Breaking News

Kupi Beungoh

Saat Buku Fisik Mulai Tersisih oleh Layar

Di tengah derasnya arus digitalisasi, budaya membaca buku fisik perlahan mulai tergeser oleh layar gawai.

Editor: Amirullah
Serambinews.com
Syifa Salsabila - Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, UIN Ar-raniry Banda Aceh 

Oleh: Syifa Salsabila - Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, UIN Ar-raniry Banda Aceh

Di tengah derasnya arus digitalisasi, budaya membaca buku fisik perlahan mulai tergeser oleh layar gawai.

Kini, banyak orang lebih memilih membaca e-book atau artikel daring dibanding membuka halaman buku cetak. 

Semua serba cepat, instan, dan mudah diakses. Namun, di balik kemudahan itu, ada sesuatu yang perlahan hilang: keintiman antara pembaca dengan buku.

Buku bukan hanya sekadar sumber informasi, tapi juga ruang tenang bagi pikiran. Saat membuka halaman demi halaman, ada proses perenungan yang terjadi sesuatu yang sulit ditemukan ketika membaca lewat layar. Ketika kita membaca di ponsel, perhatian sering terpecah oleh notifikasi, pesan, atau rasa ingin tahu untuk membuka aplikasi lain.

Membaca jadi kegiatan yang tergesa-gesa, bukan kegiatan yang dinikmati.

Menurut Nicholas Carr (2010) dalam bukunya The Shallows, paparan informasi digital yang berlebihan membuat kita terbiasa berpikir dangkal. Kita lebih sering “memindai” teks daripada benar-benar memahami maknanya.

Hal ini menjelaskan mengapa generasi digital cenderung cepat bosan membaca buku tebal atau teks panjang karena otak sudah terbiasa dengan pola konsumsi informasi yang cepat dan ringkas.

Namun, buku fisik memiliki daya tarik tersendiri. Ada sensasi yang tidak tergantikan ketika mencium aroma kertas baru, merasakan tekstur sampul, atau menemukan catatan kecil di pinggir halaman.

Semua itu membuat membaca menjadi pengalaman yang personal dan penuh makna. Umberto Eco, seorang penulis dan filsuf Italia, pernah mengatakan bahwa buku adalah perpanjangan dari ingatan manusia.

Baca juga: Putra Ujong Rimba ke Final Hifzil Quran 1 Juz MTQ di Pidie Jaya, Berikut Kafilah Masuk Final

Setiap buku yang kita miliki menyimpan bagian dari diri kita kenangan, emosi, dan pengetahuan yang membentuk siapa kita hari ini.

Bagi perpustakaan, perubahan ini menjadi tantangan besar. Banyak perpustakaan kini beralih ke koleksi digital agar lebih mudah diakses, terutama oleh generasi muda.

Namun, menurut IFLA (International Federation of Library Associations), digitalisasi seharusnya tidak menggantikan fungsi buku fisik, melainkan melengkapinya. 

Buku cetak tetap penting untuk menjaga tradisi literasi dan nilai budaya membaca yang mendalam.

Membaca buku fisik juga memberi efek psikologis yang menenangkan. Penelitian dari University of Sussex (2009) menunjukkan bahwa membaca buku fisik selama beberapa menit saja bisa menurunkan tingkat stres hingga 68 persen.

Tak heran, banyak orang masih menjadikan membaca buku sebelum tidur sebagai ritual menenangkan yang tak bisa digantikan oleh layar ponsel.

Kehadiran teknologi digital memang membawa banyak kemudahan. E-book memungkinkan seseorang membawa ratusan buku dalam satu gawai kecil. Di sisi lain, muncul juga fenomena baru seperti book summary atau audiobook yang mempersingkat waktu membaca.

Namun, di balik itu, muncul kekhawatiran bahwa masyarakat akan kehilangan kesabaran untuk menikmati proses membaca itu sendiri.

Menurut Maryanne Wolf (2018), seorang ahli neurosains kognitif dalam bukunya Reader, Come Home, membaca mendalam membutuhkan waktu dan ketenangan.

Otak manusia memerlukan jeda untuk memproses, menghubungkan ide, dan memahami makna secara utuh. Ketika membaca bergeser menjadi aktivitas cepat di layar, kemampuan refleksi itu perlahan hilang. 

Inilah yang disebut superficial reading membaca di permukaan tanpa menyelami kedalaman teks.

Fenomena ini sangat terasa di kalangan pelajar dan mahasiswa. Banyak yang membaca hanya untuk menyelesaikan tugas, bukan untuk memahami.

Padahal, buku fisik mengajarkan nilai kesabaran, fokus, dan penghargaan terhadap proses belajar. Ketika kita membuka halaman demi halaman, kita sedang belajar untuk tekun, bukan sekadar ingin cepat selesai.

Baca juga: Harga iPhone 15 di Tahun 2026 Makin Turun, Simak Kelebihan dan Kekurangannya

Namun, bukan berarti kita harus menolak teknologi. Dunia sudah berubah, dan kita tidak bisa memutar waktu. Yang perlu kita lakukan adalah menyeimbangkan keduanya menggunakan teknologi tanpa meninggalkan nilai yang dibawa buku cetak.

Pemerintah, lembaga pendidikan, dan perpustakaan bisa berperan dengan menciptakan program literasi yang menggabungkan keduanya, misalnya hybrid reading space, bedah buku, atau komunitas baca yang memanfaatkan media sosial sebagai jembatan.

Sejatinya, baik buku fisik maupun digital, keduanya memiliki tujuan yang sama: menyebarkan pengetahuan. Tapi ada perbedaan dalam prosesnya buku fisik mengajarkan kesabaran, sementara layar mengajarkan kecepatan.

Mungkin, keseimbangan antara keduanya adalah kunci agar budaya membaca tetap hidup di tengah dunia yang semakin sibuk.

Perpustakaan kini berada di titik yang menarik. Di satu sisi, mereka dituntut menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi; di sisi lain, mereka punya tanggung jawab menjaga warisan budaya membaca tradisional. Banyak perpustakaan modern kini berinovasi dengan menghadirkan konsep smart library, di mana koleksi fisik dan digital berdampingan.

Namun, tetap ada kekhawatiran bahwa generasi muda akan semakin jauh dari rak buku. Di sinilah peran pustakawan menjadi penting bukan hanya sebagai penjaga buku, tetapi sebagai fasilitator literasi. Mereka harus kreatif menciptakan ruang baca yang menarik, seperti pojok baca tematik, kegiatan book talk, hingga community reading club yang mengajak pembaca untuk berinteraksi langsung dengan buku.

Sebagaimana disebutkan oleh Christie Koontz (2017) dalam jurnal Library Management, perpustakaan yang ideal di era digital bukan yang sepenuhnya meninggalkan koleksi fisik, melainkan yang mampu menjembatani dua dunia digital dan tradisional agar tetap relevan bagi masyarakat modern.

Di tengah gempuran media digital, penting bagi kita untuk menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap buku fisik.

Salah satu cara sederhana adalah dengan membuat waktu khusus untuk membaca tanpa gangguan tanpa notifikasi, tanpa internet, hanya kita dan buku. Pengalaman seperti itu membantu mengembalikan kualitas perhatian yang hilang akibat dunia digital yang serba cepat.

Selain itu, kegiatan literasi di lingkungan pendidikan juga harus diarahkan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap buku cetak. Guru dan dosen bisa mengajak siswa atau mahasiswa berdiskusi tentang isi buku, bukan sekadar memberikan ringkasan bacaan digital.

Dengan cara itu, membaca kembali menjadi aktivitas sosial yang menyenangkan, bukan beban akademik semata.

Tak kalah penting, peran keluarga juga besar. Orang tua yang membiasakan anaknya membaca buku sejak dini secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai kesabaran dan keingintahuan.

Penelitian dari National Literacy Trust (2020) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan kebiasaan membaca buku fisik memiliki kemampuan bahasa dan empati yang lebih tinggi dibanding mereka yang hanya terpapar bacaan digital.

Dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Ia menawarkan akses cepat, informasi luas, dan efisiensi luar biasa. Tetapi kemajuan itu seharusnya tidak membuat kita kehilangan kedalaman berpikir.

Keseimbangan adalah kuncinya. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk belajar dan mencari informasi, namun tetap menyediakan ruang khusus untuk menikmati buku fisik.

Mungkin, solusi terbaik adalah menciptakan budaya literasi yang adaptif. Misalnya, menggunakan platform digital untuk promosi buku fisik, mengadakan bedah buku secara daring, atau membuat konten literasi di media sosial yang mengajak orang kembali membaca buku.

Dengan cara itu, teknologi bukan menjadi lawan, tapi sekutu yang membantu memperkuat budaya membaca.

Sebagaimana kata Jorge Luis Borges, “Saya selalu membayangkan surga sebagai semacam perpustakaan.” Kalimat itu menggambarkan betapa sakralnya hubungan manusia dengan buku.

Selama masih ada halaman yang bisa dibuka, aroma kertas yang bisa dihirup, dan kisah yang bisa dirasakan, budaya membaca tak akan pernah benar-benar hilang hanya berubah bentuk mengikuti zaman. Yang terpenting, jangan biarkan layar sepenuhnya menghapus keintiman kita dengan buku.

 

Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved