar, tetapi juga sebuah peta jalan agar mereka lahir sebagai cendekiawan muslim yang berakhlak mulia. Di sinilah pentingnya mata kuliah penciri perguruan tinggi Islam seperti Studi al-Qur’an, Studi Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Sejarah Peradaban Islam, Aqidah, Tasawuf, dan sejenisnya. Mata kuliah ini adalah pondasi yang membedakan UIN dari perguruan tinggi umum.

Cita-cita pendidikan Islam

Sejarah pendirian IAIN, yang kemudian bertransformasi menjadi UIN, tidak lepas dari cita-cita besar para ulama, cendekiawan, dan pejuang bangsa. Mereka menyadari bahwa Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia membutuhkan lembaga pendidikan tinggi yang mampu melahirkan generasi berwawasan luas, tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tetapi juga sains, teknologi, dan ilmu sosial modern.

Namun, cita-cita itu tidak pernah bermakna meninggalkan akar keislaman. Justru keunggulan perguruan tinggi Islam terletak pada kemampuannya mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu umum. Karena itu, menghilangkan mata kuliah inti keislaman dari kurikulum sama saja dengan mengabaikan amanah sejarah. Para pendiri kampus Islam telah menitipkan pesan agar generasi bangsa tidak tercerabut dari tradisi keilmuannya, meski zaman berubah.

Hari ini kita hidup di tengah era globalisasi, kecerdasan buatan, dan transformasi digital yang begitu cepat. Perguruan tinggi dituntut melahirkan lulusan yang adaptif, inovatif, dan kompetitif. Di sisi lain, arus sekularisasi dan pragmatisme dalam pendidikan seringkali mengikis identitas lembaga Islam. Jika UIN hanya menekankan aspek keilmuan umum seperti ekonomi, teknik, atau teknologi tanpa menyeimbangkannya dengan basis ilmu Islam, maka ia akan kehilangan keunikannya.

UIN tidak lagi berbeda dengan universitas negeri umum lainnya. Padahal, kompetensi ganda adalah kunci: lulusan yang menguasai ilmu modern sekaligus kokoh nilai keislamannya. Mahasiswa kedokteran UIN harus tetap memahami etika medis dari perspektif Islam. Mahasiswa ilmu komputer perlu memahami bagaimana algoritma digunakan dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah. Mahasiswa ekonomi wajib memahami fiqh muamalah sehingga tidak terjebak pada sistem riba. Semua itu hanya mungkin jika kurikulum Islam tetap dijaga.

Mengurangi atau bahkan menghapus mata kuliah inti keislaman dari kurikulum sama saja membuka jalan bagi krisis identitas. Pertama, mahasiswa akan kehilangan pegangan nilai ketika menghadapi dilema moral di tengah perkembangan ilmu dan teknologi. Kedua, UIN tidak lagi berbeda dengan universitas umum.

Ketiga, masyarakat kehilangan kepercayaan karena kampus Islam tidak lagi mencerminkan Islam. Lebih jauh, generasi yang lahir dari kurikulum yang kering nilai keislaman akan rapuh secara spiritual. Mereka mungkin pintar, tetapi tidak berkarakter. Mereka mungkin ahli teknologi, tetapi tidak beretika. Mereka mungkin sarjana, tetapi jauh dari semangat keadilan, kejujuran, dan amanah yang ditekankan Islam.

Namun tentu kita tidak menolak perubahan. Kurikulum harus selalu dikaji ulang agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Yang perlu ditegaskan adalah arah perubahan: bukan menghapus nilai keislaman, melainkan mengintegrasikannya dengan ilmu modern. Konsep integrasi ilmu ini sudah lama digagas: al-Qur’an sebagai sumber inspirasi sains, hadis sebagai panduan etika penelitian, fiqh sebagai kerangka hukum dalam transaksi kontemporer, dan sejarah peradaban Islam sebagai cermin inovasi. Dengan integrasi ini, mahasiswa tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga sehat moralnya.

Komitmen baru

Di ulang tahun ke-58 ini, kado terbaik bagi UIN Ar-Raniry adalah komitmen baru dari semua pihak: pimpinan, dosen, mahasiswa, alumni, bahkan pemerintah, untuk menjaga agar nilai keislaman tetap hidup dalam kurikulum. Kurikulum yang kokoh pada nilai Islam akan menjadi benteng menghadapi krisis moral global. Ia juga menjadi pembeda yang membuat UIN tetap relevan di hati umat. Karena itu, para pengambil kebijakan perlu berani menolak godaan sekularisasi pendidikan. Jangan sampai kurikulum UIN menjadi kurikulum kering ruhani.

Mahasiswa sebagai subjek utama pendidikan juga harus memahami pentingnya mata kuliah Islam. Jangan menganggapnya beban, tetapi pandanglah sebagai bekal hidup. Begitu pula dosen, mereka perlu menghadirkan pembelajaran yang kreatif sehingga mata kuliah Islam tidak sekadar teori, tetapi aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Studi Hadis tidak hanya mengkaji sanad, tetapi juga bagaimana hadis membimbing etika digital. Fiqh tidak sekadar hukum klasik, tetapi juga aplikasi dalam dunia keuangan modern. Sejarah peradaban Islam tidak berhenti pada kisah, tetapi menjadi inspirasi inovasi.

Menatap masa depan

UIN Ar-Raniry harus tampil sebagai kampus yang tidak saja unggul dalam riset dan publikasi internasional, tetapi juga konsisten menjaga identitas Islam. Dunia akan menghargai perguruan tinggi yang mampu memadukan kecanggihan teknologi dengan nilai spiritual. Itulah nilai lebih yang tidak dimiliki universitas lain.

Dengan menjaga kurikulum keislaman, UIN tidak hanya melahirkan sarjana, tetapi juga ulama intelektual—orang yang menguasai ilmu pengetahuan, tetapi hatinya tetap tunduk kepada Allah. Itulah yang dibutuhkan Indonesia di masa depan: pemimpin yang cerdas sekaligus berintegritas, ilmuwan yang brilian sekaligus berakhlak, teknolog yang inovatif sekaligus beretika.

Kado ultah UIN Ar-Raniry tahun 2025 ini bukanlah sekadar pesta atau seremoni. Kado itu berupa tekad kolektif untuk terus mengawal nilai keislaman dalam kurikulum. Mata kuliah penciri perguruan tinggi Islam tidak boleh dihapus, sebab di situlah terletak ruh UIN. Itulah amanah para pejuang yang mendirikan kampus ini, agar generasi muslim tidak hanya menjadi ahli sains, teknologi, dan ilmu modern, tetapi juga tetap terjaga keislamannya.

Ulang tahun ini menjadi pengingat bahwa jati diri perguruan tinggi Islam bukan pada status atau gedungnya, melainkan pada kurikulumnya. Maka mari kita jaga, kita kawal, dan kita wariskan kurikulum yang bernafaskan Islam sebagai kado terbaik untuk masa depan UIN Ar-Raniry, Aceh, Indonesia, dan umat Islam dunia.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved