Kupi Beungoh
Trans 7 Tidak Memahami Esensi Mulianya Tradisi Takzim kepada Guru di Pesantren
Nilai luhur ini kini semakin tergerus di tengah budaya populer modern yang sering kali menjadikan agama dan simbol keulamaan sebagai bahan lelucon.
Harus dipahami bahwa tradisi menghormati mereka bukanlah bentuk fanatisme, tetapi ekspresi syukur dan cinta terhadap orang-orang yang mengajarkan jalan menuju Allah.
Ketika media nasional seperti Trans7 menayangkan konten yang mendiskreditkan budaya takzim dan simbol keulamaan di pesantren, maka itu bukan hanya persoalan “salah tayang,” melainkan bentuk ignoransi budaya terhadap kekayaan nilai-nilai lokal Islam yang hidup di Nusantara.
Kita harus menyadari bahwa masyarakat muslim nusantara itu, apalagi kalangan santri, memiliki sensitivitas keagamaan yang tinggi.
Setiap tindakan atau tayangan yang menyinggung ulama bisa memicu keresahan sosial, karena ulama bagi masyarakat nusantara bukan sekadar tokoh agama, melainkan simbol kehormatan dan identitas kolektif.
Oleh sebab itu, media harus memahami konteks sosial-budaya Nusantara, khususnya nilai-nilai pesantren. Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menghina.
KPI Pusat bisa kita katakan sudah menegakkan fungsinya dengan meminta penghentian tayangan ini. Ya dalam batas apa yang bisa dilakukan oleh KPI.
Namun, perlu diingat bahwa pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dalam siaran publik tidak boleh ditoleransi atas nama hiburan.
Setiap konten media harus ditimbang dengan prinsip tanggung jawab sosial, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Di sana ditegaskan bahwa penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, dan kontrol sosial, serta berperan dalam membangun karakter bangsa. Jadi apa yang disiarkan Trans7 ini harus menjadi pelajaran bagi semua siaran Televisi.
Merawat Adab, Menjaga Marwah Keilmuan
Apa yang kita saksikan hari ini sejatinya adalah tanda terkikisnya adab dalam ruang publik. Masyarakat mulai terbiasa menertawakan hal-hal yang sakral, mengolok-olok simbol keagamaan, bahkan mempermainkan ulama. Padahal, ulama adalah penerus tugas para nabi. Rasulullah Saw bersabda:
“Al-‘ulamā’ waratsatul anbiyā’.” (Para ulama adalah pewaris para nabi). (HR. Abu Dawud).
Ketika warisan para nabi dihina, sejatinya kita sedang meruntuhkan tiang-tiang penyangga peradaban Islam. Inilah sebabnya mengapa adab terhadap guru menjadi sedemikian penting.
Dari sinilah lahir ulama yang arif, pemimpin yang adil, dan masyarakat yang berakhlak.
Pesantren-pesantren di Nusantara dengan sejarah ketokohan para ulamanya yang panjang, memiliki tanggung jawab besar untuk tetap menjadi pelopor dalam menjaga nilai takzim ini di tengah hilangnya tradisi ini di hampir semua lembaga pendidikan lainnya.
| Kisah Muliadi: SD di Tenda Biru, Dapat Beasiswa Double Degree dan Bisnis Valas sambil Kuliah di LN |
|
|---|
| Zakat Produktif: Dari Ibadah ke Kemandirian Umat |
|
|---|
| Shabira Zakiya Saifullah: Gen Z yang Mengubah Hobi Menjadi Paspor Menuju Negeri Gingseng |
|
|---|
| Dari Banda Aceh ke Al-Azhar: Perjalanan Panjang Prof. Azman Ismail, Imam Besar Baiturrahman |
|
|---|
| Usaha Keras Dr Ainal Mardhiah Mengubah Nasib, dari Lumpur Sawah ke Depan Mahasiswa di PTN Ternama |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.