KUPI BEUNGOH
Membangun Ketangguhan Mental Sebelum Bencana Datang
Tanpa pemulihan psikologis yang tepat, proses rekonstruksi fisik bisa berjalan, tapi pemulihan manusia tidak sepenuhnya terjadi.
Oleh dr. Imam Maulana *)
Refleksi Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025: Akses Layanan Kesehatan Mental dalam Bencana dan Keadaan Darurat
Setiap kali bencana melanda, fokus kita sering tertuju pada kerusakan fisik: bangunan runtuh, korban luka, hingga kehilangan harta benda.
Namun ada satu dimensi yang sering tertinggal dalam upaya pemulihan yaitu kesehatan mental manusia yang terdampak.
Padahal, dampak psikologis akibat bencana dapat berlangsung jauh lebih lama dibanding luka fisik.
Rasa kehilangan, ketakutan, dan trauma pascabencana dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk bekerja, belajar, dan berinteraksi sosial.
Tanpa pemulihan psikologis yang tepat, proses rekonstruksi fisik bisa berjalan, tapi pemulihan manusia tidak sepenuhnya terjadi.
Tahun 2025, World Mental Health Day mengangkat tema “Akses Layanan Kesehatan Mental dalam Bencana dan Keadaan Darurat.”
Tema ini sangat relevan dengan konteks Indonesia yang notabene adalah negara dengan risiko bencana tinggi namun dengan akses layanan psikologis yang masih terbatas.
Kita perlu memahami bahwa ketangguhan bangsa tidak hanya ditentukan oleh kesiapan logistik dan infrastruktur, tetapi juga oleh kemampuan masyarakat untuk tetap tenang, berpikir jernih, dan saling menguatkan di tengah tekanan.
Ketangguhan Mental: Dimensi yang Sering Terlupakan
Dalam ilmu psikologi bencana, konsep resilience atau ketangguhan mental menggambarkan kemampuan individu dan komunitas untuk bangkit kembali setelah mengalami tekanan ekstrem.
Ini bukan sekadar “cepat move on,” tetapi kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi baru, menemukan makna, dan membangun kembali kehidupan dengan harapan.
Ketangguhan mental tidak lahir tiba-tiba ketika bencana datang.
Ia dibentuk melalui proses panjang mulai dari edukasi, pelatihan kesiapsiagaan, hingga kebiasaan sehat dalam mengelola stres.
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki coping skills dan dukungan sosial yang baik cenderung lebih cepat pulih dari trauma bencana.
Namun sayangnya, layanan kesehatan mental di Indonesia belum menjadi bagian utama dari sistem penanggulangan bencana.
Pendekatan yang dominan masih bersifat reaktif, baru bergerak setelah banyak korban mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Padahal, pendekatan preventif jauh lebih efektif dan hemat biaya dalam jangka panjang.
Kesehatan Mental Pra-Bencana: Investasi Ketangguhan
Sama seperti latihan evakuasi atau pembangunan tanggul, kesiapan mental juga perlu dilatih.
Literasi kesehatan mental pra-bencana dapat membantu masyarakat memahami reaksi emosional normal saat menghadapi krisis dan cara menanganinya.
Program pelatihan seperti Psychological First Aid (PFA) bagi guru, kader desa, dan relawan merupakan contoh nyata bagaimana kesiapsiagaan mental bisa dibangun sejak dini.
Mereka dilatih untuk mengenali tanda-tanda distress psikologis, memberikan dukungan emosional awal, serta menghubungkan korban dengan layanan profesional bila diperlukan.
Langkah-langkah kecil ini menciptakan buffer psikologis di tingkat komunitas.
Saat bencana datang, masyarakat tidak lagi merasa sendirian menghadapi ketakutan.
Mereka tahu harus ke mana mencari pertolongan, dan bagaimana menolong sesama tanpa memperparah trauma.
Ketimpangan Akses dan Stigma
Meskipun kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental mulai meningkat, masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses terhadap psikolog atau psikiater.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan rasio tenaga profesional kesehatan mental masih jauh di bawah standar WHO. Di daerah rawan bencana, situasinya bahkan lebih sulit.
Selain keterbatasan layanan, stigma sosial masih menjadi penghalang besar. Banyak masyarakat yang enggan mencari bantuan karena takut dicap “tidak kuat,” “kurang iman,” atau “gila.”
Padahal, gangguan psikologis adalah reaksi manusiawi terhadap tekanan ekstrem, bukan tanda kelemahan moral.
Perubahan paradigma diperlukan, menekankan bahwa membicarakan stres, cemas, atau kehilangan bukanlah aib, melainkan bagian dari proses adaptasi dan penyembuhan.
Kepemimpinan Empatik dan Sistem yang Inklusif
Pemerintah dan lembaga kebencanaan perlu memastikan bahwa kesehatan mental menjadi bagian dari rencana tanggap darurat nasional.
Setiap posko bencana idealnya dilengkapi tim psikososial yang bekerja berdampingan dengan tenaga medis.
Lebih jauh, peran pemimpin lokal dan tokoh masyarakat juga penting. Mereka adalah “agen legitimasi sosial” yang dapat membantu menghapus stigma dan mendorong warga untuk mencari pertolongan.
Ketika seorang kepala desa atau ulama setempat berbicara terbuka tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, pesan itu memiliki kekuatan luar biasa.
Teknologi juga dapat menjadi solusi memperluas akses.
Konseling daring, aplikasi kesehatan mental, dan kampanye digital tentang coping skills dapat membantu menjangkau masyarakat yang jauh dari pusat layanan kesehatan.
Menjaga Jiwa dalam Ketidakpastian
Dalam konteks bencana, menjaga kewarasan adalah bentuk kesiapsiagaan yang paling mendasar.
Tanpa kesiapan mental, sirene peringatan dini pun kehilangan maknanya. Karena pada akhirnya, yang menekan tombol evakuasi adalah manusia bukan mesin.
Membangun ketangguhan mental sebelum bencana datang berarti menanamkan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian dengan pikiran jernih dan hati kuat.
Ia adalah investasi jangka panjang yang menjaga kita tetap manusiawi di tengah krisis.
Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 adalah momentum untuk menegaskan bahwa pemulihan pascabencana sejatinya dimulai dari dalam diri manusia, dari jiwa yang kuat, empati yang hidup, dan sistem yang memberi ruang bagi penyembuhan.
Karena ketangguhan bangsa bukan diukur dari seberapa cepat kita membangun kembali gedung-gedung yang runtuh, melainkan dari seberapa dalam kita bisa memulihkan manusia yang hampir runtuh bersamanya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan USK, Direktur Eksekutif GEN-A, Duta Pemuda Indonesia 2025 Provinsi Aceh
| Antara Maklumat Ulama Aceh dan Resolusi jihad, Ada yang terlupakan? |
|
|---|
| Dari Kenya untuk Aceh: Solusi Tambang Ilegal Bukan Sekedar Penertiban |
|
|---|
| Hari Santri Nasional: Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Peradaban |
|
|---|
| Investasi Asing dan Paradoks Kemandirian Pangan Aceh |
|
|---|
| Mendiskusikan Perpustakaan yang Bukan Sekadar Bangunan |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.