Opini
Memperkuat Daya Pengawasan Pemilu
Jika kuasa KPK ada pada penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, hingga penuntutan, tapi Bawaslu memiliki kuasa dari sejak menerima
Dr Teuku Kemal Fasya MHum, Dosen Fisipol Universitas Malikussaleh dan Mantan Tim Pemeriksa Daerah-Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (TPD-DKPP) Aceh
AKHIR September lalu, penulis diminta menjadi pembicara pada diskusi publik yang diselenggarakan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih: sebutan Bawaslu di Aceh) Kabupaten Aceh Utara. Turut diundang tenaga ahli Komisi II DPR RI, anggota legislatif terpilih, dan juga wakil bupati. Tema seminar hampir sama di semua tempat “Penguatan Kelembagaan dalam Membangun Strategi Pengawasan Pemilu”. Penulis bertanya kepada moderator, apakah kegiatan ini dibuat di semua kabupaten/kota di Aceh? Diperoleh jawaban, bukan hanya se-Aceh tapi juga se-Indonesia. Anggaran ini berasal dari Komisi II DPR RI yang dititipkan ke Bawaslu. Tidak hanya untuk tingkat nasional, tapi juga provinsi, dan kabupaten/kota.
Jika anggaran Kabupaten Aceh Utara menjadi patokan, maka setiap daerah akan dijatah Rp51 juta. Jika dikalikan dengan 514 kabupaten/kota dan untuk tingkat provinsi sebesar Rp 100 juta, maka titipan anggaran tidak sampai Rp 27 miliar. Ini hanya perhitungan penulis, cukup “kecil” jika dibandingkan hasrat memperkuat lembaga pengawas Pemilu yang hanya ada satu-satunya di dunia ini.
Belajar Pemilu 2024
Pemilu serentak 2024 adalah salah satu pemilu terbesar di dunia. Dengan pembagian hanya pada dua momen, yaitu Pemilu legislatif (Pilpres, Pileg DPR, DPD, DPRD, dan DPRK) pada 14 Februari 2024 dan Pilkada serentak (Pigub dan Pilbup/pilwalkot) pada 27 November 2024, maka ada tujuh kotak suara untuk 204 juta daftar pemilih tetap (DPT). Luar biasa!
Meskipun secara partisipasi jumlah pemilih pada Pileg dan Pilpres 2024 hampir sama dengan Pemilu sebelumnya (2019) yaitu 81 persen, angka ini lebih besar dibandingkan Pemilu 2009 dan 2014. Namun, jangan dibandingkan dengan partisipasi semu di era Orde Baru yang mencapai rata-rata 90 persen. Bahkan pada Pemilu 1971 ketika terjadi penyederhanaan 10 parpol dibandingkan Pemilu 1955 yang berjumlah 172 parpol (lokal, regional, dan nasional), “aksi politis” Orba jelas canggih, mencapai 94 persen!
Sayangnya, Pemilu 2024 tidak seperti imajinasi banyak orang. Termasuk adanya intervensi penguasa saat itu dengan memasukkan sang anak sebagai calon wakil presiden, kualitas Pemilu 2024 dianggap menurun dibandingkan pemilu-pemilu pascareformasi. Di tengah-tengah itu, ada peran Bawaslu yang semakin melempem. Bawaslu dianggap kurang menunjukkan taringnya memperkuat demokrasi elektoral. Tuduhan kepada Bawaslu sah dialamatkan oleh publik, karena lembaga ini menjadi kelembagaan permanen berdasarkan UU No. 7 tahun 2017, bahkan memiliki kewenangan lebih besar dari KPK.
Jika kuasa KPK ada pada penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, hingga penuntutan, tapi Bawaslu memiliki kuasa dari sejak menerima, memeriksa, hingga memutuskan pelanggaran, baik pelanggaran administratif hingga pidana Pemilu (pasal 92 UU No. 7/2017).
Sayangnya banyak kasus pelanggaran Pemilu 2024 tidak ditindaklanjuti. Yang paling mencolok adalah pelanggaran disiplin ASN, TNI, dan Polri yang tidak diselesaikan dan mengambang hingga pemilu selesai.
Masalah lain yang juga berseliweran adalah politik uang dan juga ancaman kepada aparat desa untuk memenangkan pasangan tertentu. Sikap partisan komisioner Bawaslu saat pembentukan Bawaslu kabupaten/kota yang sempat disitir oleh ketua Komisi II saat itu, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, bukan hanya penanda menciutnya semangat keadilan Pemilu, tapi juga berhawa korupsi dengan politik transaksional.
Bawaslu yang visioner
Peran pengawasan Pemilu yang lemah pada Pemilu 2024 menjadi sejarah kelam yang harus berhenti. Sebagai salah satu warisan demokrasi Indonesia, Bawaslu harus bergema seperti disebutkan di dalam undang-undang Pemilu (UU No. 7/2017). Meskipun demikian, kegagalan ini juga buah dari tidak direvisinya UU Pemilu yang berjumlah 573 pasal dan telah mengalami judicial review lebih dari 21 kali dari MK.
Demikian pula UU Pilkada (UU No. 10/2016) telah dijudicial review sebanyak 35 kali. Hal ini tentu telah memengaruhi postur elektoral dan keadilan pemilu (Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi 2024). Bawaslu beruntung memiliki begitu banyak perangkat pasal yang bisa memidanakan aksi dan pelanggar pidana pemilu (pasal 488 – 544 UU No. 7/ 2017). Namun, berkah perangkat hukum menangkap pelaku pidana pemilu tidak selalu bertuah. Alasan Bawaslu atas kemandulan penindakan karena tidak adanya “juklak” dan “juknis” yang kuat untuk memenjarakan dan mendenda pelaku pelanggaran. Ternyata berbagai pasal pidana itu hanya aksesori yang gagal dijalankan dalam menegakkan keadilan pemilu.
Tentu ke depan ide amandemen UU Pemilu perlu segera dilakukan. Jika perlu juga melakukan kodifikasi dengan UU Pilkada yang juga banyak kelemahan. Ide awal tentang amandemen UU Pemilu mengarah pada membengkaknya pasal hingga 1000 pasal, dan ternyata tidak efektif. Bukan saja banyak pasal, konsistensi dan sinergi antarpasal juga harus dilakukan, termasuk mengerem libido partai politik untuk mengontrol lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu.
Bawaslu harus dikembalikan ke imajinasi awal sebagai superbody yang berperan dengan menegakkan keadilan pemilu. Jangan sampai aspek inersia dan ketidakefektifan lembaga pengawas akan menjadi preseden Pemilu 2029. Hal ini harus dicegah agar keterulangan pemilu buruk rupa dan gagal melahirkan demokrasi kesejahteraan bisa dihindari.
Ide penguatan lembaga Bawaslu juga harus sinergi dengan tuntutan dialektik kepemiluan, yaitu transformasi menjadi Badan Peradilan Pemilu sehingga bisa berfokus pada kekuasaan penyelesaian sengketa dan penanganan pelanggaran. Adapun untuk pengawasan bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang sudah menguat sejak era Orde Baru. Model seleksi yang masih membawa sentimen primordial dari OKP juga harus ditinggalkan.
Pengalaman Pemilu 2024 menunjukkan bahwa ada sebagian komisioner yang tidak layak mengemban tugas karena terpilih oleh rekam jejak pernah mengenyam di organisasi kemahasiswaan pada masa lalu atau aspek primordial agama/ideologi yang digelutinya.
Bias “tribalistik” masih cukup melekat di pikiran komisioner dibandingkan watak kewargaan yang adil. Hal yang juga harus selalu diperiksa adalah pembiayaan untuk lembaga ini. Jika pada Pemilu lalu besaran APBN untuk Bawaslu mencapai Rp33.8 triliun, maka itu untuk apa saja. Apakah untuk memenuhi penggajian atau belanja tidak langsung? Atau juga menyelipkan biaya entertainment atau SPPD yang tidak perlu, dan tidak pernah dikoreksi oleh BPK dan Inspektorat, sehingga menjadi praktik hura-hura?
Pengalaman Sri Lanka, Nepal, dan kini Madagaskar, termasuk juga aksi 25 Agustus di Indonesia menjadi pelajaran, bahwa evaluasi kelembagaan harus dilakukan. Itu sebelum generasi Z bergerak dan merobek investasi demokrasi kita--termasuk terhadap Bawaslu--sehingga menjadi sia-sia.<>

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.