Kupi Beungoh

Trans 7 Tidak Memahami Esensi Mulianya Tradisi Takzim kepada Guru di Pesantren

Nilai luhur ini kini semakin tergerus di tengah budaya populer modern yang sering kali menjadikan agama dan simbol keulamaan sebagai bahan lelucon. 

Editor: Agus Ramadhan
Tangkap Layar Youtube SERAMBINEWS
Dr Tgk Teuku Zulkhairi MA 

Pada dayah-dayah di Aceh, dan juga pesantren di Nusantara umuknya, takzim kepada guru adalah bagian dari napas kehidupan keagamaan masyarakat. 

Dalam lingkungan dayah, seorang santri tidak hanya belajar fikih, tafsir, atau tasawuf, tetapi juga berlatih menundukkan ego di hadapan gurunya. 

Duduk bersila ketika mendengar pelajaran, menundukkan pandangan saat guru berbicara, tidak berani mendahului bicara, bahkan menjaga isyarat tubuh agar tidak menyinggung—semuanya adalah latihan spiritual yang membentuk akhlak dan kesadaran diri.

Nilai ini berakar dari sabda Rasulullah Saw: "Laisa minnā man lam yuwaqqir kabīranā, wa lam yarham ṣaghīranā, wa lam ya‘rif li ‘āliminā ḥaqqah.”  Artinya, bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengenal hak ulama kami). (HR. Ahmad).

Hadis ini menjadi dasar bagi pendidikan adab di dunia pesantren. Jadi, takzim bukanlah kultus individu sebagaimana disalahpahami sebagian kalangan, termasuk siaran Trans7, melainkan bagian dari tata nilai Islam yang mengajarkan penghormatan terhadap ilmu dan pewarisnya. 

Para ulama menyebut bahwa adab adalah buah dari ilmu, dan ilmu tidak akan berbuah tanpa adab.

Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, banyak kisah menunjukkan betapa para ulama besar sangat menjaga adab kepada guru mereka. 

Imam Malik bin Anas, misalnya, dikenal sangat menghormati gurunya sampai-sampai tidak berani menaikkan suara di hadapan majelis ilmu. Ia berkata, “Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan belajar ilmu selama tujuh belas tahun.” 

Bagi Imam Malik, adab adalah jalan menuju pemahaman yang benar terhadap ilmu dan kehidupan.

Demikian pula dalam tradisi dayah Aceh, hubungan antara santri dan gurunya bukan sekadar hubungan akademik, tetapi ikatan spiritual. 

Seorang Kyai di Jawa atau teungku dayah di Aceh sejatinya bukan hanya berfungsi sebagai pendidik, tetapi juga pembimbing ruhani yang menanamkan nilai ikhlas, kesabaran, dan kebersihan hati. 

Karena itu, framing negatif dalam siaran Trans7 terhadap sosok Kyai/guru agama berarti juga penghinaan terhadap nilai-nilai suci yang selama ini menjadi fondasi moral masyarakat muslim Nusantara. 

Sehingga ketika serangan terhadap Kyai di Jawa dalam konteks takzim ini, kita akan memahami bahwa ini sebenarnya juga serangan kepada nilai-nilai pesantren di nusantara secara umum, dan khususnya nilai Islam masyarakat muslim Nusantara. 

Trans7 dan Hilangnya Sensitivitas Budaya Keagamaan

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menjaga marwah ulama. Para Kyai atau teungku bukan hanya pengajar, tetapi juga pemimpin masyarakat, penegak hukum adat, dan penjaga aqidah umat. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved