Opini
Propaganda Hitam Medsos: Syariah Diserang, Riba Dibela
Menegakkan ekonomi syariah di Aceh amanah peradaban, bukan proyek sesaat. Jika masih ada kekurangan, tugas kita memperbaiki, bukan meruntuhkan.
Hal itu dinyatakan tegas dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 04/2000 dan No. 84/2012. Maka, menyamakan margin dengan bunga adalah kekeliruan fatal yang mencampuradukkan akad halal dengan praktik ribawi.
Kedua, cicilan tetap bukan riba. Klaim “jika cicilan tetap berarti sama dengan bunga” adalah propaganda dangkal yang menilai transaksi dari kulitnya saja. Cicilan tetap hanyalah mekanisme pembayaran, bukan sumber riba. Dalam fikih muamalah, status halal-haram ditentukan oleh akad, bukan format angsuran.
Selama harga disepakati sejak akad dan tidak ada tambahan zalim setelah akad, cicilan tetap halal berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 84/2012, SE BI No. 15/26/DPbS/2013, dan PSAK 102. Karena itu, menuduh cicilan tetap sebagai riba adalah kesalahan konseptual sekaligus penyesatan publik.
Ketiga, denda keterlambatan dalam bank syariah bukan riba. Berbeda dengan bank konvensional di mana denda keterlambatan menjadi keuntungan bank (riba jahiliah), dalam bank syariah, denda (ta‘zīr) bukan instrumen profit, melainkan sanksi moral agar akad tidak diselewengkan.
Baca juga: Berupaya Meninggalkan Riba
Bank syariah haram mengambil keuntungan dari denda (Fatwa DSN-MUI No. 17/2000) dan seluruh dana yang terkumpul wajib disalurkan ke dana sosial. Denda hanya boleh dikenakan kepada nasabah yang mampu tetapi sengaja menunda pembayaran (muta‘atti), bukan kepada yang benar-benar sulit atau terdampak musibah.
Bahkan, dalam kondisi kesulitan nyata (force majeure), bank wajib melakukan restrukturisasi dan dilarang menjatuhkan denda (Fatwa DSN-MUI No. 47/2005 dan No. 48/2005). Maka, menyamakan denda syariah dengan denda ribawi adalah fitnah yang memutarbalikkan fakta syariah.
Perlu dipahami bahwa LKS di Aceh bukan lembaga yang bisa beroperasi sesuka hati seperti dituduhkan, tetapi justru industri dengan pengawasan paling ketat di Indonesia. Setiap produk wajib berlandaskan fatwa DSN–MUI, operasional diawasi harian oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), seluruh pengembangan produk dan akad dikendalikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK No. 24/POJK.03/2015, dan di Aceh pengawasan syariah diperkuat lagi oleh DSA sesuai Qanun LKS No. 11/2018.
Dengan pengawasan syariah dan regulasi yang berlapis, tidak ada ruang bagi manipulasi akad atau penyimpangan syariah. Karena itu, tuduhan bahwa bank syariah “tanpa kontrol”, “sekadar ganti istilah,” atau “main syariah untuk tipu umat” bukan kritik—itu fitnah yang lahir dari minimnya literasi muamalah dan keberanian memutarbalikkan fakta.
Serangan terhadap LKS di Aceh bukan isu teknis perbankan, tetapi serangan terhadap pelaksanaan syariat Islam yang dijamin konstitusi. Sistem keuangan syariah adalah amanah UUPA dan bagian dari MoU Helsinki, sehingga Qanun LKS bukan aturan biasa, melainkan komitmen Aceh untuk membersihkan diri dari riba.
Karena itu, slogan seperti “lawan bank syariah” atau “kembalikan bank konvensional ke Aceh” bukan kritik, tetapi manuver terencana untuk melemahkan syariat—dan harus dihadapi dengan tegas dan argumentatif. Tuduhan seperti “bank syariah penipuan”, “alat menghisap darah rakyat kecil”, atau “kapitalisme berjubah agama” bukan kritik ilmiah, melainkan agitasi yang memprovokasi kebencian dan menyesatkan umat. Narasi semacam ini tidak berbasis ilmu, tidak memakai data, tidak melalui mekanisme resmi, dan tidak membawa solusi—murni propaganda destruktif yang merusak bangunan ekonomi syariah Aceh.
Aceh tidak anti kritik, tetapi menolak fitnah yang menyamar sebagai kritik. Kritik yang benar membawa argumen dan solusi, bukan caci maki dan provokasi. Karena itu pemerintah Aceh menyediakan jalur resmi untuk koreksi melalui DSA sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Pergub Aceh No. 56 Tahun 2020, yang memberi hak kepada masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran syariah oleh LKS dengan identitas jelas untuk diproses melalui audit syariah. Maka siapa pun yang hanya berteriak di media sosial tanpa menempuh mekanisme resmi patut dipertanyakan motifnya—apakah ingin memperbaiki atau sekadar mencari panggung provokasi.
Selain menyesatkan, kampanye anti-syariah ini memiliki konsekuensi hukum. Penyebarnya dapat dijerat UU ITE—penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran (Pasal 28 ayat 1), ujaran kebencian berbasis SARA termasuk terhadap syariat Islam (Pasal 28 ayat 2), fitnah dan pencemaran nama baik lembaga (Pasal 27 ayat 3)—serta Pasal 160 KUHP tentang penghasutan melawan kebijakan negara yang sah, termasuk Qanun LKS.
Karena itu, seruan seperti “bubarkan bank syariah” atau “tarik dana dari bank syariah” bukan kritik, tetapi provokasi yang mengancam pelaksanaan syariat dan stabilitas ekonomi Aceh. Narasi semacam ini tidak dapat berlindung di balik dalih kebebasan berpendapat dan dapat diproses secara hukum.
Menegakkan ekonomi syariah di Aceh adalah amanah peradaban, bukan proyek sesaat. Jika masih ada kekurangan, tugas kita adalah memperbaiki, bukan meruntuhkan. Jangan karena nila setitik susu sebelanga dibuang; jangan karena seekor lalat jatuh ke kuah beulangong, periuknya ditumpahkan. Syariat mengajarkan perbaikan, bukan pembatalan. Kaidah fikih menegaskan: mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu--jika belum mampu sempurna, jangan ditinggalkan seluruhnya, apalagi diganti dengan riba.
Penguatan ekonomi syariah menuntut kerja nyata, bukan slogan. LKS harus mempertegas transparansi akad, memperkuat tata kelola syariah, dan berpihak nyata pada sektor riil dan UMKM. DPS tidak boleh pasif; mereka wajib tampil ke publik meluruskan disinformasi dan menjelaskan akad secara ilmiah.
ekonomi syariah
riba
Bank Syariah
BSI
Bank Syariah Indonesia
Ketua Dewan Syariah Aceh
M Shabri Abd Majid
Ekonomi Syariah Vs Riba
Serambi Indonesia
Serambinews.com
| Aceh dalam Kacamata Pembangunan |
|
|---|
| Akselerasi Sarana Pendidikan, Jalan Cepat Dongkrak Mutu Belajar |
|
|---|
| Keynes dan Kegagalan Teori Klasik: Pelajaran Abadi dari Depresi Besar untuk Ekonomi Modern |
|
|---|
| Membangun Generasi Hijau Melalui Green Chemistry |
|
|---|
| Paradoks Ekonomi Aceh: Dana Besar, Kemiskinan tak Terurai, Sebuah Diagnosis dan Solusi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.