Opini

Belajar dari Hokkaido untuk Aceh Tangguh Bencana

Hokkaido, sebagai salah satu wilayah paling rawan gempa di Jepang, yang telah membuktikan diri sebagai model ketahanan dan resiliensi.

|
Editor: mufti
IST
RAHMATUN FAUZA, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB University/Awardee Beasiswa BPSDM Aceh 

Beliau juga menjelaskan melalui hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa di wilayah yang masyarakatnya aktif terlibat dalam perencanaan ulang, baik dalam memilih lokasi hunian sementara, menyusun skema relokasi, maupun dalam pengambilan keputusan terkait infrastruktur, rekonstruksi berjalan lebih cepat dan berkelanjutan. Sebaliknya, di daerah yang masyarakatnya kurang terlibat, banyak proyek gagal atau stagnan karena muncul resistensi atau keengganan untuk kembali.

Beberapa masyarakat bahkan memilih untuk berpindah ke kota besar dan tidak kembali ke kampung halamannya.

Situasi seperti ini tidak asing di Aceh. Pasca bencana tsunami 2004, berbagai upaya rekonstruksi dilakukan, yang sebagian besar didukung oleh lembaga internasional dan pemerintah pusat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun kembali hunian untuk masyarakat terdampak dan program ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat (community-based housing reconstruction), contohnya melalui program RekomPak dan berbagai inisiatif rekonstruksi lainnya.

Dalam hal ini, partisipasi masyarakat memegang peranan penting, seperti dalam perencanaan, penentuan lokasi hunian. Namun di beberapa wilayah, masyarakat yang lebih memilih untuk kembali ke lokasi asalnya meskipun lebih rawan, dibandingkan harus direlokasi ke tempat yang lebih aman karena mata pencaharian mereka yang sebagian besar bergantung pada sektor perikanan.

Simulasi bencana

Hokkaido juga memberikan pelajaran penting tentang resiliensi sosial. Di Jepang, pendidikan kebencanaan diberikan sejak usia dini. Anak-anak sekolah mengikuti simulasi evakuasi secara rutin, memahami peta risiko di lingkungan tempat tinggal, dan terbiasa berperan aktif dalam simulasi kebencanaan. Masyarakat umum juga mendapatkan sosialisasi yang melibatkan seluruh lapisan, termasuk lansia dan penyandang disabilitas.

Praktik ini membentuk budaya kesiapsiagaan bagi masyarakat, terutama generasi muda. Bentuk kesiapan ini tidak dilihat sebagai respons terhadap trauma, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Di Indonesia, termasuk di Aceh, pendekatan ini masih bersifat seremonial dan belum dilaksanakan secara konsisten. Sekolah-sekolah terlihat belum konsisten melakukan simulasi evakuasi, dan pendidikan kebencanaan pun belum masuk dalam kurikulum sebagai muatan wajib.

Padahal, untuk membentuk masyarakat yang tangguh dapat dimulai dari pemahaman kolektif sejak dini. Belajar dari Hokkaido bukan berarti meniru secara keseluruhan. Secara konteks sosial, budaya, dan sistem pemerintahan, kedua wilayah ini jelas berbeda. Namun, prinsip dasarnya adalah partisipasi masyarakat, perencanaan berbasis risiko, edukasi kebencanaan, dan rekonstruksi inklusif dapat diadopsi dan diadaptasi.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved