Kupi Beungoh

Meretas Makna di Balik Gelar Pendidikan Tinggi dalam Dinamika Profesi dan Pergulatan Makna Hidup

Lebih dari itu ia adalah perjalanan panjang yang menuntun manusia menelusuri kedalaman batin dan menemukan keheningan jiwa yang sejati.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr Aishah MPd. 

*) Oleh: Aishah

PERJALANAN pendidikan bukan semata tentang meraih gelar atau sekedar menguasai banyak teori.

Lebih dari itu ia adalah perjalanan panjang yang menuntun manusia menelusuri kedalaman batin dan menemukan keheningan jiwa yang sejati.

Seperti yang dikatakan Rumi, “Perjalanan pendidikan sejati adalah perjalanan menuju keheningan batin.”

Makna dalam kalimat itu bukan hanya sebuah ungkapan puisi, tetapi sebuah kenyataan yang dirasakan secara nyata oleh siapapun yang benar-benar melangkah dalam dunia ilmu dan pembelajaran.

Dalam proses menapaki pendidikan dari jenjang ke jenjang, terasa betapa jiwa semakin penuh dengan maaf, kedewasaan, dan keberanian untuk menghadapi kekurangan diri sendiri.

Dulu, mungkin pernah terjebak dalam kebodohan yang membuat pandangan sempit dan keputusan yang tidak objektif. 

Namun, perjalanan pendidikan yang sejati membuka mata dan hati untuk melihat diri dengan jujur, sambil mampu tersenyum dan bahkan tertawa pada kealpaan masa lalu.

Tertawa bukan karena mengejek diri, melainkan sebagai tanda kedewasaan yang didapat dari kesadaran bahwa kesalahan adalah bagian alami dari proses tumbuh dan belajar.

Pengalaman ini bukan lantas mengubah manusia menjadi sempurna, tetapi menjadikannya lebih bijak, lebih lembut, dan lebih kuat dalam menghadapi ragam persoalan hidup.

Pendidikan yang membawa keheningan batin, bukan menjadikan seseorang semakin sibuk dengan idea-idea tinggi yang jauh dari realitas, tetapi justru memberi ketenangan dalam menghadapi ketidakpastian dunia. 

Dalam keheningan itulah muncul kekuatan sejati, kekuatan yang tidak terlihat oleh mata, namun dirasakan dalam ketenangan jiwa dan keteguhan hati.

Ini sepenggal preliminary remarks, dan tidak terhenti disini. Ilmu tidak hanya menjadi pengetahuan yang disimpan dalam kepala, melainkan menjadi alat penyembuh jiwa dan pengemban tugas kemanusiaan.

Dengan jiwa yang lapang dan penuh kasih, ilmu itu menjadi jembatan untuk memahami diri sendiri dan sesama, bukan semata sebagai status atau pencapaian.

Inilah esensi pendidikan yang sesungguhnya, mentransformasi manusia menjadi pribadi yang damai, bijaksana, dan siap memberi manfaat tanpa syarat.

Perjalanan ini mengajarkan bahwa keheningan batin bukan tujuan yang jauh atau abstrak, melainkan sesuatu yang bisa dirasakan saat ini, sebagai bagian dari pembelajaran dan pemahaman hidup.

Maka, setiap langkah dalam proses pendidikan adalah kesempatan untuk membuka hati lebih luas, belajar memaafkan, dan merangkul ketidaksempurnaan, baik dalam diri maupun dalam dunia yang tidak sempurna ini.

Inilah keindahan sejati dari menuntut ilmu, kebijaksanaan yang datang bersama dengan ketenangan jiwa yang tulus. 

Lebih tepat saya katakan bahwa, “belajar bukan sekedar mengumpulkan informasi secara terpisah, tetapi adalah proses dinamis yang membangun jaring kompleks koneksi antar ide, yang terus tumbuh seiring bertambahnya pengalaman dan pengetahuan.”

 Ini menegaskan bahwa pendidikan adalah perjalanan panjang tanpa akhir, di mana seseorang selalu berada dalam proses mengenal dan menghubungkan dirinya dengan dunia secara lebih dalam dan bermakna.

Perjalanan pendidikan atau perjalanan belajar ternyata adalah perjalanan yang tidak ada habisnya, karena sepanjang prosesnya, diri akan semakin mengetahui relasi atau menemukan keterkaitan antara satu konsep dengan yang lain.

Fenomena ini dapat dianalogikan seperti ujung-ujung saraf di otak yang menurut ilmu neurologi mengalirkan impuls listrik, aliran listrik tersebut bisa terlihat seperti terputus-putus dan terkadang kacau, berusaha keras untuk mencapai sambungan yang tepat.

Upaya saraf-saraf ini mencerminkan bagaimana proses belajar berlangsung dalam kehidupan, terus-menerus mencari hubungan, menghubungkan berbagai pengetahuan, hingga akhirnya menghasilkan pemahaman yang utuh dan bermakna.

Setelah perjalanan pendidikan, perjalanan selanjutnya adalah kembali ke dunia kerja.

Sesorang berpendidikan tinggi, proses adaptasi dan penyesuaian diri di lingkungan kerja bukan hal yang mudah dan tidak selalu lancar.

Tantangan terbesar bukan hanya berasal dari tuntutan pekerjaan, tetapi juga dari dinamika sosial dan budaya tempat kerja, yang kadang sulit menerima kehadiran seseorang yang secara akademik menonjol atau berbeda dari mayoritas.

Seringkali, contohnya, individu doktoral harus menghadapi ketidakpastian tugas dan posisi. Case ini untuk doktoral yang mendapat tugas sporadis dan level grade rendah. 

Dalam hal ini juga dapat ditegaskan bahwa ketidakseimbangan kekuasaan dan kurangnya transparansi dalam struktur di tempat kerja sering menimbulkan ketidakadilan dan konflik internal.

Namun saya optimis bahwa keteguhan dalam menjalani proses dan kemampuan beradaptasi silang disiplin menjadi keunggulan tersendiri yang dapat membawa individu tersebut pada posisi yang lebih baik dalam jangka panjang.

Melihat dalam hal ini pentingnya kesadaran kritis terhadap posisi, dan dinamika sosial, agar individu dapat bertahan sekaligus berkontribusi positif di lingkungan kerja yang kompleks sekalipun.

Secara vague saya melihat penugasan sporadis tanpa jelas tupoksi sebagai refleksi dari mekanisme kekuasaan tersembunyi yang menjaga agar status quo tidak mudah tergeser oleh kehadiran individu yang berpotensi yang dapat saja menggeser posisi kelompok dominan.

Dalam sistem dan budaya kita, penghargaan terhadap intelektualitas sering bersanding dengan rasa iri, ketidakpastian, hingga ketidakdewasaan dalam menerima keberhasilan orang lain.

Dalam beberapa pandangan teori organisasi dan manajemen sumber daya manusia, ketidakjelasan peran dalam lingkungan kerja adalah potensi demotivasi dan penurunan produktivitas, sebagaimana diformulasikan oleh Herzberg yang menegaskan bahwa faktor-faktor seperti pengakuan dan kejelasan peran adalah kunci kepuasan kerja (Herzberg, 1968).

Herzberg, F (1968) dalam bukunya. One More Time: How Do You Motivate Employees? Harvard Business Review.

 Penelitian terbaru mendukung hal ini, studi oleh Gunarti dan Lestari (2025) menemukan faktor lingkungan kerja yang kondusif dan motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

Lingkungan kerja yang tidak mendukung dan penugasan yang tidak jelas secara langsung memengaruhi komitmen organisasional dan produktivitas (Gunarti & Lestari, 2025). Jurnal: Gunarti dan Lestari (2025), Pengaruh Lingkungan Kerja Dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan.

Dalam lingkungan akademis sendiri yang menuntut standar tinggi, berdisiplin, bahkan kritis hingga seringkali menyakitkan, justru memberikan landasan yang kokoh untuk membangun daya tahan mental (resiliensi).

Seperti hadirnya dosen yang tegas dan tuntutan akademik yang ketat membentuk karakter seseorang menjadi lebih kuat, terasah dan mampu menghadapi ujian hidup dengan kepala tegak. Sehingga ini menjadi suatu bentuk yang membuat  seseorang menemukan kekuatan internalnya.

Banyak penulis dan pemikir besar lahir dari luka dan pengalaman pahit mereka, rasa sakit itu menggerakkan mereka untuk menulis, mengungkapkan, dan bertransformasi menjadi suara yang kuat.

Individu yang mengalami hal ini diberikan kata-kata oleh pengejek misalnya, akan membuka jalan untuk menemukan diri melalui tulisan, memperjelas pikiran, dan mengokohkan hati agar tidak mudah patah semangat.

Satu lagi dalam manajemen SDM tentang kebijakan internal dan pengelolaan SDM di buku yang ditulis oleh Boxall & Purcell (2016), Strategy and Human Resource Management, mengatakan bahwa penugasan yang sporadis dan level grade rendah mencerminkan ketidakmampuan organisasi dalam mengelola sumber daya manusia secara optimal dan adil.

Selain kebijakan internal yang lemah yang tidak mampu mengakomodasi kapasitas dan potensi individu dengan pendidikan tinggi, dan sekaligus menjaga keseimbangan sosial dalam organisasi.

Kembali pada paragraf awal, pendidikan tinggi bukan sekedar tuntutan intelektual semata, melainkan merupakan jalan menuju kebijaksaan yang mendalam. Dapat dikatakan juga bukan sekedar soal menumpuk gelar dan mengumpulkan pengetahuan formal semata.

Dalam perspektif psikologi dan ajaran Islam, tentu pemahaman tentang makna pendidikan dan kehidupan jaun lebih dalam.

Keseimbangan antara aspek rasional (akal), aspek emosional (nafs), dan aspek spiritual (qalbu atau hati) menjadi kunci utama dalam mencapai kondisi jiwa yang sehat dan tenang.  

Ajaran Islam menempatkan hati (qalbu) bukan hanya sebagai pusat perasaan, tetapi pengatur utama kesejahteraan jiwa.

Hati yang sehat adalah yang mampu mengenali, menerima, dan memaafkan, sehingga ia menjadi pelindung jiwa dari kerusakan yang bisa timbul akibat pengaruh negatif akal dan nafs yang tidak terkendali. Kondisi ini disebut sebagai hati yang “mutmainah” yaitu hati yang tenang dan damai, yang menjadi sumber kekuatan spiritual paling hakiki.

Dari mana ini didapatkan, tentu saja dari pendidikan, pendidikan yang mendalam. Ketenangan jiwa ini bukan sesuatu yang mudah diraih, tidak cukup hanya dengan belajar dan ujian sekali atau dua kali. Bahkan bagi orang-orang yang tampak religius dengan identitas eksternal memakai atribut muslim, belum tentu telah mencapai derajat qalbu mutmainah.

Ini adalah wilayah para terpilih yang telah melalui perjalanan panjang pengendalian diri dan pembinaan hati dengan penuh kesadaran serta ketulusan.

Dalam konteks gelar atau pendidikan tinggi adalah sarana untuk mengasah akal dan menuntun hati pada kebijaksanaan.

Pendidikan tidak membuat jiwa menjadi keras atau sombong, melainkan justru mengarahkan pada kelembutan perasaan, kasih sayang yang tulus, serta sikap bijak yang mampu merangkul perbedaan dan mengatasi keterbatasan yang ada.

Proses pendidikan adalah proses menyeimbangkan antara berfikir logis dan bersikap penuh perasaan, menjadikan ilmu sebagai jalan menuju pengembangan diri yang holistik.

Inilah inti yang terkadang terlupakan dalam hiruk pikuk dunia pendidikan dan pekerjaan.

Segala capaian intelektual hanya bermakna ketika mampu membawa pribadi kepada kedamaian hati dan kebermanfaatan bagi orang lain. Menjadi cendikiawan yang madani, manusiawi dan spiritual. 

Kacamata bijaksana ini mengingatkan kita semua, bahwa kesuksesan hakiki bukan diukur oleh gelar dan jabatan, melainkan oleh kedalaman jiwa dan kualitas hati yang senantiasa membawa kedamaian dan keseimbangan sejati. (*)

*) PENULIS adalah Lulusan Doctoral Universitas Pendidikan Indonesia.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved