Jurnalisme Warga
IN MEMORIAM, Dr Samsulrizal sang Pendidik yang Mengayomi
DUNIA pendidikan Aceh kembali berduka. Kabar berpulangnya Dr. Drs. Samsulrizal, M.Kes., Dekan FKIP USK
Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
DUNIA pendidikan Aceh kembali berduka. Kabar berpulangnya Dr. Drs. Samsulrizal, M.Kes., Dekan FKIP Universitas Syiah Kuala (USK) pada pukul 02.20 WIB, 25 Oktober 2025, di Lambaro, Aceh Besar, meninggalkan luka yang dalam.
Beliau tidak hanya seorang dekan pada fakultas yang mahasiswanya terbanyak di USK, tetapi juga seorang mantan wakil bupati, atau seorang akademisi berderet gelar.
Di balik semua jabatan dan prestasi formal itu, tersembul sebuah jiwa yang lebih hakiki: seorang pendidik sejati yang mengayomi.
Kepergiannya adalah hilangnya sebuah mercusuar yang tidak hanya menerangi dengan ilmu, tetapi juga menghangatkan dengan ketulusan dan kepedulian.
Dalam ingatan banyak orang yang pernah berinteraksi dengannya, baik sebagai mahasiswa, kolega, maupun masyarakat biasa, Samsul hadir sebagai sosok yang lembut, tetapi tegas. Cerdas, tetapi rendah hati dan berwibawa, tetapi ramah.
Jejak sang Pembelajar
Perjalanan hidup Samsulrizal adalah sebuah narasi inspiratif tentang ketekunan. Lahir di Gampong Lambirah, Sukamakmur, Aceh Besar, pada 30 Januari 1967, ia adalah anak pertama dari 9 bersaudara.
Dari lingkungan yang sederhana, ia membangun fondasi pendidikannya di MAN Sungai Limpah, lalu melanjutkan ke MTsN Jeureula dan SMA Negeri Sibreh. Jejak ini menunjukkan akarnya yang kuat di tanah Aceh Besar.
Minatnya yang besar pada dunia pendidikan dan olahraga membawanya ke Jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi FKIP USK, tempat ia meraih sarjana pada 1991. Namun, rasa haus akan ilmu mendorongnya tidak berhenti di sana. Ia lanjutkan studi magister di Universitas Padjadjaran pada Jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan lulus pada 1996, sebuah lompatan disiplin ilmu yang menunjukkan keluasan wawasannya.
Pada 2017, Samsul menyempurnakan perjalanan akademisnya dengan meraih gelar doktor dalam Ilmu Olahraga di Universitas Negeri Semarang.
Perjalanan akademik yang panjang dan lintas disiplin ini tidak menjadikannya elitis. Justru, pengalaman dari bangku madrasah hingga meraih gelar doktor inilah yang mungkin membentuk perspektifnya tentang pendidikan: bahwa pendidikan haruslah inklusif, menyentuh semua lapisan, dan membumi.
Ia memahami betul bagaimana pendidikan dapat mengubah hidup seseorang karena ia sendiri telah mengalaminya. Demikian pula adik kandungnya, Prof Dr Mujiburrahman MAg yang kini menjabat Rektor UIN Ar-Raniry.
Pemimpin yang melayani
Penulis merasakan dari setiap berkomunikasi dengan beliau, jiwa pengayomannya terlihat jelas dalam dua peran strategisnya: sebagai Wakil Bupati Aceh Besar (2012-2017) dan sebagai Dekan FKIP USK (2021-2025).
Dua peran ini, meski berbeda konteks, memiliki benang merah yang sama: pelayanan.
Sebagai wakil bupati mendampingi Mukhlis Basyah, ia turun langsung menyentuh denyut nadi masyarakat Aceh Besar. Dalam dunia birokrasi yang sering kali kaku, Samsul dikenal dengan pendekatannya yang humanis. Kemampuannya mendengarkan dan berkomunikasi dengan semua kalangan membuatnya menjadi jembatan yang efektif antara pemerintah dan rakyat.
Pengalaman memimpin di tingkat daerah ini memberinya perspektif holistik tentang tantangan riil di lapangan, yang kemudian dibawanya kembali ke dunia kampus. Ia memahami bahwa pendidikan tidak boleh berjarak dari masalah-masalah kemasyarakatan.
Ketika memimpin FKIP USK, Samsul bukan hanya seorang administrator yang mengurusi administasi dan kurikulum. Ia adalah seorang "bapak" bagi seluruh civitas akademika.
Sebagai dekan, tugas terbesarnya adalah memastikan bahwa FKIP USK tidak hanya mencetak guru-guru yang pintar, tetapi juga guru-guru yang memiliki hati, yang peduli, dan yang mengayomi.
Dalam pandangannya, guru adalah ujung tombak peradaban. Seorang guru harus mampu menjadi teladan, bukan hanya dalam hal ilmu pengetahuan, melainkan juga dalam akhlak dan kepedulian sosial.
Sikap humanis dan kepeduliannya ini mungkin telah dipupuk sejak lama. Catatan bahwa ia pernah menjadi Wakil Ketua Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) USK pada era 1990-1992 di bawah kepemimpinan Apridar, menunjukkan bahwa jiwa kepemimpinan dan pengabdiannya telah terasah sejak muda.
Pengalaman di organisasi mahasiswa itu mengajarkannya arti representasi, perjuangan kolektif, dan tentu saja, mengayomi rekan-rekan seperjuangannya.
Pendidik yang mengayomi
Apa sesungguhnya makna "mengayomi" dalam konteks Samsulrizal? Mengayomi bukan berarti lemah atau selalu mengiyakan. Mengayomi adalah tentang memberikan rasa aman, membimbing dengan sabar, mendorong dengan motivasi, dan melindungi proses belajar plus tumbuh kembang anak didiknya.
Di ruang kuliah atau dalam rapat, Samsul hadir dengan senyum yang menenangkan. Ia mudah diajak bicara oleh siapa saja, dari mahasiswa semester awal hingga profesor senior, termasuk penulis sendiri.
Ia mendengarkan dengan saksama sebelum memberikan pendapat atau solusi. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, ketegasannya tidak menghilangkan sisi empatinya. Ia mampu mengambil keputusan sulit tanpa harus menyakiti hati.
Sebagai seorang yang berlatar belakang ilmu keolahragaan dan kesehatan, ia memahami bahwa pendidikan adalah tentang membangun manusia seutuhnya “mens sana in corpore sano”, jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat. Pendekatannya terhadap pendidikan jasmani pasti melampaui sekadar latihan fisik, tetapi juga membangun karakter, disiplin, kerja sama tim, dan sportivitas. Nilai-nilai inilah yang coba ditanamkannya dalam kepemimpinan di FKIP.
Dalam masa kepemimpinannya yang singkat di FKIP (2021-2025), ia mewarisi tantangan besar: memulihkan proses pendidikan pascapandemi dan memastikan kualitas calon guru tetap terjaga di era disrupsi.
Di tengah arus deras teknologi yang mendisrupsi pendidikan, peran guru sebagai pengayom justru semakin krusial. Teknologi bisa menggantikan banyak hal, tetapi tidak bisa menggantikan sentuhan manusiawi seorang guru yang peduli, yang mampu memahami bahasa tubuh murid yang sedang sedih, atau memberikan semangat dengan tatapan tulus. Samsulrizal adalah representasi dari guru yang seperti itu.
Menjadi penerang
Kepergian Dr Samsulrizal MKes adalah sebuah akhir dari sebuah babak, tetapi bukan akhir dari cerita. Warisan terbesarnya bukan pada gelar akademik yang mentereng, bukan pada jabatan yang pernah diemban, tetapi pada teladan hidup yang ia tinggalkan.
Ia meninggalkan warisan tentang pentingnya integritas dalam birokrasi dan akademik. Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin bisa tetap rendah hati dan dekat dengan yang dipimpinnya.
Samsul membuktikan bahwa kecerdasan intelektual harus berjalan beriringan dengan kecerdasan emosional dan spiritual.
Bagi FKIP USK, kepergiannya adalah tantangan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan pendidikan yang mengayomi. Spiritnya harus terus hidup dalam setiap kebijakan, dalam interaksi dosen dan mahasiswa, juga dalam visi mencetak guru-guru masa depan Aceh.
Sebagai penutup, dunia mungkin mengenang Samsulrizal sebagai seorang akademisi dan birokrat yang sukses. Namun, bagi mereka yang pernah merasakan hangatnya bimbingannya, kedalaman perhatiannya, dan ketulusan senyumnya, ia akan selalu dikenang sebagai sang Pendidik yang Mengayomi.
Sebuah pepatah Afrika mengatakan, "Seorang tua yang wafat adalah seperti sebuah perpustakaan yang terbakar." Kepergian Samsulrizal terasa persis seperti itu—sebuah khazanah ilmu, kebijaksanaan, dan kemanusiaan yang telah pergi— meninggalkan kita dengan kenangan dan tanggung jawab untuk melanjutkan apa yang telah ia rintis.
Selamat jalan Guru, yang berpulang dalam perjuangan menuju USK 1. Namun, takdir berkata lain.
Terima kasih untuk segala teladan. Semoga amal ibadah dan pengabdianmu diterima di sisi-Nya. Amin.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.