Breaking News

Opini

Belajar dari Hokkaido untuk Aceh Tangguh Bencana

Hokkaido, sebagai salah satu wilayah paling rawan gempa di Jepang, yang telah membuktikan diri sebagai model ketahanan dan resiliensi.

|
Editor: mufti
IST
RAHMATUN FAUZA, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB University/Awardee Beasiswa BPSDM Aceh 

Rahmatun Fauza, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB University/Awardee Beasiswa BPSDM Aceh

SUDAH lebih dari dua dekade berlalu sejak Aceh mengalami salah satu bencana paling berdampak besar terhadap global, yaitu gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004. Peristiwa tersebut bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga titik balik dalam pembangunan wilayah Aceh.

Ratusan ribu nyawa hilang, banyak masyarakat yang mengungsi, dan infrastruktur hancur seketika.
Namun di balik kehancuran tersebut, Aceh menjadi wadah pembelajaran bagi dunia dalam hal rekonstruksi pasca bencana serta perubahan pola sosial dan struktur masyarakat. Kini, setelah waktu yang cukup lama berlalu, muncul pertanyaan terkait bagaimana Aceh dalam mempersiapkan diri sebagai wilayah dengan masyarakat yang tangguh bencana.

Beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan mengikuti kegiatan Summer Course OGGs-PARE Program yang diselenggarakan di Hokkaido University, Jepang. Kesempatan ini juga memberi ruang berharga untuk berdiskusi dengan seorang profesor ahli sosiologi lingkungan dan pembangunan.

Perencanaan tata ruang

Hokkaido, sebagai salah satu wilayah paling rawan gempa di Jepang, yang telah membuktikan diri sebagai model ketahanan dan resiliensi. Pengalaman dan pelajaran dari sana menawarkan pelajaran penting bagi Aceh dan wilayah lain di Indonesia.

Jepang dikenal secara global sebagai negara yang memiliki manajemen bencana yang sangat baik. Sistem peringatan dini yang terintegrasi, respons cepat berbasis komunitas, dan pendekatan perencanaan wilayah yang mempertimbangkan risiko bencana secara nyata. Tidak terkecuali di wilayah hHokkaido.

Wilayah yang terletak di sebelah utara Jepang ini pernah diguncang gempa besar pada tahun 2018 dengan magnitudo 6,6 yang menyebabkan longsor besar dan memutus pasokan listrik di hampir seluruh wilayah Hokkaido. Proses pemulihan dilakukan dalam waktu yang tergolong singkat. Pelayanan dasar kembali pulih dalam hitungan minggu, dan sebagian besar infrastruktur diperbaiki secara masif.

Pemulihan yang cepat ini bukan semata hasil kehebatan teknologi dan anggaran, tetapi juga hasil dari perencanaan jangka panjang dan keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam sistem penanggulangan bencana.

Pemerintah lokal Hokkaido secara konsisten menjalankan prinsip pembangunan yang lebih baik dalam rekonstruksi (Build Back Better), sehingga tidak hanya membangun kembali fisik wilayah yang rusak, namun juga meningkatkan resiliensi wilayah tersebut agar lebih tangguh dari sebelumnya.
Misalnya, tata letak permukiman disesuaikan untuk meminimalkan risiko bencana sekunder, jalur evakuasi didesain ulang agar lebih efisien, serta kelompok masyarakat yang dilatih dan difungsikan sebagai pusat koordinasi bencana.

Salah satu aspek yang menonjol dari Hokkaido adalah perencanaan tata ruang yang berorientasi pada mitigasi risiko. Peta bahaya disusun dengan presisi dan diperbarui secara berkala, serta disosialisasikan kepada masyarakat dan lingkungan sekolah. Wilayah rawan gempa atau tsunami tidak diperuntukkan untuk permukiman permanen, dan pembangunan di wilayah tersebut disertai dengan infrastruktur perlindungan dan sistem evakuasi yang responsif.

Pelajaran penting bagi Aceh adalah bahwa perencanaan wilayah bukan hanya urusan teknis, tetapi bagian dari strategi penyelamatan jiwa. Di beberapa wilayah pesisir Aceh, pembangunan masih terjadi di zona rawan tanpa pengawasan ketat. Shelter tsunami yang telah dibangun beberapa tahun yang lalu, namun belum terintegrasi dalam sistem ruang dan mobilitas masyarakat. Beberapa shelter juga dibangun dengan desain dan peruntukkan yang tidak multifungsi, sehingga tidak dapat dimanfaatkan dalam kegiatan masyarakat sehari-hari.

Hal ini menjadi salah satu wujud inefisiensi pemanfaatan lahan terbangun, yang dapat menimbulkan beberapa dampak, baik dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan tata ruang. Untuk itu, Aceh memerlukan perencanaan tata ruang terpadu. Khususnya terkait mitigasi bencana, kebijakan spasial yang tidak berbasis risiko dan partisipatif, potensi korban dan kerugian di masa depan tetap akan tinggi.

Partisipasi masyarakat

Dalam belajar selama short course, saya juga berdiskusi dengan Prof. Taisuke Miyauchi, ahli sosiologi lingkungan dan pembangunan wilayah dari Laboratory of Regional Science Hokkaido University, yang beliau juga terlibat aktif dalam proses rekonstruksi pascabencana di Jepang. Saya mendapatkan pandangan menarik, bahwa ternyata keberhasilan pemulihan pasca bencana memang dipengaruhi oleh dana atau teknologi, namun partisipasi aktif dan kesadaran masyarakat itu sendiri juga menjadi poin penting dalam proses rekonstruksi ini.

Beliau juga menjelaskan melalui hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa di wilayah yang masyarakatnya aktif terlibat dalam perencanaan ulang, baik dalam memilih lokasi hunian sementara, menyusun skema relokasi, maupun dalam pengambilan keputusan terkait infrastruktur, rekonstruksi berjalan lebih cepat dan berkelanjutan. Sebaliknya, di daerah yang masyarakatnya kurang terlibat, banyak proyek gagal atau stagnan karena muncul resistensi atau keengganan untuk kembali.

Beberapa masyarakat bahkan memilih untuk berpindah ke kota besar dan tidak kembali ke kampung halamannya.

Situasi seperti ini tidak asing di Aceh. Pasca bencana tsunami 2004, berbagai upaya rekonstruksi dilakukan, yang sebagian besar didukung oleh lembaga internasional dan pemerintah pusat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun kembali hunian untuk masyarakat terdampak dan program ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat (community-based housing reconstruction), contohnya melalui program RekomPak dan berbagai inisiatif rekonstruksi lainnya.

Dalam hal ini, partisipasi masyarakat memegang peranan penting, seperti dalam perencanaan, penentuan lokasi hunian. Namun di beberapa wilayah, masyarakat yang lebih memilih untuk kembali ke lokasi asalnya meskipun lebih rawan, dibandingkan harus direlokasi ke tempat yang lebih aman karena mata pencaharian mereka yang sebagian besar bergantung pada sektor perikanan.

Simulasi bencana

Hokkaido juga memberikan pelajaran penting tentang resiliensi sosial. Di Jepang, pendidikan kebencanaan diberikan sejak usia dini. Anak-anak sekolah mengikuti simulasi evakuasi secara rutin, memahami peta risiko di lingkungan tempat tinggal, dan terbiasa berperan aktif dalam simulasi kebencanaan. Masyarakat umum juga mendapatkan sosialisasi yang melibatkan seluruh lapisan, termasuk lansia dan penyandang disabilitas.

Praktik ini membentuk budaya kesiapsiagaan bagi masyarakat, terutama generasi muda. Bentuk kesiapan ini tidak dilihat sebagai respons terhadap trauma, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Di Indonesia, termasuk di Aceh, pendekatan ini masih bersifat seremonial dan belum dilaksanakan secara konsisten. Sekolah-sekolah terlihat belum konsisten melakukan simulasi evakuasi, dan pendidikan kebencanaan pun belum masuk dalam kurikulum sebagai muatan wajib.

Padahal, untuk membentuk masyarakat yang tangguh dapat dimulai dari pemahaman kolektif sejak dini. Belajar dari Hokkaido bukan berarti meniru secara keseluruhan. Secara konteks sosial, budaya, dan sistem pemerintahan, kedua wilayah ini jelas berbeda. Namun, prinsip dasarnya adalah partisipasi masyarakat, perencanaan berbasis risiko, edukasi kebencanaan, dan rekonstruksi inklusif dapat diadopsi dan diadaptasi.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved